SEBUAH KENANGAN
Malam semakin kelam dan gelap bertambah pekat…
Seorang pemimpin besar, Imam Ali bin Abi Thalib r.a., tak lama lagi, akan
meninggalkan lawan-lawannya, membiarkan mereka berkeliaran merusak kehidupan di
muka bumi. Di belahan bumi sana ia hidup menyendiri dirundung kepedihan; hidup
disayat-sayat kesunyian kejam yang belum pernah dialaminya selama ini. Hidup
terpisah menjauhkan diri dari bencana kesesatan yang sedang melanda kaumnya.
Terpisah bersama hati parah dicekam duka lara. Seorang diri terjauhkan dari
zamannya, seakan-akan terhempas keluar dari permukaan bumi. Namun bumi ini
selesai sudah mencatat semua ucapan dan tutur katanya... ya, bahkan bumi itu sendiri
menjadi saksi abadi atas semua amal perbuatannya yang serba luar biasa. Di
permukaan bumi ini ia hidup tiada tara… memberi tanpa meminta… dimusuhi namun
tak pernah menyiksa… sanggup melawan tetapi lebih suka menyebar maaf
sebanyak-banyaknya. Tak pernah menusuk hati pembencinya dan tidak pula
mengecewakan para pencintanya. Penolong bagi si lemah, teman bagi yang hidup
terasing, dan bapak bagi si yatim. Dekat dari manusia tertekan yang mengharap
uluran tangan untuk menghapus kemungkaran dan penderitaan. Kaya ilmu dan
berlimpah-limpah kearifannya. Hatinya tenggelam dalam banjir airmata derita
insan, di gunung-gunung dan di tiap dataran. Mengayun pedang mematahkan kedzaliman
dan kegelapan, namun cinta kasihnya tetap tertumpah kepada orang teraniaya. Di kala
sinar mentari memancar terang ia sibuk menegakkan kebenaran dan keadilan… dan
di masa malam mulai kelam airmatanya berlinang menangisi derita ummat di
hari-hari mendatang…Di bumi ia hidup tiada tara… Tiap mendengar rintihan si
madzlum, suaranya menggeledek m enggoncang pautan si dzalim. Tiap mendengar
jerit orang meminta pertolongan tanpa ayal lagi ia menghunus pedang berkilau
memudarkan mata berniat jahat. Tiap mendengar teriakan fakir kelaparan lubuk
hatinya digenang airmata kasih, menggelegak laksana air bah menerjang tanah
gersang...Selagi masih hidup di bumi ini, ia lain dari yang lain. Logika dan
penalarannya tepat dan benar. Cara hidupnya amat sederhana. Berbusana kain
kasar… dan senantiasa bersikap rendah hati. Di saat banyak manusia tergelincir
menukik ke bawah, ia justru rnenjulang tinggi meraih awan… Sungguh aneh ia
hidup di bumi ini. Di saat orang lain bergelimang kenikmatan, ia bahkan terbenam
dalam penderitaan… tetapi, tahukah saudara… Siapakah orang yang gagah berani, genial,
aneh, berpandangan jauh, dan selalu dibebani penderitaan oleh orang-orang yang
justru diinginkan olehnya supaya mereka itu menikmati kehidupan dunia dan
kebahagiaan akhirat? Siapakah pria jantan itu… Ya, siapakah orang genial dan
aneh itu? Bukankah ia seorang yang dibenci lawan hanya karena mereka dengki dan
irihati? Bukankah ia seorang yang dijauhi oleh para sahabat hanya karena mereka
takut menghadapi ancaman lawannya? Dan, akhirnya ia seorang diri berjuang
menentang kemungkaran dan kebatilan, menghadapi manusia-manusia dzalim dengan
sikap tegak berdiri di atas jalan kebenaran. Ia tidak mabok di saat menang dan tidak
patah di saat kalah, sebab ia yakin kebenaran akhirnya pasti akan menemukan
tempatnya yang hilang, walau banyak orang takut dan lari memejamkan mata. Siapa
lagi orang sedemikian genialnya itu kalau bukan Imam Ali bin Abi Thalib?
Seorang Khalifah yang berasal dari Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w., seorang Amirul
Mukminin, yang tak pernah hidup tanpa derita, dan yang akhirnya menjadi korban
pengkhianatan Abdurrahman bin Muljam.
* * * *
Malam itu malam penuh tanda-tanya. Awan tebal
menyelimuti udara di langit tinggi, berarak pelahan-lahan, kadang dikoyak
sambaran petir mengkilat, teriring hembusan angin lembut. Di sana-sini tampak
burung-burung gagak tua hinggap di sarangnya masing-masing, dengan kepala terangguk-angguk
berat menunduk, seolah-olah tak berdaya lagi mengicaukan suara gaduh menyongsong
datangnya hari esok, seakan-akan tak sanggup lagi menegakkan kepala menghadapi
intaian Elang Raksasa! Imam Ali terjaga sepanjang malam tak dapat mengenyam
nikmatnya tidur. Ia membayangkan hari-hari mendatang yang penuh manusia
tersiksa kedzaliman dan hidup tertekan teraniaya. Tetapi di samping mereka ada
manusia-manusia lain yang serakah, menanjak dan meninggi, kuat dan congkak,
menghardik dan menelan orang-orang yang lemah. Ia membayangkan lawan178 lawannya sedang saling-bantu berbuat
kemungkaran, orang-orang durhaka yang sedang bahumembahu bergandeng tangan
mengejar maksiat. Bersamaan dengan itu ia pun membayangkan para pendukung dan
pengikutnya sedang berlomba-lomba mundur meninggalkan kebenaran yang kemarin
dibela dan dipertahankan oleh mereka sendiri! Imam Ali terjaga sepanjang malam,
tak dapat mengenyam nikmatnya tidur. Terbayang keadilan sedang diinjak-injak
dan kebajikan sedang dilumur noda. Segala yang suci sudah digadai oleh manusia-manusia
yang hidup tanpa arah dan hampa. Kemuliaan hidup kini hanya tergantung dan
ditentukan oleh kemauan manusia-manusia yang sedang berbuat kerusakan di bumi,
dan… kemunafikan merajalela di mana-mana! Imam Ali terjaga sepanjang malam, tak
dapat mengenyam nikmatnya tidur. Terkenang hidupnya selama ini. Sejak lahir di
permukaan bumi dirinya telah menjadi kekuatan pembela kebenaran dan keadilan,
menjadi saudara bagi semua orang yang hidup sengsara, teraniaya dan terlunta-lunta.
Ia seolah-olah bagaikan geledek menyambar kepala orang-orang durhaka. Tidak hanya
lidahnya yang berbicara tentang mereka, tetapi pedangnya, si Dzul Fiqar, pun
ikut menggemerincingkan suara. Di malam itu terbayang pada alam khayalnya
lembaran-lerabaran sejarah hidupnya sendiri di masa silam dan masa kini. Ia
teringat pada kehidupan di masa muda, menghunus pedang di depan hidung kaumnya,
kaum musyrikin Qureiys! Ia heran bercampur bangga, mengapa sampai sanggup
berbuat seperti itu, menarikan pedang di depan muka mereka untuk membela
risalah agama. Ia bangga turut menyebar berita gembira kepada mereka yang hidup
mendambakan kebenaran, dan pedih mengingatkan mereka yang berkecimpung di lumpur
kebatilan. Ia teringat, di kala itu orang-orang Qureiys mengkeret mundur sambil
melontarkan ejekan sia-sia. Dan ia tetap maju menempuh jalan hidupnya sendiri,
rela mengorbankan nyawa dan segala yang berharga dalam menghadapi tantangan
mereka, demi pengabdian kepada Allah dan agama-Nya yang benar. Terbayang
olehnya kenangan lama, ketika berselunjur di pembaringan putera pamannya, Muhammad
Rasul Allah s.a.w., pada malam hijrah. Kala itu ia terbaring di bawah bayangan puluhan
pedang yang haus darah. Betapa resah dan gelisah hatinya, bukan karena takut
binasa, melainkan khawatir kalau-kalau Abu Sufyan dengan bantuan kaum musyrikin
Qureiys dan tengkulak-tengkulak nyawa lainnya, akan berhasil mengganggu Rasul
Allah s.a.w. di tengah jalan. Ternyata di bawah lindungan Ilahi beliau lolos
dengan selamat, dan cahaya agama yang
dibawanya berhasil menembus kegelapan jahiliyah! Ia
masih terus mengenangkan kehidupannya di masa lalu. Teringat olehnya ketika
mengarungi peperangan-peperangan adil sebagai pahlawan. Dengan semangat
kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya ia berhasil meruntuhkan benteng-benteng
musuh dan menumpas kaum durhaka. Teringat pula ketika ia sedang dikerumuni oleh
kaum fakir miskin dan orang-orang lemah lainnya. Ia melihat mereka bersembah
sujud ke hadhirat Allah memanjatkan syukur, tiap kali mereka menyaksikan
tangannya mengayuri pedang di atas kepala musuh-musuh mereka. Dengan mata
kepala sendiri mereka melihat orang-orang Qureiys durhaka lari tungganglanggang
menyelamatkan nyawa laksana belalang terbang berserakan tertiup angin kencang.
Ia teringat kepada putera pamannya, Muhammad Rasul Allah s.a.w. sedang menatap
mukanya dengan sinar mata penuh kasih sayang, kemudian memeluk sambil berucap:
"Inilah saudaraku!" Ia juga teringat ketika beliau datang berkunjung
ke rumahnya di saat ia sedang tidur. Waktu isterinya --Fatimah Azzahra binti
Muhammad Rasul Allah s.a.w.-- hendak membangunkan, tibatiba beliau berkata:
"Biarkan dia! Mungkin sepeninggalku ia akan 'bergadang' lama sekali!"
Mendengar ucapan ayahandanya seperti itu Sitti Fatimah menangis terisak-isak!
Lebih dari itu semua, ia pun teringat ketika Rasul Allah s.a.w. berkata
kepadanya: "Allah telah menghiasi hidupmu dengan perhiasan yang paling
disukai oleh-Nya. Yaitu bahwa engkau telah dikaruniai rasa cinta kasih kepada
kaum yang lemah dan merasa senang mempunyai pengikut-pengikut seperti mereka.
Sedang mereka juga merasa senang mempunyai pemimpin seperti engkau!" Kemudian
terbayang olehnya peristiwa wafatnya Rasul Allah s.a.w. di hadapannya, yaitu
saat beliau mengarahkan pandangan mata terakhir kepadanya. Kini bayangan wajah
isterinya yang telah lama mendahului --Siti Fatimah r.a.-- terpampang di
pelupuk mata, yang pada saat itu tampak sangat sedih. Dikarenakan kehancuran
hati dan perasaannya, belum sampai seratus hari isteri tercinta itu menyusul
ayahandanya dalam usia belum mencapai 30 tahun. Kini Imam Ali sedang teringat
sewaktu mengantar kemangkatan isterinya menghadap Allah Rabbul'alamin, yaitu
saat ia berdiri di atas makamnya sambil menangis tersedu-sedu, kemudian pulang
ke rumah di petang hari dengan hati yang hancur luluh. Kesedihan abadi di malam
pudar! Terlintas pula dalam ingatannya, ketika Umar Ibnul Khattab r.a.
menolehkan muka kepadanya seraya berkata: "Demi Allah, bila engkau yang
memimpin mereka --ummat muslimin—engkau pasti akan membawa mereka ke jalan yang
benar dan ke cahaya yang terang benderang!" Di telinga Imam Ali sekarang
sedang mengiang-ngiang suara para sahabatnya, yaitu ketika mereka berkata:
"Pada masa hidupnya Rasul Allah s.a.w. kami mengenal orang-orang munafik
dari sikap mereka yang membenci anda!" Ya…, bahkan Rasul Allah s.a.w.
sendiri berkali-kali memperdengarkan ucapan: "Hai Ali, tidak ada yang
membencimu selain orang munafik!" Saat itu Imam Ali teringat kepada
kawan-kawan seperjuangan, ketika berjuang bersama-sama dan bahu-membahu serta
saling bantu di bawah pimpinan Rasul Allah s.a.w. Sekarang di antara mereka ada
yang masih terus berjuang dan ada pula yang sudah berkomplot melawan dia, hanya
karena didorong oleh ambisi hendak merebut kekuasaan dan kepemimpinan. Tetapi mereka
yang masih tetap menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan, dan mereka yang
masih tetap setia membela kebajikan… alangkah bahagianya dan berkahnya mereka
itu. Walaupun mereka hidup terasing di dunia, dicampakkan oleh musuh-musuh
kebenaran dan keadilan dan dirintangi oleh kedzaliman berselimut ribuan cara. Imam
Ali sekarang sedang membayang-bayangkan wajah Abu Dzar, yang ketika itu
mengenakan serban kumal mencari-cari Rasul Allah s.a.w. untuk dapat mengabdikan
diri kepada kebenaran Allah s.w.t. Setelah itu Abu Dzar mencurahkan seluruh isi
hati, fikiran dan perasaan serta segenap jiwa raga kepada perjuangan membela
kebenaran melawan kebatilan. Tetapi perjuangannya yang gigih membela kaum
madzlum, yang hidup sengsara, ternyata berakhir dengan tragedi menyedihkan yang
dibuka sumbatnya oleh Marwan bin Al-Hakam pada zaman kekhalifahan Utsman bin
Affan r.a. Ia kemudian diusir, dibuang dan dipencilkan sampai dating ajal
menjemput nyawa, dan sesudah semua puteranya mati lebih dulu di depan matanya.
Isteri Abu Dzar, seorang wanita baik hati, sewaktu menghadapi kemangkatan
suaminya, ingin mati lebih dulu agar tidak sampai "mengalami kematian dua
kali!" Yaitu mati dalam hidup dan mati sesudah hidup. Abu Dzar mati
kelaparan dalam cengkeraman buas beberapa orang Bani Umayyah yang sedang
berdiri di atas hamparan emas. Betapa sedihnya Imam Ali teringat kepada Ammar
bin Yasir; seorang sahabat setia yang pada hari-hari belum lama berselang mati
terbunuh. Ammar benar-benar seperti saudara kandung Imam Ali sendiri. Seorang
yang hidup amat sederhana, penuh taqwa, jujur dan berani. Ia mati terbunuh
melawan gerombolan pemberontak Muawiyah di Shiffin. Ya, dimanakah sekarang
sahabat-sahabat Imam Ali? Teman-teman dan para sahabat yang dulu menempuh jalan
yang sama dan berdiri tegak bersama-sama memadu tekad untuk membela kebenaran?
Teman dan sahabat yang dulu tak pernah meninggalkan dia, tak pernah mempergunjingkan
dia, dan tak pernah berlaku buruk terhadap dirinya? Dimanakah mereka itu semua?
Mereka sekarang sudah banyak sekali yang bertolak belakang. Namun Imam Ali
masih tetap terus berkecimpung dalam perjuangan sengit melawan kedzaliman dan
pelaku-pelakunya. Imam Ali sekarang melaksanakan tugas perjuangan seorang diri,
setelah dahulu dikerumuni oleh banyak sahabat dan pendukung setia. Perjuangan
membela kebenaran dan keadilan melawan suatu kaum yang mempunyai anak-anak liar
dan pemuda-pemuda dekaden, sedangkan para orang tua mereka tidak mendorong
supaya mereka berbuat baik dan meninggalkan kemungkaran. Suatu kaum yang hanya
disegani oleh orang-orang yang takut berbicara, tidak dihormati selain oleh
orang-orang yang mengharapkan pemberiannya. Alangkah kejamnya kehidupan ini,
sehingga Imam Ali sampai detik-detik akhir hayatnya hanya mengenal perjuangan
dan penderitaan! Alangkah teganya kehidupan ini, sampai membiarkan orang-orang
yang baik hidup tersingkir satu demi satu, dan sampai bumi ini penuh dengan kedzaliman
dan kebathilan! Aduhai, alangkah parahnya hari esok yang dibayangkan oleh Imam
Ali dengan fikiran dan perasaannya pada malam itu. Setelah malam itu lewat,
apakah gerangan yang akan dialami oleh pemimpin besar kaum muslimin itu?
Seorang pemimpin yang dirugikan oleh kejujurannya, tetapi ia tidak sudi
berdusta walau akan memperoleh keberuntungan. Setelah malam itu lewat, apalagi
yang akan dialami oleh seorang pernimpin yang menjadi bapak orang banyak itu? Seorang
pemimpin yang lebih suka menderita di dalam kebenaran daripada hidup senang di dalam
kebatilan. Ya, setelah malam itu lewat, apalagi yang akan dialami oleh seorang pemimpin
yang berfikir dan berperasaan adil terhadap sesama manusia; dan seorang
pemimpin yang bekerja mengabdi kebenaran tak peduli apakah gunung-gunung akan
runtuh ataukah bumi akan longsor. Alangkah gelapnya hari esok di mana si pandir
akan merangkak berlagak pandai dalam suasana penuh kedzaliman, agar orang-orang
yang berkuasa mau menarik-narik ekornya dengan bangga. Sedangkan kaum cerdik
pandai yang tak mau mengikuti jejak orang-orang itu akan digilas sampai pipih,
kering dan remuk, kehabisan nafas dan tinggal saja merasakan siksa dunia. Pendukung
kedzaliman yang memerangi Imam Ali dengan otak, hati, lidah dan pedang, akan dapat
menjadi manusia yang hidup senang. Suasana sungguh sudah terjungkir balik,
siang
disulap menjadi malam, dan kiri disulap menjadi
kanan. Adapun pendukung keadilan yang membela Imam Ali dengan otak, hati, lidah
dan pedang, pasti akan menjadi orang-orang sengsara, teraniaya dan dikepung
penderitaan dari segenap jurusan! Terbayang semuanya itu Imam Ali melinangkan
airmata sambil mengusap-usap janggut. Keheningan malam yang sunyi senyap
seolah-olah ikut menangis teriring suara hembusan angin sepoi-sepoi. Mata Imam
Ali sampai membengkak karena terlampau banyak memeras airmata. Ia kemudian
mengarahkan pandangan ke bintang-bintang dan awan di cakrawala. Remang-remang cahaya
malam tanpa pandang bulu meratai kemegahan rumah-rumah kaum yang dzalim dan gubuk-gubuk
reyot kaum yang madzlum. Tanpa pilih kasih kegelapan malam itu menggenangi orang-orang
berhati dengki dan orang-orang berbaik hati yang sedang dirundung derita. Semua
mendapat perlakuan sama. Setelah itu Imam Ali teringat kepada sikapnya sendiri
terhadap kekayaan duniawi, kemudian berucap: "Hai dunia…, hai dunia,
rayulah orang selain aku!" Ya, benar-benar ia telah menjungkir-balikan
dunianya di depan wajah dunia! Malam semakin kelam dan gelap bertambah pekat…
Ia merasa hidup di dunia seolah-olah sudah sampai di suatu tempat dimana ia
harus berada seorang diri. Betapa sedihnya hidup di permukaan bumi ini dalam
sebuah rumah seorang diri, rumah yang sunyi senyap lagi terpencil. Matanya
dipejamkan sejenak, seolah-olah sedang menangkap desiran malam yang mengerikan.
Ia terkantuk mimpi melihat Rasul Allah s.a.w. Dalam mimpi ia bertanya kepada
putera pamannya itu: "Ya Rasul Allah, apakah yang harus kuperbuat terhadap
ummatmu yang serong dan saling bermusuhan?" Beliau menjawab:
"Mohonlah pembalasan buruk bagi mereka hepada Allah!" Imam Ali
kemudian berdoa: "Ya Allah, gantilah mereka itu dengan orang-orang yang
baik bagiku, dan gantilah aku dengan orang yang lebih buruk bagi mereka!" Dalam
mimpinya itu ia pun melihat kaum fakir miskin dan kaum lemah lainnya
bersama-sama orang-orang yang kuat sedang berada di dalam sebuah bahtera oleng
terpukul badai di tengah lautan. Semua orang yang ada dalam bahtera itu cemas
ketakutan menghadapi marabahaya di kegelapan malam. Mereka dihempaskan ke sana
dan ke mari oleh angin ribut. Itulah akhir mimpi dan kenangan hidupnya
menjelang subuh dini hari yang mengantar Abdur Rahman bin Muljam datang
menyelinap ke dalam masjid dengan senjata tajam di tangan. Dua hari kemudian ia
wafat, dan Ibnu Muljam bukannya berhasil membayar maskawin yang diminta oleh
perempuan jalang bernama Qitham binti Al Akhdar, melainkan ia harus membayar petualangannya
dengan nyawa sendiri!
PENUTUP
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. telah meninggal
dunia. Di masa hidupnya, ia telah menempati kedudukan tinggi dan terhormat
dalam kehidupan ummat manusia. Pada dirinya terhimpun nilai-nilai kebenaran,
keadilan, keimanan, kepahlawanan, kebajikan dan kemuliaan. Suatu thiraz (type)
yang jarang terdapat di kalangan ummat manusia. Thiraz yang mempunyai bobot
abadi dan tak mungkin ditiadakan atau terlupakan. Karena ia mencerminkan hati
nurani kemanusiaan. Pada segala zaman dan di semua negeri, sejarah hidupnya
selalu mengumandangkan berita tentang kesetiaan yang sangat mengagumkan
terhadap kebenaran. Baik di masa kanak-kanak, di masa muda, maupun di masa tua,
ia senantiasa tetap setia kepada kebenaran. Kesetiaannya adalah kesetiaan
seorang ahli ibadah, seorang prajurit, seorang patriot, seorang penguasa.
Kesetiaan yang tak pernah goyah dalam segala tingkat usia, sungguh pun dalam
keadaan yang berbeda-beda. Kesetiaannya kepada kebenaran bukanlah kesetiaan
yang dibuat-buat, tetapi kesetiaan fithriyyah. Kesetiaan yang berdasarkan
keyakinan, bukan kesetiaan karena keinginan memperoleh manfaat. Kesetiaannya
kepada kebenaran tercermin sekali dari sikapnya yang sanggup mengalahkan
keduniawian dan menundukkan bujuk-rayu serta rongrongannya. Lihatlah ia
menepung gandum sendiri! Lalu menggaruki ujung antan agar jangan ada sisa tepung
yang ketinggalan! Ia makan roti kering bercampur katul. Ia menjauhkan diri dari
istana imarah (pemerintahan) di Kufah. Ia lebih suka tinggal di gubuk terbuat
dari tanah liat! Mengapa? Karena kesetiaannya kepada kebenaran tidak bisa
disatukan dengan kemewahan duniawi! Kegemarannya yang paling besar ialah
meremehkan keduniawian dan menaklukan bujukrayunya yang sangat dahsyat. Ia
tidak sudi menyentuhkan tangan pada keduniawian dan tidak tertarik sama sekali!
Kepada rayuan duniawi ia senantiasa berkata tegas "Tidak!" Setelah
memegang urusan kaum muslimin, menjadi seorang Khalifah, kegemarannya itu berubah
menjadi kewajiban. Ia pernah berkata: "Apakah aku harus merasa puas
disebut Amirul Mukminin, sedangkan aku tidak menyertai kaum mukminin dalam masa
kesusahan? Demi Allah, seandainya aku mau, aku dapat memperoleh madu murni,
gandum pilihan dan pakaian serba halus. Tetapi, jauh nian aku bisa dikalahkan
oleh hawa nafsu! Aku tidak sudi kekenyangan, sedang di sekitarku banyak perut
kelaparan, menderita dan sengsara." Rasul Allah s.a.w. pernah mengatakan,
bahwa kemiskinan mendekatkan orang kepada kekufuran. Bertolak dari sini pulalah
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. muncul dengan sebuah kalimat cemerlang:
"Seandainya kemiskinan itu berupa orang, tentu ia sudah kubunuh!" Sungguhpun
Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sudah meninggal dunia, namun ia senantiasa hidup dalam
semua nilai-nilai kebenaran yang diperjuangkannya sepanjang umur. Ia tetap akan
hidup sebagai tauladan. Merupakan keharusan bagi kaum muslimin, terutama bagi
yang masih ada keturunan darah Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. untuk bertauladan
dari keutamaan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a.: kezuhudannya,
kejujurannya, keadilannya, keksatriaannya, kerendahan hatinya, kedermawanannya
dan sembah sujudnya kepada Allah s.w.t. Malahan bagi keturunan Ahlul-Bait Rasul
Allah s.a.w. dituntut lebih keras lagi bertauladan kepada kehidupan Imam Ali
r.a. Mereka tinggal mengikuti garis yang telah ada. Akan merupakan
penyimpangan, bila keturunan Ahlul-Bait Rasul Allah s.a.w. tidak berbuat
demikian. Bertauladan kepada keutamaan kehidupan Imam Ali bin Abi Thalib r.a.
berarti berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan, serta melawan kebathilan
dan kedzaliman, dengan kata lain beramar ma'ruf nahi mungkar. Menyerukan supaya
orang berbuat benar dan adil sudah merupakan satu perjuangan. Perjuangan
mencegah kemungkaran, nahi mungkar, adalah lebih berat daripada menyerukan
orang berbuat benar dan adil. Sebab tantangan akan muncul dari fihak yang
hendak dicegah! Sepanjang usianya enam puluh tiga tahun, Imam Ali bin Abi
Thalib r.a. senantiasa ber-amar ma'ruf nahi mungkar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar