Di Publikasikan Oleh :
Muh.Supaen Al-Mambani.Sirojululum.MD
Sejarah Imam Ali R.a
1. M U Q A D D I M A H-
2. Bab I : Masa Asuhan-
3. Bab II : Lingkungan Keluarga-
4. Bab III : Rumah Tangga Serasi-
5. Bab IV : PERANAN KEPAHLAWANAN-
6. Bab IV-1 : Perang Badr-
7. Bab IV-2 : Perang Uhud-
8. Bab IV-3 : Perang Ahzab (Kandhaq)-
9. Bab IV-4 : Perang Khaibar-
10. Bab IV-5 : Perang Hunain2
11. Bab V : WAFATNYA RASUL ALLAH S.A.W.-
12. Bab VI : KHALIFAH ABU BAKAR ASH SHIDDIQ-
13. Bab VII : KHALIFAH UMAR IBNUL KHATTAB R.A.-
14. Bab VIII : KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN R.A.-
15. Bab IX : DELAPAN HARI TANPA KHALIFAH-
16. Bab X : BENIH-BENIH PEPERANGAN SAUDARA-
17. BAB XI : PERANG SHIFFIN-
18. Bab XII : GERAKAN KHAWARIJ-
19. Bab XIII : WAFATNYA IMAM ALI R.A.-
20. Bab XIV : KEUTAMAAN IMAM ALI R.A.-
21. Bab XV : PINTU ILMU-
22. SEBUAH KENANGAN-
23. PENUTUP
Muqaddimah
Usaha menyingkat sejarah kehidupan Imam Ali bin
Abi Thalib r.a. dalam lembaran-lembaran buku, bukanlah pekerjaan yang mudah.
Sejak semula telah terbayang kesukaran-kesukaran yang bakal dihadapi. Betapa
tidak! Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a., terutama pada tahap-tahap
terakhir, sejak terbai'atnya sebagai Khalifah sampai wafatnya sebagai pahlawan
syahid, bukankah satu kehidupan biasa. Ia merupakan satu proses kehidupan yang
lain daripada yang lain. Ia menuntut penalaran luar biasa, menuntut kekuatan syaraf
istimewa pula. Kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a. penuh dengan
ledakan-ledakan luar biasa, keagungan dan hal-hal mempesonakan. Tetapi
bersamaan dengan itu juga penuh dengan gelombang kekecewaan dan kengerian. Oleh
karena itu penulisan tentang semua segi kehidupannya menjadi benar-benar tidak
mudah. Ditambah pula dengan adanya pihak-pihak yang menilai beliau secara
berlebih-lebihan. Baik dalam memujinya maupun dalam mencacinya. Imam Ali bin
Abi Thalib r.a. sendiri tidak senang pada orang-orang yang menilai diri beliau
secara berlebih-lebihan. Hal itu tercermin dengan
jelas dari kata-kata beliau: "Ada dua fihak yang celaka karena
berlebih-lebihan menilai sesuatu yang sebenarnya tidak kumiliki. Sedangkan pihak
yang lain ialah yang demikian bencinya kepadaku sehingga mereka melontarkan
segala kebohongan tentang diriku." Dari sini pulalah maka Imam Ali r.a.
mengatakan: "Ada segolongan orang yang demi cintanya kepadaku mereka
bersedia masuk neraka. Tetapi ada segolongan lain yang demi kebenciannya kepadaku
sampai-sampai mereka itu bersedia masuk neraka." Ada dua faktor yang
menyebabkan timbulnya pertentangan penilaian mengenai menantu dan sekaligus
saudara misan Rasul Allah s.a.w. itu. Dua faktor itu ialah sifat atau watak
pribadi Imam Ali r.a. sendiri dan situasi serta kondisi kehidupan Islam pada
zaman hidupnya tokoh penting Islam itu. Faktor mana yang lebih dominan, sehigga
pribadi Imam Ali r.a. mempunyai kedudukan yang unik dalam sejarah Islam sulit
dikatakan. Yang jelas kedua faktor itu memegang peran penting dan memberi arti
khusus yang pengaruhnya hingga kini masih terasa. Bahkan sejak meninggalnya
pada tahun 40 Hijriyah pendapat yang kontroversial mengenai dirinya itu tidak mereda,
malahan makin berkembang sehingga sangat mewarnai sejarah Islam sampai abad ke-
15 Hijriyah sekarang ini. Periode kehidupan Imam Ali r.a. ditandai dengan
tantangan-tantangan yang dihadapi oleh ummat Islam, terutama setelah wafatnya
Rasul Allah s.a.w. Belum lagi jenazah Rasul Allah s.a.w. dimakamkan telah
muncul krisis. Dan krisis itu disusul pula oleh krisis-krisis lain. Ancaman
dari dalam dan dari luar sangat membahayakan kedudukan Islam yang masih muda
itu. Pertentangan pribadi, qabilah, suku, golongan, bangsa dan antar-negara bermunculan
hampir
secara simultan. Keseimbangan kehidupan rohani
dan jasmani, masalah keagamaan dan kenegaraan yang serasi dan seimbang di bawah
satu pimpinan, yaitu di tangan Rasul Allah s.a.w. semasa hidupnya, tiba-tiba
saja mengalami kegoncangan, ketidak-seimbangan dan ketidak-serasian. Proses
kristalisasi dan disintegrasi yang menyusul wafatnya Rasul Allah s.a.w.
dihadapkan pada tokoh-tokoh terkemuka ummat Islam, yang selama itu merupakan
pembantu-pembantu terdekat Rasul Allah s.a.w. Diantaranya Imam Ali r.a. sebagai
salah satu tokoh yang menonjol dan dekat sekali dengan Rasul Allah s.a.w. Dan
dialah salah seorang yang paling merasa berkepentingan terhadap kemaslahatan
Islam dan ummatnya. Sebab dialah yang paling dini melibatkan diri sebagai pengikut
setia Nabi Muhammad s.a.w. Awal tahun Hijriyah ditandai oleh peranan Imam Ali
r.a. Malam sebelum Rasul Allah s.a.w. melakukan hijrah ke Madinah, yang sangat
bersejarah itu, rumah kediaman beliau dikepung rapat oleh para pemuda Qureiys:
Mereka bertekad hendak membunuh nabi Muhammad s.a.w. Pada saat itulah Rasul
Allah s.a.w. memerintahkan Imam Ali r.a. supaya mengenakan mantel hijau buatan
Hadramaut dan agar saudara misannya itu berbaring di tempat tidur beliau. Imam Ali
r.a. dengan kebanggaan dan keberaniannya melaksanakan tugas tersebut. Ketika
para pemuda Qureisy yang berniat jahat itu mengintip, mereka mengira Rasul
Allah s.a.w. berada di dalam. Padahal sebenarnya saat itu Rasul Allah s.a.w.
telah berhasil menyelinap keluar menuju ke rumah Abu Bakar r.a. Ketaatannya
kepada Rasul Allah s.a.w. dan keberaniannya pada malam hijrah itu bukan merupakan
kasus tersendiri. Pada masa-masa hidupnya lebih lanjut, faktor keberanian ini sangat
mewarnai kehidupan Imam Ali r.a. Dasar-dasar keberanian ini tambah diperkuat
oleh keyakinannya yang makin teguh pada kebenaran ajaran Rasul Allah s.a.w. dan
ketaqwaannya pada Allah s.w.t. Ketaatannya pada Rasul Allah s.a.w. dan
keberaniannya dalam membela serta menegakkan kebenaran-kebenaran agama Allah
merupakan pendorong utama, sehingga kemudian ia diagungkan oleh
pengikut-pengikutnya sebagai pahlawan besar ummat Islam. Hal itulah yang antara
lain telah menimbulkan perbedaan penilaian yang hasilnya melahirkan perselisihan
pendapat. Yang menilai positif melambangkan Imam Ali r.a. sebagai contoh tokoh yang
paling ideal, pelanjut cita-cita dan perjuangan Rasul Allah. Kemudian eksesnya
menjadi berlebih-lebihan, sehingga sama sekali tidak disukai oleh yang
bersangkutan sendiri. Sebaliknya mereka yang menilai negatif, Imam Ali r.a.
mereka anggap sebagai tokoh yang amat berambisi untuk mendapat kedudukan
memimpin ummat Islam. Penilaian terakhir ini mengundang sifat-sifat kebencian
dan menjurus ke permusuhan, dan akhirnya memuncak dalam bentuk peperangan
melawan Imam Ali r.a. Kepribadian dan watak Imam Ali r.a. yang unik itulah yang
mengembangkan pendapat ekstrim tentang dirinya. Yang mengaguminya, kemudian
memitoskan dan mendewakannya. Tidak jarang, karena ekses penyanjungan kepada
Imam Ali r.a. akhirnya secara sadar atau tidak sadar golongan ini mengaburkan
peran agung Rasul Allah s.a.w. Sebaliknya yang membenci Imam Ali r.a. melahirkan
ekses mengkafirkannya. Dua fihak yang sangat bertentangan penilaian terhadap
Imam Ali r.a. tercermin pada dua kelompok yang terkenal dalam sejarah Islam. Kaum
Rawafidh bukan saja pengagum Imam Ali r.a., malahan boleh dibilang sebagai
"kaum penyembah Imam Ali r.a." Semasa hidupnya, Imam Ali r.a. sendiri
sudah berulang kali melarang tindak dan sikap mereka yang sangat keliru itu,
tetapi sikap Imam Ali r.a. yang tidak mau disanjung dan disembah itu bahkan
mereka nilai sebagai sikap yang agung. Imam Ali r.a. sampai-sampai mengingatkan
mereka bahwa apa yang mereka lakukan itu syirik. Peringatan itusama sekali tidak
menyurutkan pendirian mereka. Begitu fanatiknya mereka kepada Imam Ali r.a.
sehingga mereka bersedia mengorbankan segala-galanya demi tegaknya pendirian
itu. Bahkan ketika mereka dijatuhi hukuman dengan dibakar hidup-hidup, hukuman
itu mereka terima dengan penuh ketaatan. Di tengah kobaran api unggun yang
membakar diri mereka di depan umum, dengan penuh gairah mereka berseru: "Dia
(Imam Ali) adalah tuhan. (Sebab) dialah yang menetapkan adzab neraka ini".
Mereka rela
mati dibakar dengan penuh keikhlasan. Mereka memandang
layak hukuman demikian dijatuhkan oleh "tuhan" mereka sendiri. Sangat
berlawanan dengan kaum Rawafidh ini, adalah pendirian golongan Nawasib dan Khawarij
yang sangat benci kepada Imam Ali r.a. Ironisnya, kaum Khawarij ini sebelumnya
justru merupakan pengikut Imam Ali r.a. yang paling
setia dan taat. Mulamula mereka sangat cinta, kagum, taat dan setia. Lalu
berbalik 180 derajat menjadi muak, benci, mengutuk, bahkan mengkafirkan Imam
Ali r.a. Itu terjadi ketika tokoh yang mereka kagumi itu bersedia menerima
"perdamaian" dengan Muawiyah. Peristiwa yang dalam sejarah terkenal
sebagai "Tahkim bi Kitabillah".
Kaum Khawarij itu menuntut kepada Imam Ali r.a.
agar ia bertaubat kepada Allah atas perbuatan salah yang dilakukannya
(mengadakan perdamaian dengan Muawiyah). Begitu mendalamnya kebencian mereka
sehingga pada kesempatan apa, kapan dan di mana saja mereka melancarkan kecaman
pedas dan memaki habis. Bahkan sejarah mencatat, Imam Ali r.a. wafat akibat
pembunuhan yang dilakukan golongan Khawarij. Sulit untuk dicari bahan bandingan
bagi seorang tokoh yang begitu hebat menimbulkan pertentangan pendapat seperti
yang ada pada diri Imam Ali r.a. Lebih sulit lagi untuk menarik kesimpulan dari
kenyataan ini. Apakah karena ia orang besar, maka timbul pertentangan pendapat
yang begitu hebat? Ataukah karena adanya pertentangan pendapat itu hingga ia menjadi
mitos. Kenyataan adanya pertentangan pendapat itu sendiri sudah mengungkapkan, bahwa
Imam Ali r.a. adalah tokoh potensial sekali, khususnya bagi ummat Islam. Juga
merupakan ironi sejarah, salah seorang yang pertama-tama berperan vital dalam
membela Islam, akhirnya dijatuhkan oleh seorang yang ayahnya justru paling
memusuhi Islam ketika Rasul Allah s.a.w. mulai dengan da'wahnya. Orang yang
sejak masa anak-anak sudah mempertaruhkan segala-galanya demi tegak dan berkembangnya
Islam, kepemimpinannya direbut oleh orang-orang yang pada awal Islam paling
gigih menentang. Lebih menyedihkan lagi karena orang yang melawan Imam Ali r.a.
menempuh segala usaha dan tipu-daya "dengan mengatas-namakan Islam".
Lebih parah lagi karena dengan "mengatasnamakan Islam" selama 136
tahun, kekuasaan Bani Umayyah, nama Imam Ali ditabukan, direndahkan dan dihina.
Pada setiap khutbah, pada setiap doa sehabis shalat tidak pernah ditinggalkan
cacian dan kutukan terhadap Imam Ali agar ia disiksa Allah. Bahkan nama Imam
Ali digunakan oleh dinasti Bani Umayyah untuk menegakkan kekuasaan otoriter.
Tiap orang atau kelompok yang berani menentang, atau tidak sependapat dengan kebijaksanaan
penguasa Bani Umayyah dapat ditindak dengan menggunakan dalih "pengikut
Imam Ali" (Pecinta Ahlulbait). Siapa yang mempelajari sejarah Imam Ali
r.a. dengan jujur, pasti akan menemukan pada dirinya salah satu segi yang khas
ada pada kehidupan tokoh legendaris itu. Nama Imam Ali r.a. identik dengan
sifat-sifat manusiawi yang mendalam. Baik sejarah sendiri, maupun sejarawan tidak
cukup mampu mengungkapkannya. Kaitan yang seperti itu biasanya oleh seorang
penulis terpaksa dikesampingkan saja dengan penuh kesadaran dan kebijaksanaan. Makin
berkurangnya faktor-faktor kejiwaan yang menyulitkan pembahasan dan makin dibatasinya
segi-segi sejarah yang hendak ditulis, bisa jadi lebih mendekati objektivitas.
Tetapi apakah begitu jadinya? Para sejarawan mengungkapkan bahwa pada ghalibnya
makin lama seorang telah meninggal akan lebih mudah ditemukan objektivitas
untuk pengungkapan riwayat orang yang bersangkutan. Akan tetapi kalau
menyangkut Imam Ali r.a. hal itu masih dipertanyakan. Dalam batas-batas
pengungkapan yang demikianlah, buku "Imam Ali bin Abi Thalib r.a."
ini mengetengahkan riwayat kehidupan Imam Ali pada masa asuhan, keluarganya,
rumahtangganya, peranan kepahlawanannya semasa Rasul Allah masih hidup,
wafatnya Rasul Allah s.a.w., masa-masa kekhalifahan Abu Bakar r.a., Umar r.a., Utsman
r.a., delapan hari tanpa khalifah, Perang Unta, Perang Shiffin, Gerakan
Khawarij, keutamaan, pintu ilmu dan sebuah kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar