Rabu, 14 Maret 2012

MUQADDIMAH

Di Publikasikan Oleh :
Muh.Supaen Al-Mambani.Sirojululum.MD


Sejarah Imam Ali R.a


1. M U Q A D D I M A H-
2. Bab I : Masa Asuhan-
3. Bab II : Lingkungan Keluarga-
4. Bab III : Rumah Tangga Serasi-
5. Bab IV : PERANAN KEPAHLAWANAN-
6. Bab IV-1 : Perang Badr-
7. Bab IV-2 : Perang Uhud-
8. Bab IV-3 : Perang Ahzab (Kandhaq)-
9. Bab IV-4 : Perang Khaibar-
10. Bab IV-5 : Perang Hunain2
11. Bab V : WAFATNYA RASUL ALLAH S.A.W.-
12. Bab VI : KHALIFAH ABU BAKAR ASH SHIDDIQ-
13. Bab VII : KHALIFAH UMAR IBNUL KHATTAB R.A.-
14. Bab VIII : KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN R.A.-
15. Bab IX : DELAPAN HARI TANPA KHALIFAH-
16. Bab X : BENIH-BENIH PEPERANGAN SAUDARA-
17. BAB XI : PERANG SHIFFIN-
18. Bab XII : GERAKAN KHAWARIJ-
19. Bab XIII : WAFATNYA IMAM ALI R.A.-
20. Bab XIV : KEUTAMAAN IMAM ALI R.A.-
21. Bab XV : PINTU ILMU-
22. SEBUAH KENANGAN-
23. PENUTUP

Muqaddimah

Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. dalam lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah. Sejak semula telah terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa tidak! Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap terakhir, sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan syahid, bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang lain daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan syaraf istimewa pula. Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan ledakan-ledakan luar biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi bersamaan dengan itu juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian. Oleh karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak mudah. Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara berlebih-lebihan. Baik dalam memujinya maupun dalam mencacinya. Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau
secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak yang celaka karena berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan pihak yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan segala kebohongan tentang diriku." Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a. mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya kepadaku mereka bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya kepadaku sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka." Ada dua faktor yang menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan sekaligus saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak pribadi Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada zaman hidupnya tokoh penting Islam itu. Faktor mana yang lebih dominan, sehigga pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan memberi arti khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak meninggalnya pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda, malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke- 15 Hijriyah sekarang ini. Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. Ancaman dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda itu. Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan hampir
secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani dan jasmani, masalah keagamaan dan kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan ketidak-serasian. Proses kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w. dihadapkan pada tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai salah satu tokoh yang menonjol dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan dialah salah seorang yang paling merasa berkepentingan terhadap kemaslahatan Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini melibatkan diri sebagai pengikut setia Nabi Muhammad s.a.w. Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para pemuda Qureiys: Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. Pada saat itulah Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel hijau buatan Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam Ali r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut. Ketika para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul Allah s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w. telah berhasil menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a. Ketaatannya kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan merupakan kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini sangat mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat oleh keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan ketaqwaannya pada Allah s.w.t. Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya dalam membela serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam. Hal itulah yang antara lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan perselisihan pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh yang paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang bersangkutan sendiri. Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a. mereka anggap sebagai tokoh yang amat berambisi untuk mendapat kedudukan memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini mengundang sifat-sifat kebencian dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk peperangan melawan Imam Ali r.a. Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar golongan ini mengaburkan peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali r.a. melahirkan ekses mengkafirkannya. Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap Imam Ali r.a. tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam. Kaum Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai "kaum penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri sudah berulang kali melarang tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu, tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau disanjung dan disembah itu bahkan mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a. sampai-sampai mengingatkan mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itusama sekali tidak menyurutkan pendirian mereka. Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a. sehingga mereka bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pendirian itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan dibakar hidup-hidup, hukuman itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran api unggun yang membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru: "Dia (Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini". Mereka rela
mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang layak hukuman demikian dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri. Sangat berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan Khawarij yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya
justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling setia dan taat. Mulamula mereka sangat cinta, kagum, taat dan setia. Lalu berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima "perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal sebagai "Tahkim bi Kitabillah".
Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a. agar ia bertaubat kepada Allah atas perbuatan salah yang dilakukannya (mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu mendalamnya kebencian mereka sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja mereka melancarkan kecaman pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali r.a. wafat akibat pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij. Sulit untuk dicari bahan bandingan bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan pertentangan pendapat seperti yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik kesimpulan dari kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan pendapat yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan, bahwa Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam. Juga merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang sejak masa anak-anak sudah mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya Islam, kepemimpinannya direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling gigih menentang. Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a. menempuh segala usaha dan tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam". Lebih parah lagi karena dengan "mengatasnamakan Islam" selama 136 tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan dan dihina. Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah ditinggalkan cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah. Bahkan nama Imam Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan otoriter. Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait). Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang khas ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik dengan sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan tidak cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang penulis terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan. Makin berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin dibatasinya segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas. Tetapi apakah begitu jadinya? Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya makin lama seorang telah meninggal akan lebih mudah ditemukan objektivitas untuk pengungkapan riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan. Dalam batas-batas pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin Abi Thalib r.a." ini mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya, rumahtangganya, peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup, wafatnya Rasul Allah s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman r.a., delapan hari tanpa khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah kenangan.

Peranan Kepahlawanan


PERANAN KEPAHLAWANAN
Masih ada sementara penulis sejarah yang dengan berbagai dalih dan alasan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. bukan orang yang pertama-tama beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Sebagai alasan dikatakan, bahwa hukum belum berlaku baginya, karena ketika ia memeluk Islam usianya masih sangat muda, malahan dikatakan "masih kanak-kanak". Alasan seperti itu tampak sekali dicari-cari. Sebab, seorang remaja yang berusia 13 tahun, bukan seorang kanak-kanak lagi. Ia sudah mampu berfikir membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Usia 13 tahun pada umumnya bisa dipandang sebagai tahap permulaan masa akil baligh. Dalam usia akil baligh itu orang sudah dapat menerima penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan tentang sesuatu dengan baik. Fikiran dan perasaannya pun sudah berada dalam tingkatan aktif, dapat membedakan mana hal-hal yang menyenangkan atau menyedihkan, mana yang mengagumkan dan mana yang memuakkan, mana yang masuk akal dan mana yang tidak. Seperti diketahui, sejak Imam Ali r.a. berusia 6 tahun langsung diasuh, dibimbing dan dididik oleh Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sistem pendidikan modern, tingkat usia 6 tahun itu justru yang paling tepat bagi seseorang anak memasuki sekolah dasar, yang akan berlangsung selama 6 tahun. Dari usia 6 tahun sampai 12 tahun dapatlah dikatakan, bahwa Imam Ali r.a. telah mendapat "pendidikan dasar" dari seorang guru yang paling bijaksana. Selama periode "pendidikkan dasar" itu, Imam Ali r.a. telah dipersiapkan oleh gurunya untuk menyongsong datangnya masa pancaroba yang akan menjadi ciri perobahan zaman. Ketika Imam Ali r.a. menginjak usia 13 tahun, terjadilah bi'tsah Muhammad sebagai Nabi dan Rasul, yang akan menjungkir-balikkan masa jahiliyah dan menggantinya dengan kecerahan masa hidayah. Masa "pendidikkan dasar" dan persiapan yang sangat tepat waktunya itulah, yang kemudian mewarnai sikap hidup dan kepribadian Imam Ali r.a. sebagai orang yang teguh imannya kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketika berlangsung blokade ekonomi dan pemboikotan sosial yang dilancarkan orang-orang kafir Qureiys terhadap semua keluarga Bani Hasyim, Imam Ali r.a. ikut langsung menghayati kesengsaraan dan penderitaan yang menjadi akibatnya. Dengan mengikuti bimbingan serta tauladan Rasul Allah s.a.w. beserta Sitti Khadijah r.a., dengan tangguh, tabah dan sabar, Imam Ali r.a. ikut berjuang mempertahankan dan membela da'wah Islam. Tidak hanya itu saja. Selama hampir empat tahun terkepung dalam Syi'ib, Imam Ali r.a. memperoleh kesempatan yang luar biasa besarnya untuk menerima pendidikan tauhid dan ilmuilmu Ilahiyah, langsung dari Rasul Allah s.a.w. Satu kesempatan yang tidak pernah didapat oleh orang mukmin manapun. Dalam keadaan materiil serba kurang, Imam Ali r.a. yang masih remaja itu fikirannya terbuka seterang-terangnya guna menerima hidayah llahi, dan dengan tuntunan Rasul Allah s.a.w. ia dapat mengenal hakekat kebenaran Allah 'Azza wa Jalla. Tentang kedinian Imam Ali r.a. beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad s.a.w. sendiri pernah menegaskannya. Penegasan itu disaksikan oleh para sahabat dekat dan terkemuka, yaitu Abu Bakar Ash Shiddiq r.a., Umar Ibnul Khattab r.a. dan Abu Ubaidah r.a. Hal itu tercantum dalam Kitab "Kanzul Ummal", jilid VI, hlm. 393. Riwayatnya berasal dari Ibnu Abbas. Umar Ibnul Khattab berkata: "....Aku, Abu Bakar dan Abu Ubaidah bersama beberapa orang sahabat Nabi lainnya pernah datang ke rumah Ummu Salmah. Setiba disana aku melihat Ali bin Abi Thalib sedang berdiri di pintu. Kami katakan kepadanya, bahwa kami hendak bertemu dengan Rasul Allah s.a.w. Ia menjawab, sebentar lagi beliau akan keluar. Waktu beliau keluar,
kami segera berdiri. Kami lihat beliau bertopang pada Ali bin Abi Thalib dan menepuk-nepuk bahunya sambil berucap: "Engkau unggul dan akan tetap unggul, orang pertama yang beriman, seorang mukmin yang paling banyak mengetahui hari-hari Allah (hari-hari turunnya nikmat dan cobaan), paling setia menepati janji, paling adil dalam bertugas melakukan pembagian ghanimah, paling bercinta-kasih kepada rakyat, dan paling banyak menderita." Membela Kebenaran Di samping perjuangannya di bidang aqidah, ilmu dan pemikiran, Imam Ali r.a. juga terkenal sebagai seorang muda yang memiliki kesanggupan berkorban yang luar biasa besarnya. Ia mempunyai susunan jasmani yang sempurna dan tenaga yang sangat kuat. Sudah tentu, itu saja belum menjadi jaminan bagi seseorang untuk siap mempertaruhkan nyawanya membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Imannya yang teguh laksana gunung raksasa dan kesetiaannya yang penuh kepada Allah dan Rasul-Nya, itulah yang menjadi pendorong utama. Imam Ali r.a. tidak pernah menghitung-hitung resiko dalam perjuangan suci menegakkan Islam. Dengan jasmani yang tegap dan kuat, serta iman yang kokoh dan mantap, Imam Ali r.a. benarbenar mempunyai syarat fisik-materiil dan mental-spiritual untuk menghadapi tahap-tahap perjuangan yang serba berat. Di saat-saat Islam dan kaum muslimin berada dalam situasi yang kritis dan gawat, Imam Ali r.a. selalu tampil memainkan peranan menentukan. Selama hidup ia tak pernah mengalami hidup santai. Sejak muda remaja sampai akhir hayatnya, ia keluar masuk dari kesulitan ke kesulitan lain, dan dari pengorbanan ke pengorbanan yang lain. Namun demikian ia tak pernah menyesali nasib, bahkan dengan semangat pengabdian yang tinggi kepada Allah dan Rasul-Nya, ia senantiasa siap menghadapi segala tantangan. Satu-satunya pamrih yang menjadi pemikirannya siang dan malam hanya ingin memperoleh keridhoan Allah dan Rasul-Nya. Kesenangan hidup duniawi baginya bukan apa-apa dibanding dengan kenikmatan ukhrawi yang telah dijanjikan Allah s.w.t. bagi hamba-hamba-Nya yang berani hidup di atas kebenaran dan keadilan. berkali-kali imannya yang teguh diuji oleh Rasul Allah s.a.w. Tiap kali diuji, tiap kali itu juga lulus dengan meraih nilai yang amat tinggi. Ujian pertama yang maha berat ialah yang terjadi pada saat Rasul Allah s.a.w. menerima perintah Allah s.w.t. supaya berhijrah ke Madinah. Seperti diketahui, di satu malam yang gelap-gulita, komplotan kafir Qureiys mengepung kediaman Rasul Allah s.a.w. dengan tujuan hendak membunuh beliau, bilamana beliau meninggalkan rumah. Dalam peristiwa ini Imam Ali r.a. memainkan peranan besar: Ia diminta oleh Rasul Allah s.a.w. supaya tidur di atas pembaringan beliau menutup tubuhnya dengan selimut beliau guna mengelabui mata orang-orang Qureiys. Tanpa tawar-menawar Imam Ali r.a. menyanggupinya. Ia menangis bukan mencemaskan nyawanya sendiri, melainkan karena ia khawatir atas keselamatan Rasul Allah s.a.w. yang saat itu berkemas-kemas hendak hijrah meninggalkan kampung halaman. Melihat Imam Ali menangis, maka Rasul Allah bertanya: "Apa sebab engkau menangis, Apakah engkau takut mati?". Imam Ali r.a. dengan tegas menjawab: "Tidak, ya Rasul Allah! Demi Allah yang mengutusmu membawa kebenaran! Aku sangat khawatir terhadap diri anda. Apakah anda akan selamat, ya R,asul Allah?" "Ya," jawab Nabi Muhammad s.a.w. dengan tidak ragu-ragu. Mendengar kata-kata yang pasti dari Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. terus berkata: "Baiklah, aku patuh dan kutaati perintah anda. Aku rela menebus keselamatan anda dengan nyawaku, ya Rasul Allah!" Imam Ali r.a. segera menghampiri pembaringan Rasul Allah s.a.w. Kemudian berselunjur mengenakan selimut beliau untuk menutupi tubuhnya. Saat itu orang-orang kafir Qureiys sudah mulai berdatangan di sekitar rumah Rasul Allah s.a.w. dan mengepungnya dari segala jurusan. Dengan perlindungan Allah s.w.t. dan sambil membaca ayat 9 Surah Yaa Sin, beliau keluar tanpa diketahui oleh orang-orang yang sedang mengepung dan mengintai. Orang-orang Qureiys itu menduga, bahwa orang yang sedang berbaring dan berselimut itu pasti Nabi Muhammad s.a.w. Mereka yang mengepung itu mewakili suku-suku qabilah Qureiys yang telah bersepakat hendak membunuh Nabi Muhammad s.a.w. dengan pedang secara serentak. Dengan cara demikian itu, tidak mungkin Bani Hasyim dapat menuntut balas. Imam Ali r.a. mengerti benar kemungkinan apa yang akan diperbuat orang-orang kafir Qureiys terhadap dirinya karena ia tidur di pembaringan Rasul Allah s.a.w. Hal itu sama sekali tidak membuatnya sedih atau takut. Dengan kesabaran yang luar biasa, ia berserah diri pada Allah s.w.t. Ia yakin, bahwa Dia-lah yang menentukan segala-galanya. Menjelang subuh, Imam Ali r.a. bangun. Gerombolan Qureiys terus menyerbu ke dalam rumah. Dengan suara membentak mereka bertanya: "Mana Muhammad? Mana Muhammad?" "Aku tak tahu di mana Muhammad berada!" jawab Imam Ali r.a. dengan tenang. Gerombolan Qureiys itu segera mencari-cari ke sudut-sudut rumah. Usaha mereka sia-sia belaka. Gerombolan itu kecewa benar. Di dalam hati mereka bertanya-tanya: "Kemana ia pergi?" Dalam suasana gaduh Imam Ali r.a. bertanya: "Apa maksud kalian?" "Mana, Muhammad? Mana Muhammad?" mereka mengulang-ulang pertanyaan semula. "Apakah kalian mengangkatku menjadi pengawasnya?" ujar Imam Ali r.a. dengan nada memperolok-olok. "Bukankah kalian sendiri berniat mengeluarkannya dari negeri ini? Sekarang ia sudah keluar meninggalkan kalian!" Ucapan Imam Ali r.a. sungguh-sungguh menggambarkan ketabahan dan keberanian hatinya. Cahaya pedang terhunus yang berkilauan, samasekali tidak dihiraukan, bahkan orang-orang Qureiys yang kalap itu dicemoohkan. Seandainya ada seorang saja dari gerombolan itu mengayunkan pedang ke arah Imam Ali r.a., entahlah apa yang terjadi. Tetapi Allah tidak menghendaki hal itu. Keesokan harinya, Imam Ali r.a. berkemas-kemas mempersiapkan segala sesuatu untuk berangkat membawa beberapa orang wanita Bani Hasyim, terutama Sitti Fatimah r.a., menyusul perjalanan Nabi Muhammad s.a.w. dalam hijrahnya ke Madinah. Seperti telah diterangkan di muka, rombongan Imam Ali r.a. berangkat secara terang-terangan di siang hari. Setibanya di Dhajnan ia membuka babak konfrontasi bersenjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin. Imam Ali r.a. yang ketika itu berusia 26 tahun, merupakan orang pertama yang menghunus pedang untuk mematahkan agresi bersenjata orang-orang kafir Qureiys. Terbelahnya tubuh Jenah menjadi dua dan larinya 7 orang pasukan berkuda Qureiys yang semula mengejar rombongan, merupakan tonggak sejarah yang menandai akan datangnya masa cerah bagi kaum muslimin dan masa suram bagi kaum musyrikin.

Bab IV-1 : Perang Badr
Perang Badr merupakan perang pertama yang terpaksa diarungi oleh kaum muslimin menghadapi musuh yang jauh lebih besar jumlahnya. Perang ini merupakan demonstrasi pertama dari ketangguhan kaum muslimin melawan serangan kaum musyrikin Qureiys. Untuk pertama kalinya panji perang Rasul Allah s.a.w. berkibar di medan laga. Dan yang diberi kepercayaan memegang panji yang melambangkan tekad perjuangan menegakkan agama Allah s.w.t. itu, ialah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Tanpa pengalaman perang sama sekali dan dengan kekuatan pasukan yang hanya sepertiga kekuatan musuh, pasukan muslimin dengan kebulatan iman yang teguh berhasil menancapkan tonggak sejarah yang sangat menentukan perkembangan Islam lebih lanjut. Perlengkapan dan persenjataan kaum muslimin waktu itu boleh dibilang nol. Pasukan berkuda dan penunggang unta, yaitu pasukan yang dipandang paling ampuh dan "modern" pada masa itu, praktis tidak dipunyai oleh kaum muslimin. Demikian langkanya kuda dan unta dibanding dengan jumlah pasukan yang ada, sampai-sampai seekor unta dikendarai oleh dua hingga empat orang secara bergantian. Hanya ada seekor kuda yang tersedia, yaitu yang dikendarai oleh Al Miqdad bin Al Aswad Al Kindiy. Itulah kekuatan "kavaleri" Rasul Allah s.a.w. di dalam perang Badr. Dalam perang Badr itu pasukan muslimin tidak sedikit yang menerjang musuh hanya dengan senjata-senjata tajam yang sangat sederhana. Sedangkan musuh yang dilawan mempunyai persenjataan lengkap dengan kuda-kuda tunggang dan unta-unta. Tetapi sebenarnya kaum muslimin mempunyai senjata yang lebih ampuh dibanding dengan lawannya, yaitu kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. dan kepercayaan kuat bahwa Allah pasti akan memberikan pertolongan-Nya. Allahu Akbar. Perang Badr sebenarnya terjadi di luar rencana. Pada mulanya kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. bermaksud hendak mencegat kafilah Abu Sufyan bin Harb yang telah meninggalkan Makkah berangkat menuju negeri Syam, dan akan kembali ke Makkah lewat sebuah tempat bernama 'Usyaira. Di tempat itulah kaum muslimin siap menghadang, tetapi ternyata kafilah Abu Sufyan sudah lolos lebih dulu. Ketika peperangan mulai berkobar, Imam Ali bersama Hamzah bin Abdul Mutthalib dan beberapa orang lainnya, berada di barisan terdepan. Pada tangan Imam Ali r.a. berkibar panji perang Rasul Allah s.a.w. Ia terjun ke medan laga menerjang pasukan musuh yang jauh lebih besar dan kuat. Dalam perang ini untuk pertama kalinya kalimat "Allahu Akbar" berkumandang membajakan tekad pasukan muslimin. Saat itu terdengar suara musuh menantang: "Hai Muhammad suruhlah orang-orang yang berwibawa dari asal Qureiys supaya tampil!" Mendengar tantangan itu, laksana singa lapar Imam Ali r.a. meloncat maju ke depan mendekati suara yang menantang-nantang. Terjadilah perang tanding (duel) antara Imam Ali r.a. dengan Al Walid bin Utbah, saudara Hindun isteri Abu Sufyan. Dalam pertempuran yang seru itu, Al Walid mati di ujung pedang Imam Ali r.a. Dalam perang Badr ini 70 orang pasukan kafir Qureiys mati terbunuh, dan hampir separonya mati di ujung pedang Imam Ali r.a. Kecuali itu lebih dari 70 orang pemuka Qureiys berhasil ditawan dan digiring ke Madinah. Perang Badr yang berakhir dengan kemenangan kaum muslimin itu merupakan fajar pagi yang menandai pesatnya kemajuan agama Allah s.w.t.

Bab IV-2 : Perang Uhud
Dalam peperangan yang kedua ini, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji kaum muhajirin kepada Imam Ali r.a. Sedangkan panji kum Anshar diserahkan kepada salah seorang di antara mereka sendiri. Peperangan Uhud terkenal dalam sejarah sebagai peperangan yang amat gawat. 700 pasukan muslimin harus berhadapan dengan 3.000 pasukan kafir Qureiys yang dipersiapkan dengan perbekalan dan persenjataan serba lengkap. Kecuali itu diperkuat pula dengan pasukan wanita di bawah pimpinan Hindun binti 'Utbah, isteri Abu Sufyan bin Harb, guna memberikan dorongan moril, agar orang-orang kafir Qureiys jangan sampai lari meninggalkan medan tempur. Untuk menghadapi kaum musyrikin yang sudah memusatkan kekuatan di Uhud, pasukan muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. menuju ke tempat itu, dengan memotong jalan sedemikian rupa, sehingga gunung Uhud berada di belakang mereka. Kemudian Rasul Allah s.a.w. mulai mengatur barisan. 50 orang pasukan pemanah ditempatkan pada sebuah lembah di antara dua bukit. Kepada mereka diperintahkan supaya menjaga pasukan yang ada di belakang mereka. Ditekankan jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga. Sebab hanya dengan senjata panah sajalah serbuan pasukan berkuda musuh dari belakang dapat ditahan. Perang Uhud mulai berkobar dengan tampilnya Imam Ali r.a. ke depan melayani tantangan Thalhah bin Abi Thalhah yang berkoar menantang-nantang: "Siapakah yang akan maju berduel?" Seperti api disiram minyak semangat Imam Ali r.a. membara. Dengan ayunan langkah tegap dan tenang, serta sambil mengeretakkan gigi, ia maju dengan pedang terhunus. Baru saja Thalhah bin Abi Thalhah menggerakan tangan hendak mengayun pedang, secepat kilat pedang Imam Ali
r.a. "Dzul Fikar" menyambarnya hingga terbelah dua. Betapa bangga Rasul Allah s.a.w. menyaksikan ketangkasan putera pamannya itu. Ketika itu kaum muslimin yang menyaksikan kesigapan Imam Ali r.a., mengumandangkan takbir berulang-ulang. Dengan tewasnya Thalhah bin Ahi Thalhah, pertarungan sengit berkecamuk antara dua pasukan. Sekarang Abu Dujanah tampil dengan memakai pita maut di kepala dan pedang terhunus di tangan kanan yang baru saja diserahkan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Ia seorang yang sangat berani. Laksana harimau keluar dari semak belukar ia maju menyerang musuh dan membunuh siapa saja dari kaum musyrikin yang berani mendekatinya. Bersama Abu Dujanah, Imam Ali r.a. mengobrak-abrik barisan musuh. Dalam pertempuran ini Hamzah bin Abdul Mutthalib tidak kalah semangat dibanding dengan putera saudaranya sendiri, Imam Ali r.a., dan Abu Dujanah. Hamzah demikian lincah dan tangkas melabrak pasukan musyrikin dan menewaskan tiap orang yang berani mendekat. Ia terkenal sebagai pahlawan besar dalam menghadapi musuh. Sama seperti dalam perang Badr, dalam perang Uhud ini Hamzah benar-benar menjadi singa dan merupakan pedang Allah yang sangat ampuh. Banyak musuh yang mati di ujung pedangnya. Dalam pertempuran antara 700 pasukan muslimin melawan 3000 pastikan musyrikin itu, kita saksikan kejantanan trio Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mereka merupakan tauladan dan wujud dari kekuatan moril yang sangat tinggi. Suatu kekuatan yang membuat pasukan Qureiys menderita kehancuran mental, mundur dan surut. Tiap panji mereka lepas dari tangan pemegangnya dan diganti oleh pemegang panji yang lain, tiap kali itu juga dipangkas habis oleh tiga sejoli pahlawan Islam itu. Thalhah bin Abi Thalhah kepalanya dibelah dua oleh Imam Ali r.a. Utsman bin Abi Thalhah dipotong gembungnya oleh Hamzah, Abu Saad lolos dari ujung pedang Abu Dujanah dan berusaha merebut panji musyrikin Qureiys yang sudah dirobek-robek oleh Abu Dujanah, tetapi keburu dipisahkan kepalanya dari batang tubuhnya oleh Imam Ali r.a. Sembilan orang pemegang panji musyrikin Qureiys tewas berturut-turut di ujung pedang Imam Ali r.a., Hamzah dan Abu Dujanah. Mental pasukan Qureiys sudah patah sama sekali. Pasukan wanita mereka lari terbirit-birit. Berhala-berhala yang mereka bawa untuk dimintai restu dalam peperangan, sekarang sudah jatuh terpelanting dari punggung unta. Dalam keadaan masing-masing lari untuk menyelamatkan diri, semua perbekalan yang mereka bawa dari Makkah ditinggalkan dan senjata-senjata di buang di kiri-kanan jalan. Alangkah banyaknya barang-barang itu. Hal ini membuat pasukan muslimin lengah dan lupa daratan. Fikiran mereka sudah teralih kepada kekayaan duniawi. Pasukan pemanah yang di wanti-wanti supaya jangan sampai meninggalkan tempat, walau dalam keadaan bagaimanapun juga, sekarang mulai mengarahkan pandangan-mata kepada teman-teman yang sedang sibuk mengangkuti barang-barang rampasan. Melihat barang-barang sedemikian banyaknya, mereka tak dapat lagi menahan air liur. Bahkan khawatir kalau-kalau tak akan mendapat bagian! Sebagian besar pasukan pemanah itu turun meninggalkan lereng gunung untuk ikut ambil bagian dalam kesibukan mengumpulkan barang-barang peninggalan musuh. Pesan Rasul Allah s.a.w. mereka lupakan. Apalagi yang harus dikerjakan, tokh peperangan sudah kita menangkan? Begitulah fikir mereka. Pada saat itulah Khalid bin Al Walid, seorang komandan pasukan berkuda Qureiys, mengambil kesempatan untuk menyerbu dari belakang kaum muslimin yang sedang memperebutkan barang rampasan. Khalid bin Al Walid melancarkan serangan sengit. Bencana berbalik menimpa kaum muslimin. Setelah melihat situasi berubah, orang-orang kafir Qureiys yang lari kembali lagi dan melakukan serangan dahsyat, hingga pasukan muslimin terpaksa melemparkan barang-barang dan senjata rampasan yang baru dikumpulkan. Mau tidak mau kaum muslimin sekarang harus menghunus pedang guna menangkis. Sayang seribu sayang. Mereka hanya berjuang untuk menyelamatkan diri dari ancaman maut. Iman mereka menjadi kendor, barisan tercerai-berai, terpisah dari pimpinan Rasul Allah s.a.w. Keadaan mereka sudah sedemikian kacau dirangsek oleh serangan musuh, sehingga tak aneh kalau sampai terjadi pedang seorang muslim tanpa disengaja mengenai saudaranya sendiri. Di saat-saat yang genting seperti itu, Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya segera melindungi Rasul Allah s.a.w. Dengan segenap kekuatan yang ada mereka menangkis tiap serangan yang datang, guna menyelamatkan Rasul Allah s.a.w. Semua sudah bertekad hendak mati syahid, lebih-lebih setelah melihat Rasul Allah s.a.w. terkena lemparan batu besar yang dicampakkan oleh 'Utbah bin Abi Waqqash. Akibat lemparan batu itu geraham Rasul Allah s.a.w. patah, wajahnya pecah-pecah, bibirnya luka parah, dan dua buah kepingan rantai topi besi yang melindungi wajah beliau menembus pipinya. Setelah dapat menguasai diri kembali, Rasul Allah s.a.w. berjalan perlahan-lahan dikelilingi oleh sejumlah sahabat. Tiba-tiba beliau terperosok ke dalam sebuah liang yang sengaja digali oleh Abu 'Amir untuk menjebak pasukan muslimin. Imam Ali r.a. bersama beberapa orang sahabat lainnya cepat-cepat mengangkat beliau. Kemudian dibawa naik ke gunung Uhud untuk diselamatkan dari pengejaran musuh. Di celah-celah bukit, Imam Ali r.a. mengambil air untuk membasuh wajah Rasul Allah s.a.w. dan menyirami kepala beliau. Dua buah kepingan rantai besi yang menancap dan menembus pipi beliau dicabut oleh Abu Ubaidah bin Al Jarrah dengan giginya, sampai dua buah gigi-serinya tanggal. Kaum musyrikin Quxeiys dengan kemenangan itu merasa sudah sungguh-sungguh berhasil menebus kekalahan dalam perang Badr. Seperti yang dikatakan oleh Abu Sufyan: "Yang sekarang ini untuk menebus peristiwa perang Badr. Sampai jumpa lagi tahun depan!" Akan tetapi isterinya yang bernama Hindun binti 'Utbah belum merasa cukup dengan kemenangan itu. Dan belum puas kalau hanya mendengar berita tentang tewasnya Hamzah bin Abdul Mutthalib, yang telah membunuh seorang saudaranya dalam perang Badr. Bersama beberapa orang wanita lain ia mencari-cari mayat kaum muslimin. Mereka memotongi telinga dan hidung mayat-mayat itu dan dijadikan barang mainan. Tidak itu saja, mayat Hamzah dibedah perutnya, dikeluarkan jantungnya (hatinya), lalu dikunyah-kunyah, tetapi ia tak sampai dapat menelannya. Demikian kejam dan sadisnya Hindun itu, yang kemudian ditiru oleh teman-temannya, bahkan tidak sedikit pula orang lelaki musyrikin Qureiys meniru sadism Hindun. Dari sangat kejinya perbuatan mereka itu, sampai pemimpin mereka, yakni suaminya Hindun, yaitu Abu Sufyan tidak mau bertanggung-jawab dan berusaha mencuci-tangan. Meskipun Abu Sufyan telah mencuci-tangan, namun kekotoran dirinya tak dapat disembunyikan. Inilah katakata Abu Sufyan: "Mayat-mayat kalian mengalami penganiayaan. Aku sungguh tidak senang, tetapi juga tidak benci. Aku tidak memerintahkan, tetapi juga tidak melarang." Perang Uhud benar-benar memberi pelajaran berharga kepada kaum muslimin. Daya tarik keduniaan hampir saja menghancurkan kaum muslimin yang masih pada awal pertumbuhannya.

Bab IV-3 : Perang Ahzab (Kandhaq)
Perang ini menjadi abadi dan masyhur dalam sejarah Islam, antara lain karena diikuti dengan turunnya firman Allah s.w.t. sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an (Surah Al-Ahzab). Untuk pertama kalinya dalam usia yang masih muda, kaum muslimin di Madinah dikepung oleh kurang lebih 10.000 orang pasukan musyrikin, yang terdiri dari berbagai suku dan qabilah. Pasukan itu diperkuat lagi oleh kaum Yahudi Banu Quraidhah, yang mengkhianati perjanjian perdamaian dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka ini bergabung dengan pasukan musyrikin Qureiys yang membeludak dari Makkah guna mengepung kota Madinah. Peperangan tersebut dinamakan juga perang Khandaq (Parit), karena untuk menanggulangi penyerbuan kaum musyrikin Qureiys atas usul dan prakarsa Salman Al Farisi, dengan persetujuan Rasul Allah s.a.w., kaum muslimin menggali parit-parit yang cukup lebar dan dalam di sekitar pinggiran kota Madinah Di perang Khandaq ini keampuhan dan ketangkasan Imam Ali r.a. juga teruji dalam perang tanding melawan seorang pendekar Qureiys yang terkenal ulung, yaitu 'Amr bin Abdu Wudd Al'Amiri. 'Amr seorang prajurit berkuda yang gesit dan lincah bermain pedang atau tombak. Dengan congkak dan sombong 'Amr bin Abdu Wudd berani maju ke depan menyeberangi parit pertahanan kaum muslimin, lewat bagian yang agak dangkal dan sempit. Sambil membanggakan kebolehannya mengendalikan kuda, ia berteriak menantang: "Hai . . . Apakah tak seorang pun yang berani keluar untuk bertanding?" Tantangan dari seorang jagoan yang garang itu tidak ditanggapi oleh pasukan muslimin. Kaum muslimin banyak yang mengenal siapa 'Amr bin Abdu Wudd itu dan betapa tenar namanya sebagai pendekar yang mahir berperang tanding. Setelah melihat kenyataan tak ada seorang pun yang menanggapi tantangan 'Amr, Imam Ali r.a. tidak tahan lagi menahan perasaan geramnya. Ia segera berdiri dan berkata kepada Rasul Allah s.a.w.: "Ya Rasul Allah, biarlah saya yang menandingi dia!" Rasul Allah s.a.w. yang mengetahui benar ' Amr itu seorang pendekar yang kenyang maka "garam" perang tanding, beranggapan, bahwa 'Amr bukanlah tandingan bagi saudara misannya yang baru berusia kurang dari 30 tahun. Karena itu maka beliau menyahut: "Duduk sajalah engkau, dia adalah 'Amr!" Karena tidak ada juga jawaban dari fihak muslimin, mak 'Amr yang beringas itu berkoar lagi: "Mana itu sorga yang akan kalian masuki bila kalian mati terbunuh, hah?!" Ejekan itu terasa seperti sembilu yang sangat mengiris-iris hati kaum muslimin, tetapi mereka tetap diam. Dengan darah muda yang mendidih laksana lahar yang menyembur dari kepundan, Imam Ali r.a. tidak dapat lagi menahan gejolak hatinya mendengar penghinaan yang sangat menyakitkan itu. Ia mendesak lagi kepada Rasul Allah s.a.w.: "Biarlah saya yang menghadapinya; ya Rasul Allah!" Tetapi Rasul Allah s.a.w. kembali memerintahkan supaya Imam Ali r.a. duduk dan tenang, sebab yang akan dihadapinya bukan sembarang orang. Dengan perasaan yang sudah terbakar dan dengan nada gemas, Imam Ali r.a. berusaha meyakinkan Rasul Allah s.a.w. bahwa ia sanggup melawan dedengkot kaum musyrikin itu: "Biar 'Amr sekalipun ya Rasul Allah!" Mengingat tekad Imam Ali r.a. yang begitu bulat, dan mengingat pula perlu membangkitkan keberanian kaum muslimin, akhirnya Rasul Allah s.a.w. memberi izin dan restu kepada Imam Ali r.a. untuk tampil ke depan. Imam Ali r.a. dengan hangat menyambut persetujuan dan idzin Rasul Allah s.a.w. Ia segera meloncat ke depan menyongsong tantangan seorang lawan yang bukan sembarangan. Dengan mengenakan baju besi dan menghunus pedangnya yang tersohor dengan nama "Dzul Fiqar", Imam Ali r.a. maju dengan ayunan langkah yang tegap dan diiringi doa Rasul Allah s.a.w.: "Ya Allah, dia adalah saudaraku dan putera pamanku. Janganlah Kaubiarkan aku seorang diri tanpa dia. Sesungguhnya Engkau tempat aku berserah diri yang sebaik-baiknya." Setelah berhadap-hadapan dengan 'Amr, tanpa perasaan gentar sedikit pun Imam Ali r.a. bertanya kepada 'Amr: "Hai 'Amr, bukankah engkau pernah berjanji, bahwa engkau akan menerima ajakan seorang dari Qureiys untuk menempuh salah satu di antara dua jalan hidup?" "Ya!" jawab 'Amr dengan singkat dan angkuh. "Engkau kuajak. ke jalan Allah dan Rasul-Nya, ke jalan Islam", kata Imam Ali r.a. melanjutkan. Kata-kata Imam Ali r.a. ini diucapkan dengan suara lantang yang memecahkan kesunyian garis pertempuran. Hampir semua mata dua pasukan yang siap tempur tertuju kepada dua sosok tubuh yang sedang berhadap-hadapan. 'Amr bin Abdu Wudd yang sudah cukup usia, garang dan banyak pengalaman menghadapi perang tanding kini bertatap muka dengan seorang anak muda yang berdiri tegak di hadapannya. Pemuda pemberani, jantan dan perkasa, berbaju besi dengan pedang terhunus di tangan. Sungguh anggun kelihatannya. Konfrontasi antara dua orang itu melambangkan konfrontasi dari dua kekuatan yang berlawanan. Kekuatan lama yang sudah lapuk dan kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu kekuatan jahiliyah dan kekuatan lslam. Mendengar pertanyaan yang bernada desakan itu, dengan cepat 'Amr menyahut: "Aku tidak membutuhkan itu!" "Kalau begitu, mari kita mulai bertanding!" tantang Imam Ali r.a. sambil siaga menghadapi gerakan 'Amr. Akan tetapi tantangan Imam Ali r.a. yang serius itu diremehkan saja oleh 'Amr:
"Aku tak suka menumpahkan darahmu. Ayahmu kan teman karibku!" Tanpa memperdulikan ucapan 'Amr, Imam Ali r.a. dengan perasaan tak sabar lagi berucap: "Tetapi, demi Allah, aku justru ingin membunuhmu!" Ucapan seorang muda yang dianggap ketus oleh 'Amr itu, ternyata membangkitkan amarah dan meluapkan emosinya. Cepat saja darah perang yang mengalir dalam tubuh 'Amr mendidih. Naluri keprajuritannya secara cepat menyentakkan gerak refleksi dan langsung seketika itu juga Imam Ali r.a. diserang. Demikian gesit dan tangkasnya 'Amr mengayunkan pedang dengandorongan tenaga yang luar biasa. Tetapi Imam Ali r.a. tidak kalah tinggi nalurinya dan gerak refleksinya. 'Amr yang sejak semula meremehkan lawan, ternyata sia-sia belaka dalam mengerahkan segala kekuatan ototnya untuk menebas leher Imam Ali r.a. Kesempatan yang meleset itu dipergunakan sebaik-baiknya oleh Imam Ali r.a. Ia mengelak, menangkis dan menyerang dalam gerak beruntun secara kilat. Pada saat 'Amr kehilangan keseimbangan badan, Pedang Dzul Fiqar yang diayun kuat-kuat oleh Imam Ali r.a. menyambar bahu kanan 'Amr sampai terbelah dua. Pendekar kebanggaan Qureiys itu jatuh dari atas kuda menggelepar di tanah mandi darah dan debu. Perang tanding berlangsung demikian cepat dan selesai jauh lebih cepat dari yang diperkirakan orang. Pada mulanya banyak yang menduga bahwa Imam Ali r.a. yang "masih hijau" itu akan "dibelah dua" oleh pedang 'Amr. Oleh karena itu ketika jagoan Qureiys itu tersungkur tidak bangkit kembali, banyak orang dari kedua pasukan terkesima. Hampir saja mereka, tidak mempercayai apa yang sudah terjadi. Baru setelah Imam Ali r.a. menyerukan takbir, kaum muslimin menyambutnya dengan mengumandangkan kebesaran Allah: Allaahu Akbar ...Allaahu Akbar.... ! Tanpa perasaan sombong dan tinggi hati Imam Ali r.a. kemudian menuju ke tempat Rasul Allah s.a.w. Dengan perasaan haru dan syukur ke hadirat Allah s.w.t., Rasul Allah s.a.w. mengeluarkan pernyataan singkat: "Perang tanding yang dilaksanakan oleh Ali bin Abi Thalib melawan 'Amr bin Abdu Wudd itu merupakan perbuatan paling mulia yang dilakukan umatku sampai hari kiyamat." Akan tetapi terbunuhnya jagoan Qureiys belum menyelesaikan jalannya perang Khandaq. Namun terbunuhnya tokoh Qureiys itu menimbulkan kegoncangan yang hebat di kalangan pasukan penyerbu. Semangat pasukan penyerbu makin merosot, setelah harapan mereka untuk dapat menerobos parit makin tipis. Dalam keadaan seperti itu terjadilah angin ribut dan hujan deras diiringi suara petir sambarmenyambar. Kemah-kemah dan perkakas-perkakas masak kaum musyrikin beterbangan dilanda angin kencang. Kubu pertahanan mereka menjadi porak poranda dan banyak sekali diantara mereka yang tak tahan menghadapi tekanan udara dingin. Di tengah-tengah hembusan angin puyuh seribut itu, Abu Sufyan yang dalam perang Khandaq ini bertindak selaku rimpinan pasukan penyerbu, berkata kepada anak buahnya: "Saudara-saudara, kita tak perlu lama lagi tinggal di tempat ini. Banyak kuda dan unta kita yang sudah binasa. Bani Quraidah sudah tak menepati janjinya lagi dengan kita. Bahkan kita mendengar hal-hal dari mereka yang tidak menyenangkan hati. Tambah lagi kita menghadapi angin kencang begini ributnya. Maka itu lebih baik kita pulang saja. Aku sendiri akan berangkat pulang!" Di tengah-tengah angin puyuh yang begitu kencangnya, Abu Sufyan dan rombongan secara bergelombang meninggalkan tempat dan kembali ke Makkah. Keesokan harinya sudah tak ada lagi seorang Qureiys atau Yahudi yang masih tinggal. Semuanya sudah jauh meninggalkan parit. Rasul Allah bersama kaum muslimin lainnya dengan tenang kembali ke tempat kediaman masing-masing. Semuanya memanjatkan syukur sedalam dalamnya kepada Allah s.w.t. yang telah menghindarkan mereka dari marabahaya. Perjanjian Hudaibiyah Beberapa waktu sesudah perang Ahzab (Khandaq), Rasul Allah s.a.w. berangkat membawa kaum muslimin kurang lebih 1500 orang. Beliau berangkat ke Makkah bukan dengan maksud untuk berperang, melainkan untuk menunaikan ibadah haji. Tak ada sebilah pedang yang terhunus. Berita tentang keberangkatan Rasul Allah s.a.w. ini sampai juga kepada kaum Qureiys. Mendengar berita itu kaum Qureiys segera membikin persiapan. Mereka khawatir kalau-kalau keberangkatan Rasul Allah s.a.w. itu hanya merupakan tipu muslihat untuk menyerbu Makkah. Khalid bin Al Walid dan pasukannya menghadang kaum muslimin di tempat beberapa mil jauhnya di luar kota Makkah. Rasul Allah s.a.w. setelah mendengar berita gerak-gerik pasukan Qureiys itu tetap melanjutkan perjalanan. Untuk menghindari konflik senjata beliau dengan sejumlah sahabat menempuh jalan lain, meskipun jalan itu agak sulit dilewati. Akhirnya beliau tiba di sebuah tempat bernama Hudaibiyah. Mengetahui perkembangan baru yang ditempuh oleh rombongan Rasul Allah s.a.w. Khalid bin A1 Walid dan pasukannya segera kembali ke Makkah untuk mempertahankan kota. Ketika itu semua orang Qureiys sudah dihinggapi kegelisahan dan khawatir menghadapi kaum muslimin. Walaupun begitu mereka tetap bertekad hendak mencegah masuknya rombongan Rasul Allah s.a.w. dengan cara apa saja. Selang beberapa hari, fihak Qureiys mengirim utusan kepada Nabi Muhammad s.a.w. guna mengetahui benar-benar apa yang sesungguhnya menjadi maksud kedatangan beliau dan rombongan. Setelah melakukan dialog seperlunya, perutusan itupun kembali. Mereka percaya, bahwa kedatangan kaum muslimin benar-benar hendak menunaikan ibadah haji. Sewaktu hal itu dilaporkan, kaum musyrikin Qureiys tak mempercayainya. Malahan perutusan itu dituduh berkhianat hendak membantu Rasul Allah s.a.w. Kaum musyrikin mengirim utusan lagi dipimpin seorang gembong terkemuka. Hasilnya sama saja dengan perutusan yang pertama: Kaum musyrikin Qureiys masih tak percaya. Kini dikirim utusan seorang saja, yaitu 'Urwah bin Mas'ud Ats Tsaqafiy. Sekembalinya dari perundingan dengan Nabi Muhammad s.a.w., 'Urwah mengemukakan kepada kaum musyrikin Qureiys, bahwa "Rasul Allah s.a.w. menawarkan satu rencana yang baik, oleh sebab itu terimalah!" Sejalan dengan itu Rasul Allah sendiri kemudian mengirim seorang utusan, yaitu Kharrasiy Al Khuza'iy guna menemui orang Qureiys. Musyrikin Qureiys tidak mau menerima utusan itu  unta kendaraannya dibantai dan hampir saja ia dibunuh, kalau tidak dicegah oleh salah seorang gembong Qureiys. Rasul Allah s.a.w. berusaha terus. Kali ini yang dikirim Utsman bin Affan r.a. Ia baru masuk Makkah setelah ada jaminan dari anak pamannya, Aban bin Sa'id Al Ash. Dalam pertemuannya dengan orang-orang Qureiys, Utsman bin Affan menjelaskan maksud kedatangan Rasul Allah s.a.w. dan rombongan tidak lain hanya ingin menunaikan ibadah haji. Kaum musyrikin Qureiys memang kepala batu. Utsman bin Affan mereka tahan selama 3 hari. Di kalangan kaum muslimin terdengar desas-desus bahwa Utsman bin Affan telah mati dibunuh. Untuk menghadapi kemungkinan Utsman bin Affan r.a. benar-benar dibunuh oleh orang-orang Qureiys, Nabi Muhammad berseru kepada para sahabatnya supaya menyatakan janji setiam(bai'at) guna melancarkan serangan menuntut bela melawan penghianatan Qureiys. Kaum muslimin berlomba-lomba menyambut seruan beliau. Mereka siap memanggul senjata untuk berperang melawan Qureiys. Janji setia kaum muslimin kepada Rasul Allah s.a.w. yang bersejarah itu dilakukan oleh mereka di bawah sebatang pohon. Peristiwa itu dikenal dengan nama "Bai'atur Ridhwan" (janji setia yang diridhoi Allah). Satu peristiwa yang dipuji Allah s.w.t., seperti yang termuat dalam S. Al Fath:l8 (A1 Qur'an). Mendengarkan kebulatan tekad kaum muslimin di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. itu, kaum musyrikin Qureiys merasa gentar. Mereka sudah mengenal betapa gigihnya kaum muslimin berperang, seperti yang telah dibuktikan pada masa-masa yang lalu. Musyrikin Qureiys mengirim utusan yang dipimpin oleh Suhail bin Amr. Setelah perutusan itu mengadakan perundingan dengan Rasul Allah s.a.w., dua belah fihak sepakat untuk menanda-tangani sebuah perjanjian gencatan senjata. Nabi Muhammad s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan nashah perjanjian yang akan ditanda-tangani oleh kedua belah fihak. Sedangkan beliau sendiri mendiktekan syaratsyarat yang telah disetujui bersama. Pertama-tama beliau berkata: "Tulislah: "Bismillaahi ar-Rahman ar-Rahim . . ." Mendengar kalimat itu Suhail menukas: "Berhenti dulu. Aku tidak mengerti apa ar-Rahman ar- Rahim" itu! Tulis saja "Dengan nama-Mu, ya Allah. . ." Tanpa menyangkal lagi Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menulis apa
yang diminta oleh Suhail. Kemudian beliau meneruskan, "Tulislah: 'Inilah perjanjian yang diadakan oleh Muhammad Rasul Allah dengan Suhail bin 'Amr'…" Suhail memotong "Berhenti dulu. Kalau aku percaya engkau Rasul Allah, tentu aku tidak akan memerangimu. Tuliskan saja namamu dan nama ayahmu...!"
Rasul Allah menuruti apa yang diminta oleh Suhail. Beliau memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menuliskan kalimat: "Inilah perjanjian yang telah disepakati Muhammad bin Abdullah..." dst. Kemudian dilanjutkan dengan penulisan teks syarat-syarat perjanjian yang terdiri dari empat pokok:
1. Perjanjian gencatan senjata antara kedua belah fihak berlaku selama masa 10 tahun.
2. Jika ada orang dari fihak Qureiys memeluk Islam kemudian bergabung dengan Rasul Allah s.a.w. tanpa seizin Qureiys, orang itu akan dikembalikan oleh Rasul Allah kepada Qureiys. Sebaliknya jika ada orang dari fihak Rasul Allah yang murtad dan kembali ke fihak Qureiys, orang itu oleh Qureiys tidak akan dikembalikan kepada Rasul Allah.
3. Jika ada orang Arab ingin bersekutu dengan Rasul Allah, dibolehkan. Dan apabila ada orangorang Arab lain ingin bersekutu dengan kaum Qureiys, ia bebas berbuat demikian.
4. Rasul Allah dengan para pengikutnya harus pulang meninggalkan Makkah. Mereka berhak untuk kembali lagi ke Makkah pada musim haji yang akan datang untuk berziarah ke Baitul Haram, dengan syarat: mereka hanya akan tinggal di Makkah selama 3 hari, dan tidak akan mengeluarkan pedang dari sarungnya. Tidak lama setelah "Perjanjian Hudaibiyah" itu ditandatangani, Banu Khuza'ah segera menyatakan bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. Sedangkan Banu Bakr menyatakan bersekutu dengan fihak Qureiys. Dengan perjanjian tersebut kaum muslimin memperoleh kesempatan leluasa untuk menyiarkan agama Islam kepada orang-orang Arab di luar kaum musyrikin Qureiys, dan memperoleh waktu yang cukup untuk membangun dan memperkuat negeri.

Bab IV-4 : Perang Khaibar
Walaupun Rasul Allah s.a.w. telah mengadakan perjanjian perdamaian dengan musyrikin  Qureiys (Perjanjian Hudaibiyah), namun beliau berfikir, bahwa keamanan dan keselamatan kaum muslimin belum terjamin, selama masih ada kekuatan-kekuatan anti Islam yang bercokol di utara Madinah. Kekuatan itu ialah kaum Yahudi yang mempunyai beberapa benteng di Khaibar. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, orang-orang Yahudi memang tidak dapat dipercaya kejujurannya dalam melaksanakan perjanjian perdamaian. Peristiwa pengkhianatan itu telah terjadi beberapa kali dilakukan oleh orang-orang Yahudi dari Banu Quraidah, Bani Qainuqa' dan Bani Nadhir. Sekarang tibalah saatnya untuk mematahkan kekuatan terakhir kaum Yahudi, yang selama ini dirasakan sebagai duri di dalam daging. Tanpa membuang-buang waktu, Rasul Allah mempersiapkan pasukan sebanyak 1600 orang dan 100 pasukan berkuda guna diberangkatkan ke Khaibar. Setelah berjalan tiga hari tibalah pasukan muslimin di depan perbentengan Khaibar. Mereka telah berada di depan benteng Natat. Esok paginya pertempuran mati-matian mulai berkobar. 50 orang dari pasukan muslimin gugur dan dari fihak Yahudi lebih banyak lagi, termasuk pemimpin Yahudi Khaibar, yaitu Salam bin Misykam. Setelah Salam terbunuh pimpinan Yahudi dipegang oleh Harits bin Abi Zainab. Ia keluar dari benteng Na'im bersama sejumlah pasukan dengan maksud hendak menggempur kaum muslimin. Pasukan Muslimin yang terdiri dari orang-orang Khazraj berhasil memukul mundur pasukan Harits sampai mereka masuk ke dalam benteng. Pasukan muslimin makin memperketat pengepungan atas beberapa benteng Khaibar. Pihak Yahudi bertahan mati-matian. Bagi mereka, jika kali ini kalah, berarti penumpasan terakhir Bani Israil di negeri Arab. Pengepungan itu berlangsung selama beberapa hari. Untuk melancarkan serangan, Rasul Allah s.a.w. menyerahkan panji peperangan kepada Abu Bakar As Shiddiq r.a. Dengan tugas supaya menyerbu dan merebut benteng Na'im. Setelah terjadi pertempuran, Abu bakar r.a. kembali tanpa berhasil mendobrak benteng tersebut. Keesokan harinya, Rasul Allah s.a.w. menugaskan Umar Ibnul Khattab r.a. Iapun mengalami nasib yang sama seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. Sekarang Imam Ali r.a. dipanggil oleh Rasul Allah s.a.w. seraya berkata: "Pegang panji ini dan bawa terus sampai Allah memberikan kemenangan kepadamu!" Imam Ali r.a. berangkat membawa panji Rasul Allah s.a.w. Setibanya dekat benteng, penghuni benteng itu keluar serentak menghadapinya. Ketika itu juga terjadi pertempuran. Salah seorang Yahudi berhasil memukul Imam Ali r.a. sampai perisai yang ada di tangannya terpental. Tetapi dengan gerakan kilat Imam Ali r.a. segera menjebol salah sebuah daun pintu yang ada di benteng dan dengan berperisaikan daun pintu itu terus menerjang dan menggempur. Akhirnya benteng itu dapat didobrak, dan daun pintu yang dipegangnya dijadikan jembatan. Dengan jembatan itu kaum muslimin menyeberang serentak dan menyerbu ke dalam benteng. Kaum Yahudi bertahan mati-matian. Benteng Na'im itu baru jatuh sepenuhnya, setelah komandan pasukan Yahudi, Harits bin Abi Zainab mati terbunuh. Peristiwa pertempuran itu menunjukkan betapa uletnya kaum Yahudi bertahan, dan menunjukan pula tingginya semangat juang kaum muslimin dalam perang Khaibar. Dengan jatuhnva benteng Na'im, praktis tidak banyak lagi kesukaran bagi kaum muslimin untuk
menjebol dan mengobrak-abrik benteng-benteng Khaibar lainnya yang masih tinggal, seperti benteng Qamus, benteng Sha'b dan lain-lain yang tidak seberapa kokoh. Dengan jatuhnya semua benteng Yahudi di Khaibar, perasaan putus asa merayap di dalam hati mereka, kemudian mereka minta damai. Semua harta benda yang ada di dalam perbentengan diserahkan kepada Rasul Allah s.a.w. sebagai barang ghanimah, dengan syarat mereka diselamatkan. Rasul Allah s.a.w. menerima usul dan menyetujui permintaan mereka itu. Mereka dibiarkan tetap tinggal di kampung-halaman mereka, mengerjakan tanah yang kini menjadi milik kaum muslimin. Sebagai imbalan mereka mendapat upah separuh dari hasil tanaman. Makkah Belum sampai setahun Perjanjian Hudaibiyah berlaku, terjadi bentrokan senjata antara Bani Khuza'ah yang bersekutu dengan Rasul Allah s.a.w. dan Banu Bakr yang bersekutu dengan fihak Qureiys. Bentrokan itu terjadi akibat adanya seorang dari Banu Bakr yang mengejek-ejek Rasul Allah s.a.w. di depan seorang dari Banu Khuza'ah. Oleh orang dari Banu Khuza'ah, orang dari Banu Bakr itu dipukul. Gara-gara pemukulan itu, bergeraklah orang-orang Banu Bakr menyerang orang-orang Banu Khuza'ah. Permusuhan lama di antara dua qabilah itu memang sudah ada. Dalam serangan itu, Banu Bakr dibantu langsung oleh musyrikin Qureiys, hingga jatuh korban tidak sedikit di kalangan Banu Khuza'ah. Untuk menanggulangi serangan Banu Bakr yang mendapat bantuan Qureiys, Banu Khuza'ah minta bantuan Rasul Allah s.a.w. Beliau menyatakan kesediaannya untuk membantu Banu Khuza'ah. Mendengar ketegasan sikap Rasul Allah s.a.w. yang akan membantu Banu Khuza'ah, orang-orang Qureiys di Makkah cemas dan takut. Mereka mengirim Abu Sufyan ke Madinah untuk menghadap Rasul Allah s.a.w. Tujuan Abu Sufyan ialah untuk memperbaiki keadaan dan mengokohkan perjanjian Hudaibiyah. Waktu Abu Sufyan menyampaikan permintaan untuk memperkokoh dan memperpanjang waktu berlaku perjanjian, Rasul Allah s.a.w. menolak. Abu Sufyan belum putus harapan. Ia menemui Abu Bakar r.a., kemudian Umar r.a. Dua-duanya juga menolak untuk membantu Abu Sufyan. Abu Sufyan mencoba membujuk anak perempuannya sendiri, yang sudah menjadi isteri Nabi Muhammad s.a.w. Baru saja Abu Sufyan masuk dan belum sempat duduk, tikar segera digulung oleh Ummu Habibah, sambil berkata: "Ini tikar kepunyaan Rasul Allah. Ayah tidak boleh dudu  atasnya, sebab ayah orang musyrik dan kotor…" Abu Sufyan belum putus asa. Dicobanya menemui Sitti Fatimah r.a., isteri Imam Ali r.a. Sitti Fatimah r.a. juga menolak untuk membantu Abu Sufyan. Persoalan datangnya Abu Sufyan itu disampaikan Sitti Fatimah r.a. kepada suaminya. Waktu bertemu dengan Abu Sufyan, Imam Ali r.a. berkata: "Mengenai persoalan itu Rasul Allah sudah mengambil pendirian tegas. Kami tidak dapat mengajaknya berbicara tentang itu..." Sekarang habislah harapan Abu Sufyan. Ia pulang ke Makkah dengan tangan kosong. Di Madinah, Rasul Allah s.a.w. mempersiapkan kaum muslimin untuk siaga menghadapi peperangan. Setelah semua persiapan selesai, beliau berangkat memimpin pasukan muslimin berkekuatan 10.000 orang. Setibanya dekat Makkah kaum muslimin diperintahkan supaya setiap orang menyalakan obor, sehingga waktu malam di tengah gurun pasir terang benderang seperti siang. Pada malam itu juga Abu Sufyan bersama sejumlah orang Qureiys berangkat ke luar kota Makkah untuk mencari informasi tentang keadaan kaum muslimin. Sejak beberapa waktu yang lalu ia tidak mendengarnya lagi, karena Rasul Allah s.a.w. dan para sahabatnya benar-benar merahasiakan rencana keberangkatan, agar jangan sampai diketahui oleh Qureiys sebelum tiba di Makkah. Melihat ribuan obor menyala-nyala dari kejauhan, Abu Sufyan ketakutan. Ia berniat hendak kembali masuk kota sambil mempercakapkan ribuan obor dengan teman-temannya. Mereka sama sekali tidak mengerti maksudnya. Pada malam hari itu juga Abbas bin Abdul Mutthalib keluar dari pemusatan pasukan muslimin mencari orang-orang dari kaum musyrikin Qureiys, untuk diberi tahu tentang kedatangan kaum  muslimin dengan kekuatan yang besar. Dengan cara itu Abbas bermaksud hendak menekan kaum musyrikin Qureiys supaya menyerah sebelum kaum muslimin masuk ke dalam kota Makkah. Waktu itu dari kejauhan Abbas mendengar sayup-sayup suara Abu Sufyan sedang bercakap cakap dengan teman-temannya tentang obor yang ribuan jumlahnya. Ia mengenal baik suara Abu Sufyan. Dengan teriakan keras sekali Abbas memanggil-manggil: "Hai Abu Handhalah !" Terdengar suara Abu Sufyan menyahut dengan teriakan bertanya: "Abu Fadhl…?" "Ya," jawab Abbas. "Demi ayah dan ibuku...., ada kabar apa? Tanya Abu Sufyan yang tampak agak terkejut bercampur takut. "Inilah Rasul Allah datang membawa pasukan yang tak mungkin dapat kalian hadapi!" Jawab Abbas menakut-nakuti Abu Sufyan. "Lantas apa yang kau perintahkan kepadaku ...?" Abu Sufyan bertanya untuk mencari tahu apa yang diinginkan kaum muslimin. "Ayolah turut naik untaku!" teriak Abbas menghimbau. Terdorong oleh ketakutannya, tanpa banyak berfikir lagi Abu Sufyan segera mendekati Abbas, lalu naik ke atas unta, duduk di belakang Abbas. Setibanya di depan Rasul Allah s.a.w., Abbas minta supaya beliau memberi jaminan keselamatan Abu Sufyan. Nabi Muhammad menjawab: "Pergilah. Dia kujamin keselamatannya sampai datang lagi besok pagi!" Pagi pagi Abbas datang rnembawa Abu Sufyan menghadap Rasul Allah. Kepada Abu Sufyan bertanya setengah menegor dengan tandas: "Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apakah belum juga engkau mengerti bahwa tidak ada tuhan selain Allah!" "Demi ayah-ibuku", jawab Abu Sufyan. " Itu samasekali tidak ada dalam fikiranku!" Mendengar jawaban seperti itu Abbas membentak Abu Sufyan: "Celaka sekali engkau! Ucapkan syahadat sebelum lehermu dipenggal!" Melihat sikap Abbas sekeras itu barulah Abu Sufyan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia mengucapkan dua kalimat syahadat pada saat kaum musyrikin Qureiys tidak berdaya lagi melawan kaum muslimin. Ucapan yang keluar dari hati yang tidak tulus. Meskipun begitu Rasul Allah s.a.w. tetap bijaksana. Beliau memerintahkan Abbas pergi membawa Abu Sufyan, dan ditahan di sebuah lembah yang akan dilalui pasukan muslimin dalam gerakan memasuki kota Makkah. Gelombang demi gelombang, kelompok demi kelompok pasukan muslimin bergerak masuk ke Makkah. Dengan suara gemuruh mereka mengumandangkan takbir, bertahlil dan bersyukur ke hadirat Allah Tabaraka wa Ta'ala. Waktu Abu Sufyan melihat pasukan yang langsung dipimpin Nabi Muhammad s.a.w. lewat, yang terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, ia bertanya kepada Abbas tentang kelompok itu. Abbas menjelaskan: "Itu kelompok pasukan Rasul Allah..... Itulah beliau, Rasul Allah s.a.w… dan itulah mereka kaum Muhajirin dan Anshar…!" "Hai Abu Fadl", kata Abu Sufyan yang nampak kagum terhadap kelompok pasukan itu, "putera saudaramu sudah menjadi raja yang hebat sekali!"
"Itu kenabian ....bukan kerajaan!" bentak Abbas menjelaskan. "Oh . . . ya", sahut Abu Sufyan. Pada saat itu ada dua orang dari kaum musyrikin Qureiys, Hakim bin Hizam dan Badil bin Warqa, datang menjumpai Rasul Allah s.a.w. untuk menyatakan diri masuk Islam. Kemudian mengucapkan dua kalimat syahadat di depan beliau. Pada saat mulai masuk kota Makkah, Rasul Allah s.a.w. mengeluarkan pernyataan yang berisi jaminan keselamatan bagi kaum Qureiys. Antara lain dikatakan: "Barang siapa masuk ke rumah Abu Sufyan (terletak di bagian atas kota Makkah), ia terjamin keselamatannya! Barang siapa masuk ke rumah Hakim bin Hizam (terletak di bagian bawah kota Makkah), ia terjamin keselamatannya. Barang siapa menutup pintu rumahnya dan tidak mengangkat senjata, ia terjamin keselamatannya…!" Untuk menyebar-luaskan pernyataan itu kepada orang-orang Qureiys, Rasul Allah mengutus Abu Sufyan dan Hakim. Setelah itu Rasul Allah s.a.w. masuk ke dalam kota Makkah. Semua pasukan muslimin yang datang melalui berbagai jurusan dipusatkan dalam kota, guna menghindari terjadinya konflik senjata dengan kelompok-kelompok musyrikin. Rasul Allah s.a.w. bertekad keras untuk jangan sampai ada setetes darah pun yang mengalir. Oleh karena itu beliau cepat-cepat memberhentikan Sa'ad bin Ubadah dari jabatannya sebagai komandan pasukan karena diketahui Sa'ad telah mengeluarkan pernyataan hendak menumpas orang-orang Qureiys; "Hari ini hari pertarungan. Hari ini wanita-wanita Qureiys boleh dirampas dan diperbudak!" Sebagai gantinya, Rasul Allah s.a.w. mengangkat Imam Ali r.a. menjadi komandan pasukan. Setibanya dekat Ka'bah Rasul Allah s.a.w. berdiri di depan pintu sambil berseru kepada orang orang Qureiys: "Tiada Tuhan selain Allah tanpa sekutu apa pun juga. Dia telah memenuhi janji-Nya. Dia telah memenangkan hamba-Nya, dan Dia sendirilah yang telah mengalahkan pasukan Ahzab. Ketahuilah, bahwa kemuliaan keturunan dan kekayaan terletak di bawah telapak kakiku. Demikian pula pengurusan Ka'bah dan penyediaan air untuk jema'ah haji!" "Hai orang Qureiys", kata Nabi Muhammad s.a.w. selanjutnya, "sesungguhnya Allah hendak menghapuskan adat jahiliyah dari kalian termasuk kebiasaan mengagung-agungkan nenekmoyang. Semua manusia berasal dari Adam dan Adam terbuat dari tanah." "Hai manusia, Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang wanita, kemudian kalian Kami jadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya bahwa Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal…" (S. Alhujurat: 13). Selesai mengucapkan ayat tersebut, Rasul Allah s.a.w. bertanya: "Hai orang-orang Qureiys, apakah yang hendak kalian katakan? Apa yang kalian duga akan kuperbuat?" Mereka menjawab serentak: "Kami harap kebaikan akan diperbuat oleh saudara yang mulia, putera dari saudara yang mulia." Menanggapi jawaban mereka, Rasul Allah s.a.w. berkata lagi: "Yang kukatakan sama seperti yang dikatakan oleh saudaraku, Yusuf a.s.: Tak ada marabahaya menimpa kalian. Semoga Allah megampuni kalian, karena Dia adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Pergilah, kalian semua bebas merdeka!" Dengan kebijaksanaan seperti itu Rasul Allah s.a.w. mengetuk hati manusia untuk berbondongbondong memeluk agama Islam. Kemudian Nabi Muhammad s.a.w. menghancurkan berhala-berhala, dan menghapuskan dua buah gambar yang ada pada dinding Ka'bah dengan baju beliau sendiri. Kepada orang-orang Qureiys yang ada di sekitar tempat itu, beliau memerintahkan supaya menghancurkan berhala mereka masing-masing. Saat itu beliau mengucapkan sebuah ayat Al Qur'an, yang artinya: "Bilamana kebenaran telah tiba, musnahlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan itu pasti
musnah." (S. Al Isra:81). Dalam pekerjaan menghancurkan berhala-berhala itu, Imam Ali r.a. menyertai beliau. Ketika melihat sebuah berhala milik Banu Khuza'ah masih terletak di atas Ka'bah, Rasul Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya menghancurkannya. Untuk dapat naik ke atas, Imam Ali r.a. beliau angkat. Kemudian berhala tersebut oleh Imam Ali r.a. dijebol dan dibanting ke tanah sampai hancur berkeping-keping. Tengah hari berbondong-bondong kaum pria dan wanita Qureiys menghadap Rasul Allah s.a.w. untuk menyatakan diri memeluk Islam, dan berjanji akan taat dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya. Dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan Rasul Allah s.a.w., berarti hancurlah sudah benteng terkuat kaum musyrikin. Benteng yang paling keras dan paling gigih melancarkan seranganserangan terhadap Islam dan kaum Muslimin. Dengan jatuhnya Makkah, kini kota itu telah masuk ke dalam pangkuan kaum muslimin. Di Makkah, Rasul Ailah s.a.w. tinggal selama 15 hari untuk mengatur urusan pemerintahan setempat. Beliau mengangkat Hubairah bin Asy Syibl sebagai kepala daerah Makkah. Sedangkan Mu'adz bin Jabal ditugaskan mengajarkan A1 Qur'an dan hukumhukum Islam. Setelah selesai semuanya, beliau bersama pasukan menuju ke Taif untuk menghabisi kantong terakhir
pertahanan kaum Musyrikin.

Bab IV-5 : Perang Hunain
Perang ini merupakan salah satu peperangan terbesar dan terpenting bagi kaum muslimin. Setelah berhasil menguasai kota Makkah, pasukan muslimin yang sekarang sudah menjadi sangat kuat, masih harus menyelesaikan tugas besar. Yaitu menghancurkan pasukan Malik bin Auf yang terdiri dari qabilah Hawazin dan Tsaqif. Untuk menumpas perlawanan Malik dan kawan-kawannya, Rasul Allah s.a.w. memimpin pasukan terdiri dari 12.000 orang. 2000 diantaranya adalah orang-orang Qureiys yang baru masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah. Pasukan ini merupakan pasukan terbesar yang pernah dikerahkan oleh Rasul Allah s.a.w. ke medan perang. Di antara komandan-komandan pasukan banyak yang baru saja memeluk agama lslam, termasuk Khalid bin Al-Walid. Untuk menghadapi serangan kaum muslimin, Malik bin Auf menempatkan pasukannya pada posisi yang sangat strategis, yaitu di lambung kiri dan kanan lembah Hunain yang merupakan jalur lalu lintas sempit. Pada waktu pasukan Muslimin lewat lembah tersebut pasukan Malik akan menghujani mereka dengan anak panah. Siasat itu nampak berhasil baik. Di kala fajar mulai menyingsing, pasukan Islam yang berada di baris depan, di bawah komando Khalid bin Al-Walid, benar-benar masuk perangkap Malik bin Auf. Dengan gencar dan tak hentihentinya pasukan Malik menghujani pasukan muslimin dengan anak panah dan tombak. Karena kalah posisi dan diserang secara mendadak dan besar-besaran, pasukan muslimin menjadi kacau balau. Mereka lari terbirit-birit dan mundur tanpa teratur. Rasul Allah s.a.w. sendiri yang waktu itu masih berada di barisan belakang tidak dapat mencegah pasukan yang panik dan berusaha menyelamatkan diri. Jerih payah Rasul Allah s.a.w. yang selama ini dicurahkan untuk membina pasukan muslimin, hampir saja hancur berantakan di lembah Hunain ini. Orang-orang munafik sejenis Abu Sufyan bin Harb, yang secara resmi sudaah memeluk Islam dan bergabung dalam pasukan Rasul Allah s.a.w. bersorak-sorai kegirangan menyaksikan pasukan muslimin kocar-kacir. Demikian juga Syaibah bin Utsman. Pasukan Malik bergerak terus mengejar pasukan muslimin yang lari mundur dalam keadaan kacau dan berpencar-pencar. Keadaan menjadi gawat dan mengkhawatirkan. Rasul Allah s.a.w. merasa sukar sekali mengendalikan pasukan yang sudah kehilangan pamor sama sekali. Namun beliau tetap tenang dan tabah mengenderai kuda baghalnya yang berwarna putih. Orang-orang yang tetap mantap menyertai beliau antara lain terdapat Imam Ali r.a., Abbas bin AbdulMutthalib r.a., Abu Bakar r.a. dan Umar r.a. Berkat kegigihan dan ketangguhan para sahabat, berkat keberanian Imam Ali r.a. dan para sahabat lainnya dalam memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap Rasul Allah s.a.w., akhirnya kaum muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk melancarkan serangan balasan. Berangsur-angsur situasi berubah dan berbalik, sehingga kemenangan yang sangat mengesankan akhirnya dapat diraih oleh kaum muslimin. Dari peristiwa-peristiwa di atas dapat dilihat dengan jelas peranan kepahlawanan Imam Ali r.a. Tiap keadaan gawat dan genting ia selalu berada di samping Rasul Allah s.a.w.


Wafatnya Rasulullah S.A.W


WAFATNYA RASUL ALLAH S.A.W.
Pada hari-hari terakhir hayatnya Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. telah sampai pada puncak kematangannya, baik secara fisik, mental maupun pemikiran. Ketaqwaan dan imannya yang kuat telah teruji dalam pengalaman membela kebenaran Allah dan Rasul-Nya. Ilmu-ilmu Ilahiyah yang diterimanya langsung dari Nabi Muhammad s.a.w. telah cukup untuk menghadapi dan menanggulangi berbagai problem yang akan muncul di kalangan umat Islam. Tentang hal itu Nabi Muhammad s.a.w. sendiri telah menegaskan: "Aku ini adalah kotanya ilmu, sedang Ali adalah pintunya."
Penegasan Nabi Muhammad s.a.w. tentang kecerdasan dan kematangan fikiran Imam Ali r.a. kiranya cukup menjadi ukuran sejauh mana ilmu-ilmu pengetahuan yang telah dituangkan beliau kepada putera pamannya itu. Pandangan Nubuwwah Adalah wajar bila Rasul Allah s.a.w. bangga mempunyai seorang keluarga yang telah dibekali syarat-syarat untuk dapat meneruskan kepemimpinannya atas kaum muslimin. Berkat ketajaman pandangan nubuwwahnya, Nabi Muhammad s.a.w. telah melihat akan terjadinya hal-hal yang tidak menggembirakan sepeninggal beliau di masa mendatang. Mengenai hal yang terakhir ini, Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah, jilid X halaman 182-183 mengatakan: "Pada malam hari setelah mempersiapkan pasukan untuk menghadapi rongrongan Romawi di Balqa --di bawah pimpinan Usamah bin Zaid—Nabi Muhammad s.a.w. berziarah ke makam Buqai'. Setibanya di makam itu beliau mengucapkan: 'Assalamu 'alaikum, ya ahlal-qubur'. Semoga tempat di mana kalian berada ini lebih tenang daripada yang akan dialami oleh orang-orang yang masih hidup. Suatu malapetaka bakal terjadi seperti datangnya malam yang gelap-gulita dari permulaan sampai akhir."
Setelah memohon pengampunan bagi para ahlil-qubur, beliau memberitahu para sahabat: "Biasanya Jibril menghadapkan Al Qur'an kepadaku tiap tahun satu kali, tetapi tahun ini menghadapkan kepadaku sampai dua kali, kukira itu karena ajalku sudah dekat." Keesokan harinya Rasul Allah s.a.w. mengucapkan khutbah di hadapan jema'ah para sahabat. Beliau berkata: " Hai orang-orang, sudah tiba saatnya aku akan pergi dari tengah-tengah kalian. Barang siapa mempunyai titipan padaku hendaknya datang kepadaku untuk kuserahkan kembali kepadanya. Barang siapa mempunyai penagihan kepadaku hendaknya ia datang untuk segera kulunasi. Hai orang-orang, antara Allah dan seorang hamba, tidak ada keturunan atau urusan apa pun yang dapat mendatangkan kebajikan atau menolak keburukan, selain amal perbuatan. Janganlah ada orang yang mengaku-aku dan janganlah ada orang yang mengharap-harap. Demi Allah yang mengutusku membawa kebenaran, tidak ada apa pun yang dapat menyelamatkan selain amal perbuatan disertai cinta-kasih. Seandainya aku berbuat durhaka aku pun pasti tergelincir. Ya Allah ..., amanat-Mu telah kusampaikan!" Dari ucapan-ucapan Rasul Allah s.a.w. malam hari di makam Buqai' dan dari khutbah beliau yang diucapkan keesokan harinya, jelaslah bagi kaum muslimin kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi sepeninggal Rasul Allah s.a.w. Kesukaran kesukaran yang hanya dapat ditanggulangi dengan amal perbuatan yang disertai cinta-kasih, sesuai dengan ajaran Allah dan Rasul-Nya. Secara tidak langsung pun beliau memperingatkan, bahwa barang siapa berbuat durhaka, ia pasti akan tergelincir ke jalan yang tidak diridhoi Allah s.w.t. Jatuh sakit Canang dan peringatan Rasul Allah s.a.w. kepada ummatnya itu diucapkan di kala kaum muslimin di seluruh jazirah Arab sudah dalam keadaan mantap. Hanya dalam waktu 10 tahun, jazirah yang seluas itu telah bernaung di bawah kibaran panji-panji agama Allah. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, jazirah yang dihuni oleh qabilah-qabilah, suku-suku dan puakpuak yang saling bertentangan, bersaingan dan bercerai-berai itu, kini telah berhasil dipersatukan dalam satu agama, satu aqidah dan satu pimpinan. Agama Islam aqidahnya ialah tauhid dan pimpinannya ialah Rasul Allah s.a.w. Atas kehendak Allah s.w.t. dan rakhmat-Nya serta berkat kebijaksanaan Rasul-Nya, perjuangan mengakhiri paganism (agama keberhalaan) telah mencapai prestasi yang luar biasa besarnya. Missi suci menyebarkan agama Islam, praktis telah diselesaikan dengan sukses oleh Nabi Muhammad s.a.w. Sekembalinya dari ibadah haji wada', Rasul Allah s.a.w. mengangkat Usamah bin Zaid bin Haritsah sebagai panglima pasukan muslimin untuk menghadapi rongrongan Romawi di Balqa, sebelah utara jazirah Arab. Pengangkatan Usamah yang baru berusia 22 tahun itu, menimbulkan kekhawatiran di kalangan para sahabat terkemuka. Sebab, selain Usamah masih terdapat panglima-panglima yang telah banyak makan garam peperangan dan pantas untuk jabatan itu. Namun Rasul Allah s.a.w. tetap berpegang teguh pada kebijaksanaan yang telah ditetapkan. Secara psikologis pengangkatan Usamah bin Zaid adalah tepat. Ia seorang tokoh muda yang cerdas dan penuh inisiatif. Lagi pula ayahnya, Zaid bin Haritsah, bukan nama yang kecil dalam jajaran pahlawan-pahlawan Islam. Ia gugur di Mu'tah sebagai pahlawan syahid dalam
pertempuran melawan pasukan Romawi. Karena itu diharapkan Usamah akan mendapat kesempatan baik untuk menuntut balas atas kematian ayahnya. Pada waktu Usamah bin Zaid dan pasukannya yang besar itu sudah dalam keadaan siaga, tibatiba Rasul Allah s.a.w. jatuh sakit. Baru kali ini beliau mengeluh tentang penyakitnya. Beliau menderita penyakit demam tinggi. Tubuh yang selama hayatnya diabdikan kepada perjuangan di jalan Allah s.w.t., kini tiba-tiba hampir tak bertenaga. Kaum muslimin sangat resah melihat penyakit beliau yang tampak gawat. Meskipun demikian, banyak juga para sahabat yang tidak percaya, bahwa jasmani seorang manusia utusan Allah yang kekar dan kuat itu bisa dibuat tidak berdaya oleh penyakit. Lebihlebih karena di masa sakit itu, beliau masih sibuk mengatasi keresahan fikiran sementara sahabat yang kurang bisa menerima pengangkatan Usamah. Mengenai Usamah ini, Nabi Muhammad s.a.w. cukup tegas. Putusan yang telah beliau ambil tak dapat ditawar-tawar lagi. Usamah beliau perintahkan agar bertindak sebagai pemimpin ekspedisi ke utara. Ketetapan yang beliau ambil itu besar artinya bagi kaum muda. Muhammad Husein Haikal dalam bukunya "Hayat Muhammad" tentang hal itu mengatakan: "Timbul keyakinan di kalangan kaum muda bahwa mereka pun mampu mengemban tugas berat. Kebijaksanaan beliau itu juga merupakan pendidikan bagi mereka agar membiasakan diri memikul beban tanggung jawab yang besar dan berat." Makin hari penyakit yang diderita-Rasul Allah s.a.w. makin gawat. Semula beliau tetap berusaha agar dapat melaksanakan tugas sehari-hari, seperti mengimami shalat jama'ah. Akan tetapi ketika dirasa penyakitnya bertambah berat, beliau memerintahkan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menggantikan beliau melaksanakan tugas yang amat mulia itu. Perintah Nabi Muhammad s.a.w. kepada Abu Bakar Ash Shiddiq ra. itulah yang kemudian diartikan orang sebagai petunjuk, bahwa Abu Bakar r.a. adalah orang yang layak menduduki kepemimpinan ummat Islam sepeninggal Rasul Allah s.a.w. Wasiyat Dalam keadaan menderita sakit yang sedang gawat-gawatnya, Rasul Allah s.a.w. menyampaikan pesan kepada para sahabatnya kaum Muhajirin, agar memelihara persaudaraan dan menjaga hubungan baik dengan kaum Anshar. "Mereka itu", yakni kaum Anshar, kata Nabi Muhammad s.a.w., "adalah orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah memberi perlindungan kepadaku. Hendaknya kalian berbuat baik atas kebaikan mereka itu dan memaafkan mereka bila ada yang berbuat salah." Imam Al Bukhari dalam shahihnya mengetengahkan sebuah hadits, dengan sanad Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah dan berasal dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Rasul Allah s.a.w. sedang mendekati ajal, berkata kepada para sahabat yang berada di sekelilingnya. Di antara mereka itu terdapat Umar Ibnul Khattab r.a. Nabi Muhammad s.a.w. berkata: "Marilah…, akan kutuliskan untuk kalian suatu kitab (secarik surat wasyiat) dengan mana kalian tidak akan sesat sepeninggalku." Mendengar itu Umar bin Ibnul Khattab r.a. berkata kepada sahabat-sahabat lainnya: "Nabi dalam keadaan sangat payah dan kalian telah mempunyai Al-Qur'an. Cukuplah Kitab Allah itu bagi kita." Menanggapi perkataan Umar r.a. itu para sahabat berselisih pendapat. Ada yang minta supaya segera disediakan alat tulis agar Rasul Allah s.a.w. menuliskan wasiyatnya yang terakhir. Ada pula yang sependapat dengan Umar r.a. Terjadilah pertengkaran mulut, sehingga Rasul Allah s.a.w. akhirnya menghardik: "Nyahlah kalian!" Hadits itu tidak perlu lagi dipersoalkan kebenarannya. Sebab Al-Bukhari sendiri meriwayatkan hadits tersebut di berbagai tempat dalam Shaihnya. Juga Muslim dalam Shahihnya pada bagian "Wasiyat terakhir" meriwayatkan hadits tersebut dari Sa'ad bin Zubair yang berasal dari Ibnu Abbas pula. At-Thabrani dalam "Al-Ausath" mengemukakan: "Pada waktu Rasul Allah s.a.w. menghadapi ajal, beliau berkata: "Bawalah kepadaku lembaran dan tinta. Akan kutuliskan untuk kalian yang dengan itu kalian tidak akan sesat selama-lamanya." Mendengar ucapan Nabi Muhammd s.a.w. itu, para wanita yang menunggu di belakang tabir (hijab) berkata kepada para sahabat Nabi yang berada di tempat itu: "Tidakkah kalian mendengar apa yang dikatakan oleh Rasul Allah ?" Umar Ibnul Khattab r.a. segera menyahut: "Kukatakan, kalian itu sama dengan wanita-wanita yang mengelilingi Nabi Yusuf. Jika Rasul Allah sakit kalian mencucurkan air mata dan jika beliau sehat kalian menunggangi lehernya!" Mendengar ucapan Umar r.a. itu Rasul Allah s.a.w. kemudian berkata mengingatkan: "Biarkan mereka itu, mereka itu lebih baik daripada kalian." Hadist yang diketengahkan oleh At-Thabrani itu terdapat dalam "Kanzul 'Ummal", jilid III, hlm 138. Penyakit Rasul Allah s.a.w. mencapai puncaknya ketika beliau berada di kediaman Sitti Maimunah r.a., salah seorang isteri beliau. Atas kesepakatan semua isterinya beliau meminta supaya dibawa ke tempat kediaman Sitti Aisyah r.a. Dengan berikat kepala, beliau keluar dan berjalan sambil bertopang pada Imam Ali r.a. dan pamannya, Abbas. Beliau tiba di tempat kediaman Sitti Aisyah r.a. dalam keadaan lemah sekali. Beberapa hari kemudian, di saat banyak orang sedang menunaikan shalat jama'ah yang diimami oleh Abu Bakar r.a., tiba-tiba Nabi Muhammad s.a.w. muncul di tengah-tengah mereka dengan
bertopang pada Imam Ali r.a. serta Al Fadhl bin Abbas. Shalat subuh berjama'ah itu hampir saja tertunda karena hal yang mengejutkan itu. Hal itu tak sampai terjadi, karena Rasul Allah s.a.w. memerintahkan supaya shalat dilanjutkan. Abu Bakar r.a. sendiri merasa rikuh, berniat mundur dan hendak menyerahkan imam shalat kepada beliau, tetapi Nabi Muhammad s.a.w. mendorongnya dari belakang sambil berucap setengah berbisik: "Teruskan mengimami shalat". Beliau kemudian mengambil tempat di samping kanan Abu Bakar r.a. dan menunaikan shalat sambil duduk. Seusai shalat Nabi Muhammad s.a.w. berbalik menghadap kebelakang dan bertatap-muka dengan jama'ah yang memenuhi masjid. Semua bergembira melihat Rasul Allah s.a.w. berangsur sehat. Lebih tertegun lagi tatkala beliau berkata: " Hai kaum muslimin, api neraka sudah bertiup dan fitnahpun akan datang seperti malam gelap-gulita. Demi Allah, aku tidak akan menghalalkan sesuatu selain yang dihalalkan oleh Al Qur'an. Aku pun tidak akan mengharamkan sesuatu selain yang diharamkan oleh Al Qur'an. Terkutuklah orang yang menggunakan pekuburan sebagai tempat bersujud (Masjid)." Kesehatan Rasul Allah s.a.w. yang secara tiba-tiba tampak pulih kembali dengan cepat tersiar luas dan disambut gembira sekali oleh seluruh kaum muslimin. Usamah bin Zaid, yang semula sudah siap untuk membubarkan pasukan, karena Rasul Allah s.a.w. sakit keras, kemudian menghadap beliau untuk minta izin menggerakkan pasukannya ke Syam. Bahkan Abu Bakar r.a. sendiri pun yakin benar bahwa beliau sudah bisa kembali menjalankan tugas sehari-hari. Begitu pula Umar Ibnul Khattab r.a. dan para sahabat dekat lainnya, sekarang sudah beranjak meninggalkan masjid guna menyelesaikan keperluan masing-masing. Wafat Akan tetapi kondisi kesehatan beliau yang seperti itu ternyata hanya semu belaka. Beberapasaat kemudian penyakitnya berubah menjadi gawat kembali. Detik-detik terakhir hayatnya tiba dikala beliau berbaring di pangkuan isterinya, Sitti Aisyah r.a. Agak lain dari itu, menurut Imam Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnya jilid II, halaman 300, dan
menurut At-Thabariy dalam Dzakha'irul'Uqba' halaman 73, beliau wafat di atas pangkuan Imam Ali r.a. Ucapan terakhir yang keluar pada detik kemangkatan beliau ialah "Ar Rafiqul A'laa. minal jannah…" Ada yang mengatakan beliau wafat pada bagian akhir bulan shafar tahun 11 hijriyah. Ada pula sejarawan yang menyebut permulaan Rabi'ul Awwal sebagai hari wafat beliau. Kaum Syi'ah, misalnya, mengatakan bahwa beliau wafat dua hari terakhir bulan shafar. Tetapi banyak penulis sejarah lainnya mengatakan pada permulaan bulan Rabi'ul Awwal tahun 11 Hijriyah, atau tanggal 8 Juni tahun 632 Masehi. Tentang hari dan tanggal wafatnya Rasul Allah s.a.w. bukanlah suatu masalah yang perlu dipersoalkan. Yang penting dan yang sangat perlu ditekankan, bahwa pada saat-saat terakhir hayatnya, beliau tidak mengatakan siapa yang akan meneruskan kepemimpinan atas ummatnya. Hal ini di belakang hari akan menjadi titik perbedaan pendapat tentang kepemimpinan ummat di kalangan kaum muslimin. Rasul Allah s.a.w pulang keharibaan Allah Rabbul'alamin hanya meninggalkan Kitab Allah yang berisi firman-firman-Nya, dan ajaran serta tauladan beliau yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Rasul Allah s.a.w. Beliau mangkat meninggalkan Islam sebagai buah risalah suci dalam keadaan lengkap dan sempurna, yang kehadirannya di permukaan bumi akan melahirkan peradaban baru dalam kehidupan manusia. Nabi Muhammad s.a.w. wafat meninggalkan keluarga dan para sahabat, yang ketangguhan Iman dan kesetiaannya kepada Islam bisa diandalkan untuk menjamin kelestarian agama Allah dan mengembang-luaskan manusia pemeluknya. Kebenaran telah tiba dan kebatilan pasti lenyap. Itulah motto perjuangan ummat Islam yang mau tidak mau harus diperhitungkan oleh kekuatankekuatan kuffar di Barat dan kekuatan-kekuatan musyrikin di Timur. Kemangkatan Rasul Allah s.a.w. merupakan peristiwa yang tidak diduga akan secepat itu. Kejadian yang terasa sangat mengejutkan itu, mengakibatkan banyak kaum muslimin terombang-ambing antara percaya dan tidak. Bahkan sahabat terdekat beliau sendiri, yaitu Umar Ibnul Khattab r.a. masih juga tidak mau percaya mendengar berita tentang wafatnya Rasul Allah s.a.w. Hingga saat ia sendiri menyaksikan jenazah suci terbaring di rumah Sitti Aisyah r.a., masih tetap berseru kepada semua orang: "Rasul Allah tidak wafat! Beliau hanya menghilang dan akan kembali lagi!" Umar Ibnul Khattab r.a. tetap membantah, bahkan mengancam ancam setiap orang yang mengatakan bahwa Rasul Allah telah wafat. Apa yang diperlihatkan oleh Umar Ibnul Khattab r.a. itu hanya menunjukkan betapa hebatnya goncangan kaum muslimin mendengar berita tentang wafatnya Nabi Muhammad s.a.w. Seorang sahabat lainnya, Al-Mughirah, berusaha meyakinkan Umar r.a. bahwa Rasul Allah s.a.w. benar-benar wafat. Dengan geram Umar r.a. menuduhnya sebagai pembohong. Umar r.a. menjawab: "Beliau hanya pergi menghadap Allah, sama seperti Musa bin Imran yang menghilang dari tengah-tengah kaumnya selama 40 hari dan akhirnya kembali lagi kepada mereka." Banyak orang yang dituduh oleh Umar r.a. sebagai munafik, hanya karena memberitakan kemangkatan Rasul Allah s.a:w. Kepada orang-orang yang sedang berkerumun di masjid Nabawi, Umar r.a. meneriakkan ancaman: "Barang siapa berani mengatakan Rasul Allah telah wafat, akan kupotong kaki dan tangannya!" Ancaman Umar r.a. yang seperti itu cukup menambah bingungnya kaum muslimnin yang sedang dirundung duka cita. Abu Bakar r.a. yang baru saja datang dari Sunh, ketika mendengar Umar r.a. melontarkan katakata sekeras itu, berusaha meyakinkan dengan mensitir ayat 144 Surah Ali Imran, yang dalam bahasa Indonesianya: "Muhammad itu tiada lain hanya seorang Rasul, sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul. Apakah jika dia wafat atau terbunuh kamu berbalik ke belakang? Barangsiapa yang berbalik ke belakang ia tak dapat mendatangkan mudharat kepada Allah sedikit pun; dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur." Mendengar itu sadarlah Umar Ibnul Khattab atas kekhilafannya. Pemakaman Pada saat wafatnya Rasul Allah s.a.w. Imam Ali r.a. adalah orang pertama yang segera turun tangan untuk merawat dan mempersiapkan pemakaman jenazah manusia terbesar di dunia, yang paling dicintai dan dikaguminya. Untuk pertama kali kaum muslimin menghadapi cara pemakaman jenazah orang yang paling mereka hormati dan mereka cintai sebagai pemimpin agung. Seorang manusia pilihan Allah, Nabi dan Rasul-Nya. Seorang besar yang tak akan pernah ada bandingannya dalam sejarah. Seorang arif bijaksana yang telah berhasil mengubah tatakehidupan bangsanya. Seorang yang telah menunjukkan kesanggupan merombak secara menyeluruh nilai-nilai lama dan menggantinya dengan nilai-nilai baru yang mulia dan luhur, yaitu Islam. Seorang manusia agung yang jauh lebih mulia dibanding dengan kepala-kepala qabilah, pemimpin-pemimpin golongan, bahkan raja-raja sekalipun. Seorang yang hanya dalam waktu kurang lebih dua dasawarsa sanggup mengubah wajah dunia Arab dan mengangkat derajat satu bangsa yang tadinya dipandang rendah menjadi sangat disegani oleh kekutankekuatan raksasa seperti Romawi dan Persia. Jauh lebih besar lagi, karena Nabi Muhammad s.a.w. datang ke tengah-tengah ummat manusia membawa agama besar untuk menegakkan
kebenaran dan keadilan di permukaan bumi. Tata-cara yang direncanakan untuk memakamkan jenazah suci itu ternyata banyak menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, terutama mengenai problema: siapa yang berhak memandikan, siapa yang berhak menurunkan ke liang lahad dan lain sebagainya. Tentang di mana jenazah suci akan dikebumikan juga menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan para sahabat. Sebagian menuntut supaya jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan di Makkah. Sebagai alasan dikatakan, di kota itulah beliau dilahirkan. Sebagian lain menuntut supaya jenazah beliau dimakamkan di Madinah, di pemakaman Buqai', dengan alasan agar beliau bersemayam bersama-sama pahlawan syahid yang gugur dalam perang Uhud. Akhirnya perbedaan pendapat ini dapat disudahi, setelah Abu Bakar r.a. mengumumkan, bahwa ia mendengar sendiri penegasan Rasul Allah s.a.w.: "Semua Nabi dimakamkan di tempat mereka wafat". Berdasarkan itu bulatlah mereka memakamkan jenazah Nabi Muhammad s.a.w. di rumah beliau di Madinah. Tentang masalah siapa yang akan mengimami shalat jenazah secara berjama'ah juga terdapat pertikaian. Pertikaian itu terjadi karena hal itu dipandang suatu kehormatan yang sangat tinggi bagi seorang yang bertindak selaku Imam shalat jenazah bagi manusia agung seperti Nabi Muhammad s.a.w. Karena tidak tercapai kesepakatan, akhirnya tiap orang melakukan shalat jenazah sendiri-sendiri. Sementara itu terdapat riwayat lain yang mengatakan, bahwa di kala itu Imam Ali r.a. mengusulkan shalat jenazah secara berjema'ah. Usul tersebut diterima oleh muslimin, bahkan disepakati ia bertindak sebagai imam. Begitu pula, tentang siapa yang akan mendapat kehormatan menurunkan jenazah suci ke liang lahad. Abbas bin Abdul Mutthalib, paman Rasul Allah s.a.w. mengusulkan supaya Abu Ubaidah bin Al Jarrah saja yang menurunkan ke liang lahad. Sebagai alasan dikemukakan, bahwa dia sudah biasa menggali lahad dan mengembumikan orang-orang Makkah. Imam Ali r.a. berpendirian lain. Ia mengusulkan agar Abu Thalhah Al-Anshariy saja yang turun ke liang lahad. Alasannya senada dengan paman Rasul Allah s.a.w. di atas, hanya kotanya lain: "Ia sudah biasa menggali lahad dan memakamkan orang-orang Madinah." Setelah melalui pertukaran pendapat beberapa lamanya, akhirnya terdapat saling pengertian dan Abu Thalhah mendapat kehormatan menggali liang lahad. Kemudian timbul pula problema baru. Siapa yang akan menyertai Abu Thalhah dalam melaksanakan tugas terhormat itu? Problema-problema seperti di atas timbul, karena tidak ada seorang pun yang diakui otoritasnya untuk mengatur dan menentukan tata-cara pemakaman. Juga karena tidak ada wasiyat apa pun dari Rasul Allah s.a.w. tentang sesuatu yang perlu dilakukan kaum muslimin pada saat beliau wafat. Soal-soal yang bagi orang zaman sekarang dianggap kurang penting, pada masa itu benar-benar dipandang sebagai satu soal yang besar. Lebih-lebih karena yang dihadapi kaum muslimin ialah jenazah Rasul Allah s.a.w. Hal itu wajar. Rasanya tidak ada kehormatan yang lebih tinggi dari pada memperoleh kesempatan memberikan pelayanan terakhir kepada jenazah suci itu. Akhirnya Imam Ali r.a. dengan terus terang dan tegas berkata: "Tidak ada orang yang boleh turun ke liang lahad bersama Abu Thalhah selain aku sendiri dan Abbas." Sungguh pun sudah ada ketegasan seperti itu dari Imam Ali r.a., namun dalam praktek ia membolehkan juga Al-Fadhl bin Abbas dan Usamah bin Zaid turun ke liang lahad. Hal itu menimbulkan rasa kurang enak di kalangan kaum Anshar. Mereka menuntut agar ada seorang dari kaum Anshar yang ikut. Tuntutan yang adil itu akhirnya disepakati dan ditunjuklah orangnya, Aus bin Khauliy. Aus dulu pernah ikut aktif dalam perang Badr melawan kaum musyrikin Qureiys. Dalam semua kegiatan membenahi pemakaman jenazah Rasul Allah s.a.w., Imam Ali r.a. benarbenar memainkan peranan yang sangat dominan. Bahkan waktu memandikan jenazah beliau, Imam Ali r.a.lah satu-satunya orang yang menjamah jasad manusia agung itu. Hal itu dimungkinkan karena sebelumnya banyak orang yang sudah mendengar, bahwa Rasul Allah
s.a.w. sendiri pernah menyatakan, hanya Imam Ali r.a. saja yang boleh melihat aurat beliau. Kesan Imam Ali r.a. yang sangat mendalam dan selalu terkenang dari peristiwa memandikan jenazah suci itu ialah: "…kubalikkan sedikit saja, jasad beliau sudah menurut. Sama sekali tidak kurasakan berat. Seolah-olah ada tangan lain yang membantuku, bukan lain pasti tangan Malaikat." Riwayat lain mengatakan, bahwa yang memandikan jenazah Rasul Allah s.a.w. bukan hanya Imam Ali r.a., tetapi juga Abbas bin Abdul Mutthalib serta dibantu oleh dua orang puteranya yang bernama Al-Fadhl dan Qutsam, di samping Usamah bin Zaid. Usamah bin Zaid dan Syukran, yang sampai saat terakhir menjadi pembantu Rasul Allah s.a.w., dua-duanya menuangkan air. Jasad jenazah suci dimandikan tetap dalam mengenakan pakaian. Di saat memandikan Imam Ali r.a. tertegun oleh keharuman bau semerbak dan sambil bergumam mengucapkan: "Demi Allah, alangkah harumnya engka.u di waktu hidup dan setelah meninggal!" Sementara riwayat mengatakan pula, hahwa pemakaman jenazah suci itu dilakukan pada malam hari di bawah cahaya gemerlapan bintang-bintang di langit hening. Di tengah keheningan malam itu terdengar detak-denting suara orang menggali lahad, bercampur suara saling berbisik, seolah-olah jangan sampai mengusik ketenangan jenazah agung yang sedang menuju ke pembaringan terakhir. Tidak jauh dari tempat pamakaman terdengar suara haru para wanita tertahan mengendap-endap rintihan duka. Innaa Lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun…