PINTU ILMU
Dalam riwayat yang ditulisnya, Ibnu Abbas
mengatakan: "Demi Allah, Rasul Allah s.a.w. telah memberi kepada Imam Ali
sembilan-persepuluh dari semua ilmu yang ada, dan demi Allah, Imam Ali masih
juga mengetahui sebagian dari sepersepuluh ilmu sisanya yang ada pada kalian atau
pada mereka." Mengenai hal itu cukuplah dikemukakan saja ucapan Rasul
Allah s.a.w. yang menegaskan: "Aku ini adalah kotanya ilmu atau kotanya
hikmah, sedangkan Ali adalah pintu gerbangnya. Barang siapa ingin memperoleh
ilmu hendaknya ia mengambil lewat pintunya." Allah s.w.t. telah
melimpahkan nikmat tiada terhingga kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. berupa
ilmu dan hikmah, sehingga ia menjadi orang yang paling banyak mengetahui dan menguasai
isi A1 Qur'an serta ajaran-ajaran Rasul Allah s.a.w. Dengan sendirinya ia pun merupakan
orang yang paling mampu menetapkan fatwa hukum Islam. Sebenarnya hal itu bukan
merupakKan satu kejutan, karena dia adalah satu-satunya orang muslim yang
terdini memeluk Islam dan hidup langsung di bawah naungan wahyu sejak masa
kanak-kanak sampai dewasa. Sebuah riwayat hadits yang berasal dari Mu'adz bin
Jabal mengatakan bahwa Rasul Allah s.a.w. berkata kepada Imam Ali r.a.:
"Engkau mengungguli orang lain dalam tujuh perkara. Tak ada seorang
Qureisy pun yang dapat menyangkalnya. Yaitu:
-Engkau adalah orang pertama yang beriman kepada
Allah,
-Engkau orang yang terdekat dengan janji Allah,
-Engkau orang yang termampu menegakkan perintah
Allah,
-Engkau orang yang paling adil mengatur pembagian
(ghanimah),
-Engkau orang yang paling berlaku adil terhadap
rakyat,
-Engkau paling banyak mengetahui semua persoalan,
-dan Engkau orang yang paling tinggi nilai
kebaikan sifatnya di sisi Allah."
Jadi, kalau Rasul Allah s.a.w. sendiri sudah
menilai Imam Ali r.a. sedemikian lengkapnya, tidaklah keliru kalau dikatakan,
bahwa Imam Ali r.a. merupakan kualitas pilihan di kalangan ummat Islam.
Fashahah dan Balaghah Al Mas'udiy meriwayatkan,
bahwa lebih dari 480 khutbah yang diucapkan oleh Imam Ali r.a. tanpa
dipersiapkan lebih dahulu, dihafal oleh banyak orang. Syarif Ar-Ridha
mengatakan dalam kitab Khutbah Nahjil Balaghah, bahwa Amirul Mukminin Ali bin
Abi Thalib adalah pencipta dan pengajar ilmu Fashahah dan juga merupakan orang
yang melahirkan ilmu Balaghah. Dari dialah munculnya aturan-aturan ilmu
tersebut dan dari dia juga orang mengambil kaidahkaidah dan hukum-hukumnya.
Tiap orang yang berbicara sebagai khatib, pasti mengambil pepatah atau
kata-kata rnutiara dari dia, dan tiap orang yang pandai mengingatkan orang lain
pasti mencari bantuan dengan jalan mengutip kata-kata Imam Ali. Demikian kata
Syarif Ar Ridha. Tentang hal itu Muawiyah sendiri juga terpaksa harus mengakui
keunggulan lawannya, ketika ia berkata terus terang kepada Abu Mihfan:
"Seandainya semua mulut dijadikan satu, belum juga dapat menyamai
kepandaian Ali bin Abi Thalib. Demi Allah, tidak ada orang Qureiys yang cakap berbicara
seperti dia!" Banyak sekali ungkapan dan kata-kata mutiara Imam Ali r.a.
tercantum dalam kitab Nahjul Balaghah, yang dibelakang hari diuraikan oleh Ibnu
Abil Hadid dalam bukunya Syarah Nahjil Balaghah, yang terdiri dari 20 jilid.
Buku Nahjul Balaghah kiranya cukuplah menjadi bukti, bahwa dalam hal menyusun
kalimat dan memilih kata-kata bermutu, memang tidak ada orang lain yang dapat
menyamai atau melebihi Imam Ali r.a. selain Rasul Allah s.a.w. sendiri. Salah satu
contoh ialah kata-katanya: "Tiap wadah bila diisi menyempit kecuali wadah
ilmu, ia bahkan makin bertambah luas." Dalam kitab Al Bayan wat Tabyin, Al
Jahidz mengetengahkan ucapan Imam Ali r.a. yang mengatakan: "Nilai
seseorang ialah perbuatan baiknya." Dalam memberikan tanggapan terhadap ucapan
Imam Ali r.a. tersebut, Ibnu Aisyah mengatakan: "Selain kalam Allah dan
Rasul-Nya, aku tidak pernah menemukan sebuah kalimat yang lebih padat maknanya
dan lebih umum kemanfaatannya dibanding dengan ucapan-ucapan Imam Ali." Pernah
ada orang bertanya kepada Imam Ali r.a. tentang berapa jauhnya jarak antara
langit dan bumi. Imam Ali dengan mudah saja menjawab: "Jauhnya secepat doa
yang terkabul!" Orang itu masih bertanya lagi tentang jauhnya jarak antara
timur dan barat. Dijawab oleh Imam Ali r.a.: "Sejauh perjalanan matahari
sehari!" Nahwu Ilmu Nahwu yang merupakan salah satu cabang pokok ilmu
bahasa Arab pun sejarah pertumbuhannya tak dapat dipisahkan dari pemikiran Imam
Ali r.a. Dialah yang meletakkan dasar-dasar fundamental ilmu tersebut. Tokoh
pertama yang terkenal sebagai penyusun ilmu Tata Bahasa Arab, Abul Aswad Ad
Dualiy, di imla (didikte) oleh Imam Ali r.a. dalam meletakkan dasar-dasar ilmu
Nahwu dan kaidah-kaidahnya. Antara lain Imam Ali r.a.-lah yang membagi jenis
kata-kata dalam tiga kategori secara sistematik. Yaitu kata benda (ism), kata
kerja (fi'il) dan kata penghubung (harf). Ia jugalah yang membagi kata benda ke
dalam dua sifat. Ma'rifah, yaitu kata benda yang jelas maksudnya dalam hubungan
kalimat, dan Nakirah, yaitu lawan kata benda Ma'rifah. Demikian juga yang
berkaitan dengan jenis-jenis I'rab, seperti rafa', nasb, jar dan jazm. Keistimewaannya
ialah dalam meletakkan kaidah-kaidah tata-bahasa Arab itu, Imam Ali r.a. seolah-olah
seperti berbuat mu'jizat. Sebab sebelum itu, belum pernah ada orang Arab yang mengenal
sistematisasi penyusunan tata-bahasa. Rumus-rumus tata-bahasa belum pernah dikenal
orang sama sekali. Padahal bahasa Arab adalah bahasa yang sangat tua, kaya dan rumit.
Bangsa-bangsa Eropa yang dalam abad modern sekarang ini menguasai peradaban
dunia, waktu itu masih tenggelam dalam vandalisme dan pengembaraan liar. Jadi
tidaklah keliru kalau dikatakan Imam Ali r.a. itu adalah bapak bahasa Arab
modern. Sebab rumus-rumus dan kaidahkaidah yang diletakkan olehnya, membuat
bahasa Arab mudah dipelajari oleh orang asing. Khutbah Kecakapannya berkhutbah
bukan asing lagi bagi para penulis sejarah Islam. Imam Ali r.a. bukan hanya
dikenal sebagai Bapak bahasa Arab, tetapi dalam hal penggunaan dan penerapan
bahasa pun ia dikenal sebagai seorang ahli terkemuka. Keunggulannya dalam
kecakapan berbahasa dan bersastra membuat orang menarik kesimpulan, bahwa nilai
perkataan Imam Ali r.a. berada di bawah firman Allah Al Khaliq dan tutur-kata
Rasul-Nya. Pada masa hidupnya tidak sedikit orang datang kepadanya untuk
menimba ilmu berkhutbah dan ilmu menulis. Abdul Hamid bin Yahya, seorang
ilmuwan dan penulis Islam yang masyhur itu, sampai berkata sambil membanggakan
diri, bahwa ia mempunyai kumpulan khutbah-khutbah Imam Ali sebanyak 70
perangkat. "Dan itu masih bertambah terus," katanya. Akan tetapi
Abdul Hamid itu masih kalah unggul dibanding dengan Ibnu Nubatah, yang nama
sebenarnya ialah Abdurrahman bin Muhammad bin Ismail Al-Fariqiy Al-dudzamiy. Ia
mengatakan: "Aku menyimpan setumpuk khutbah-khutbahnya. Sampai sekarang
masih bertambah terus jumlahnya. Aku menyimpan 100 bab dari wejangan-wejangan
Imam Ali bin Abi Thalib." Kecakapan Imam Ali r.a. menyusun pidato sangat
membantu para peneliti sejarah Islam, khususnya sejarah perjuangan Imam Ali
r.a. sendiri, dalam menghimpun data-data dan faktafakta. Dibanding dengan
khutbah-khutbahnya, khutbah-khutbah yang pernah diucapkan oleh para sahabat
Nabi Muhammad s.a.w. lainnya, belum ada sepersepuluhnya, seandainya semua itu
hendak dikumpulkan. Seorang penulis dan sejarawan klasik Islam, Abu Utsman
Al-Jahidz menegaskan hal tersebut dalam bukunya yang berjudul Al-Bayan wat
Tabyin.
Tauhid Ilmu Tauhid atau ilmu Kalam adalah ilmu
yang paling banyak dikejar dan diselami oleh kaum muslimin yang berminat
mendalami hakikat Islam. Ilmu Tauhid merupakan induk ilmu-ilmu agama Islam,
karena ilmu tersebut menyangkut masalah ke-Tuhan-an. Kecuali itu, karena luhur dan
tingginya nilai suatu ilmu pengetahuan terletak pada sasaran ilmu itu sendiri. Ilmu
ke-Tuhan-an yang sasarannya adalah Dzat Yang Maha Agung, tidak bisa tidak pasti
merupakan ilmu yang paling tinggi mutu dan nilainya. Kaum awam dan para ahli
yang menekuni ilmu yang mulia itu, hampir tak ada yang meragukan bahwa ilmu
tersebut dikuasai dengan baik sekali oleh Imam Ali r.a. Bahkan pribadinya
sendiri di belakang hari dijadikan sumber penggalian dan pembahasan ilmu
tersebut, yakni ilmu Tauhid.
Kaum Mu'tazilah yang juga dikenal dengan sebutan
Ahlut Tauhid Wal 'Adl, para ahli ilmu qalam, dan para ahli fikir lainnya, jika
diusut sumber ilmu pengetahuannya masing-masing, akhirnya pasti akan bertemu
pada pribadi dan pemikiran Imam Ali r.a. Sebagai ilustrasi dan sekaligus pembuktian
dapat dikemukakan, bahwa tokoh utama kaum Mu'tazilah yang bernama Washil bin 'Atha,
dasar-dasar ilmu pengetahuannya berasal dari Imam Ali r.a. Sebab tokoh
Mu'tazilah itu menimba ilmu dari Abu Hasyim Abdullah bin Muhammad Ibnul
Hanafiyah. Hasyim memperoleh ilmu dari ayahnya sendiri, yaitu Muhammad Ibnul
Hanafiyah. Sedang Muhammad Ibnul Hanafiyah bukan saja murid, melainkan ia
adalah putera Imam Ali r.a. sendiri, yakni saudara Al Hasan dan Al Husein r.a.
dari lain ibu.
Kaum Asy'ariy yang asalnya adalah para siswa Abul
Hasan Ali bin Ismail bin Abi Bisyr Al Asy'ariy, ilmu pengetahuan mereka didapat
dari Abul Aliy Al-Juba-iy. Bagi orang yang mendalami ilmu Tauhid dan meneliti
asal-usul sejarahnya, pasti mengetahui bahwa Abul Aliy Al-Juba-iy itu ialah seorang
tokoh sangat terkenal di kalangan kaum Mu'tazilah. Sedang kaum Mu'tazilah itu memperoleh
ilmu mereka dari Imam Ali r.a., seperti yang kami sebutkan di atas tadi.
Mengenai kaum Syi'ah, baik golongan Zaidiyyah maupun golongan Imamiyyah, sumber
ilmu pengetahuan mereka tak usah dipersoalkan lagi. Sudah pasti dari tokoh
pujaan mereka yang paling utama, yaitu Imam Ali bin Abi Thalib r.a Fiqh Orang
yang paling lembut hatinya dan paling ramah di kalangan ummatku ialah Abu
Bakar.
Demikian diungkapkan oleh Rasul Allah s.a.w.
Sedang yang paling keras membela agama ialah Umar Ibnul Khattab. Yang paling
pemalu adalah Utsman bin Affan. Adapun Ali, ajar Rasul Allah s.a.w. seterusnya,
ialah yang paling tahu tentang hukum. Pernyataan Rasul Allah s.a.w. tersebut
merupakan masnad bagi uraian Abu Ya'la, sebagaimana tercantum dalam kitab karya
seorang penulis kenamaan As-Sayuthiy, yang berjudul Al Jami'us Shaghir (jilid I
halaman 58). Yang dimaksud dengan hukum bukan lain ialah hukum Islam, yaitu Fiqh.
llmu Fiqh merupakan salah satu cabang penting dari ilmu agama Islam. Ilmu yang
bersangkut-paut dengan semua ketentuan hukum Islam itu jelas sekali berpangkal antara
lain dari Imam Ali r.a. Boleh dibilang semua ahli Fiqh di kalangan kaum
muslimin menimba dan mengambil dasar-dasar ilmu pengetahuannya masingmasing
dari Fiqh Imam Ali. Rekan-rekan dan para pengikut Imam Abu Hanifah, seperti Abu
Yusuf, Muhammad dan sebagainya, semua berguru kepada Abu Hanifah. Seorang ahli
Fiqh terkemuka yang madzhabnya dianut oleh ummat Islam Indonesia, Imam Syafi'iy,
adalah murid Muhammad bin Al Hasan yang ilmunya berasal dari Abu Hanifah. Tokoh
pertama madzhab Hanbaliy, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal, adalah murid kinasih dan
terkemuka dari Imam Syafi'iy. llmu pengetahuan yang ditimbanya sudah tentu sama
seperti ilmu yang didapat oleh Imam Syafi'iy sendiri, yaitu berasal dari Imam
Abu Hanifah. Tokoh besar ilmu Fiqh, Abu Hanifah, menimba ilmu pengetahuan dari
Ja'far bin Muhammad Ibnul Hanafiyah. Ja'far adalah murid ayahnya sendiri,
sedangkan ayahnya itu ialah murid dan putera Imam Ali. Tokoh pertama madzhab
Malikiy, yaitu Imam Malik bin Anas, pun demikian juga. Ia menimba ilmu
pengetahuan tentang Fiqh dari Abdullah Ibnu Abbas. Sedangkan Abdullah Ibnu
Abbas sendiri diketahui dengan pasti bukan lain adalah murid Imam Ali bin Abi
Thalib r.a. Kalau ada yang mengatakan bahwa ilmu Fiqh Imam Syafi'iy berasal
dari Imam Malik, pangkal dan sumber pokoknya berasal juga dari Imam Ali. Fakta-fakta
tersebut mengungkapkan kenyataan, bahwa 4 orang Imam Fiqh atau tokoh-tokoh pertama
empat madzhab Fiqh di seluruh dunia Islam sekarang ini, ilmu pengetahuan
Fiqhnya masing-masing berasal dari Imam Ali r.a. Tentu saja tak perlu diragukan
lagi, bahwa ilmu Fiqh yang ada di kalangan kaum Syi'ah pasti berasal dari Imam
Ali. Seorang tokoh besar Islam lainnya, Umar Ibnul Khattab r.a., dikenal dan
diakui sebagai seorang yang banyak memecahkan masalah-masalah yang berkaitan
dengan hukum Islam. Namun ia tidak lepas dari pemikiran Imam Ali bin Abi Thalib
r.a. Hal ini diakui sendiri olehnya ketika mengatakan: "Tanpa Ali
celakalah Umar!" Bahkan Khalifah yang terkenal
keras, tegas, tetapi bijaksana dan arif itu pernah juga mengucap-kan
"Tidak ada kesukaran (hukum) yang tak dapat dipecahkan oleh Abul Hasan
(Imam Ali)." Waktu melukiskan bagaimana wibawa dan wewenang Imam Ali dalam
menetapkan fatwa hukum, Khalifah Umar r.a. juga menegaskan: "Tidak ada
seorang pun di dalam masjid yang dapat memberikan fatwa hukum, bila Ali
hadir." Penguasaan, penafsiran dan penerapan hukum Islam oleh Imaln Ali
r.a. dilakukan secara tepat dan diakui kebenarannya oleh Rasul Allah s.a.w. Hal
itu dibuktikan dengan diangkatnya Imam Ali --pada masa itu-- sebagai qadhi
(hakim) di Yaman. Ketika melepas saudara misan
kesayangannya itu Rasul Allah s.a.w. sempat
berdoa: "Ya Allah, bimbinglah hatinya dan mantapkanlah ucapannya."
Sebagai tanggapan terhadap harapan Rasul Allah s.a.w. itu Imam Ali r.a.
berkata: "Mulai saat ini aku tidak akan ragu-ragu lagi mengambil keputusan
hukum yang menyangkut dua belah fihak." Di antara banyak yurisprudensi,
keputusan-keputusan hukum, yang dilahirkan oleh pemikiran Imam Ali r.a. ialah
yang menyangkut kasus perkara sebagai berikut: Kasus seorang isteri yang melahirkan
anak, padahal ia baru enam bulan menikah dengan suaminya. Yaitu suatu penetapan
hukum yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. berdasarkan Surah Al-Ahqaf ayat 15.
Juga Imam Ali-lah yang menetapkan fatwa hukum Islam tentang wanita hamil karena
perbuatan zina. Memecahkan masalah hukum Faraidh yang pelik dan rumit, yaitu
hukum tentang pembagian harta waris, Imam Ali r.a. sanggup melakukannya dengan
cepat dan tepat. Yurisprudensi ini lahir dari satu kasus yang terkenal dalam
sejarah Fiqh dengan nama "Kasus Minbariyyah". Kasus ini menarik para
ahli hukum Islam maupun non Islam. Peristiwa ini terjadi ketika Imam Ali r.a.
sedang berkhutbah di atas mimbar, tiba-tiba ada seorang bertanya tentang hukum
yang berkaitan dengan pembagian waris antara dua orang anak perempuan, dua
orang ayah dan seorang perempuan. Seketika itu juga dan hanya dalam waktu
beberapa detik saja,
tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. menjawab:
"Seperdelapan yang menjadi hak perempuan itu berubah menjadi
sepersembilan!" Dihitung secara matematik dan ditinjau dari sudut keadilan
dan kebijaksanaan berdasarkan Al- Qur'an, fatwa hukum Imam Ali r.a. tersebut
mencapai record dalam memecahkan kasus pembagian harta waris yang amat pelik
dan rumit. Seorang ahli hukum Faraidh sendiri, walau dengan bantuan alat
kalkulator, baru dapat menemukan angka yang disebutkan oleh Imam Ali r.a. kalau
sudah menghitung-hitung dahulu selama beberapa saat. Masalah itu memang
merupakan masalah matematika yang cukup ruwet. Tetapi menurut kenyataan, fatwa
Imam Ali r.a. yang diambil dalam waktu beberapa detik itu setelah diuji dan
diteliti secermat-cermatnya berdasarkan hukum Al-Qur'an dan sunnah Rasul Allah
s.a.w., terbukti benar dan tepat. Jelaslah hanya orang yang betul-betul
menguasai dasar-dasar hukum Fiqh sampai sedalam-dalamnya sajalah yang dapat
memberikan jawaban secepat itu! Tafsir Bagi orang awam, bahkan kaum ahli
sekalipun, selalu menjumpai kenyataan bahwa tafsir Al- Qur'an banyak sekali
kaitannya dengan nama seorang ulama besar, Abdullah Ibnu Abbas. Ulama ini
memang terkenal sekali sebagai seorang ahli tafsir Al Qur'an. Abdullah Ibnu
Abbas juga seorang ulama yang dipercaya oleh Khalifah Abu Bakar r.a. dan
Khalifah Umar r.a. untuk memberikan penafsiran tentang sesuatu ayat Al-Qur'an. Sungguhpun
demikian, ketika Abdullah Ibnu Abbas ditanya orang, bagaimana perbandingan ilmu
pengetahuan yang dimilikinya dengan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh
"putera paman anda" (Imam Ali r.a.), jawabnya sederhana saja:
"Perbandingannya seperti setetes air hujan dengan air samudera!"
Jawaban itu tidak mengherankan. Bukan hanya karena ia rendah hati, melainkan juga
karena ia adalah murid Imam Ali r.a. sendiri. Dalam ilmu tafsir, nama dua orang
itu hampir tak pernah pisah sama sekali. Benar sekali penyaksian Abu Fudhail
yang mendengar sendiri Imam Ali r.a. berkata dari atas mimbar:
"Tanyakanlah kepadaku selama aku ada. Apa saja yang kalian tanyakan, aku
sanggup menjawab. Tanyakanlah tentang Kitab Allah. Demi Allah, tak ada satu
ayat pun yang aku tidak mengetahui, apakah ayat itu turun di waktu siang
ataukah di waktu malam, di datarankah atau di pegunungan." Kata-kata Imam
Ali r.a. itu bukan menunjukkan kesombongan, tetapi karena ia tampak jengkel melihat
ada orang yang menafsirkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan semena-mena. Dan apa yang
diucapkannya itu bukan kata-kata hampa yang tidak berbukti. Menurut Ibnu Abil
Hadid, Al-Madainiy meriwayatkan, bahwa dalam salah satu khutbahnya Imam Ali
r.a. pernah berkata: "Seandainya ada yang mengadu kepadaku karena
bantalnya dirobek orang, aku akan mengambil keputusan hukum. Bagi ahli Taurat
berdasarkan Tauratnya, bagi ahli Injil berdasarkan Injilnya, dan bagi ahli
Al-Qur'an berdasarkan Qur'an-nya!" Sungguh besarlah nikmat Allah yang
dilimpahkan kepada putera Abu Thalib yang telah menerima asuhan dan pendidikan
manusia terbesar sepanjang sejarah, Nabi besar Muhammad s.a.w.! Tidak keliru
kalau tiga orang Khalifah sebelumnya memandang Imam Ali r.a. sebagai
penasehat ahli yang sama sekali tak dapat
ditinggalkan fatwa-fatwanya. Tilawatil Qur'an Bagi Imam Ali r.a. ilmu Tilawatil
Al-Qur'an merupakan ilmu yang paling pertama kali diteguk dan diperolehnya
langsung dari Rasul Allah s.a.w. sejak berusia muda belia. Ialah orang yang paling
tahu bagaimana Rasul Allah s.a.w. membaca ayat-ayat Al-Qur'an. Sejak Rasul
Allah s.a.w. masih hidup, Imam Ali r.a. sudah dikenal sebagai orang pertama dan
yang paling dini menghafal Al-Qur'an. Kedudukannya yang sangat dekat dengan
Rasul Allah s.a.w. dan kecerdasannya membuat Imam Ali r.a. dapat menguasai
dengan sempurna ilmu Tilawatil Qur'an. Ada kesepakatan di kalangan para
penyusun riwayat, bahwa di samping menguasai pengertian dan tafsir Al-Qur'an
secara baik, Imam Ali r.a. juga diakui sebagai seorang ahli ilmu Tilawah. Keahlian
dan kecakapannya di bidang ini sangat membantu usaha menghimpun ayat-ayat suci Al-Qur'an
di kemudian hari. Dalam pekerjaan yang maha besar itu sumbangan dan peranan Imam
Ali r.a. sangat menentukan keberhasilannya. Sebagaimana diketahui, setelah
Rasul Allah s.a.w. wafat, Abu Bakar Ash Shiddiq meneruskan kepemimpinan beliau
atas ummat Islam. Di kala itu terjadi peperangan-peperangan untuk menumpas kaum
pembangkang zakat dan gerakan kaum murtad, serta oknum-oknum petualang yang
mengaku diri sebagai "nabi". Dengan terjadinya konflik-konflik
tersebut para sahabat yang hafal ayat-ayat suci Al-Qur'an makin berkurang
jumlahnya karena banyak yang gugur di medan tempur. Terdorong oleh kekhawatiran
habisnya para sahabat yang hafal ayat-ayat Al-Qur'an, atas usul Umar Ibnul
Khattab r.a., Khalifah Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit supaya segera
mengkodifikasi wahyu suci. Tugas raksasa ini memerlukan ketekunan, kesabaran, ketelitian,
kecermatan dan kejujuran. Dalam pekerjaan mulia ini, Zaid bin Tsabit dimudahkan
antara lain oleh sumbangan Imam Ali r.a. yang tak ternilai besarnya. Jika
ditelusuri sejarah ilmu Tilawatil Qur'an, maka akan ditemukan kenyataan bahwa
para Imam dan para ahli Tilawah semuanya menimba ilmu dari sumbernya yang pertama,
yaitu Imam Ali r.a. Ambil saja sebagai misal, Abu Umar bin Al-A'laa, 'Ashim bin
Najd dan sebagainya. Mereka semua berasal dari perguruan Abu Abdurrahman
As-Sulamiy Al-Qari. Sedangkan Abu Abdurrahman ini tak lain adalah murid Imam
Ali r.a. sendiri, yang belajar langsung dari gurunya itu. Sebagai orang yang
hidup taqwa dan menguasai Al-Qur'an baik lafadz maupun maknanya, Imam Ali r.a.
memandang Al-Qur'an sebagai satu-satunya juru selamat bagi manusia dalam
kehidupan dunia dan akhirat. Ketika menjelaskan pandangannya terhadap
Al-Qur'an, Imam Ali r.a. antara lain berkata: "Kalian wajib mengetahui,
bahwa Al-Qur'an itu adalah nasehat yang tak pernah palsu, pembimbing yang tak
pernah sesat, dan pembicara yang tak kenal dusta. Tiap orang yang duduk membaca
Al-Qur'an, ia pasti memperoleh tambahan atau pengurangan, yaitu tambahan hidayat
atau pengurangan ketidak-tahuan. Ketahuilah bahwa tidak ada yang lebih unggul
dan lebih tinggi bagi seseorang daripada Al-Qur'an." "Oleh karena itu
sembuhkanlah penyakit kalian dengan Al-Qur'an, dan dengan Al-Qur'an mohonlah
pertolongan kepada Allah untuk mengatasi kesukaran kalian. Dalam Al-Qur'an terdapat
obat penyembuh bagi penyakit yang paling parah, yaitu penyakit kufur,
kemunafikan dan kesesatan. Mohonlah kepada Allah dengan Al-Qur'an dan dengan mencintai
Al-Qur'an hadapkanlah diri kalian ke hadirat-Nya. Janganlah dengan Al-Qur'an
kalian meminta sesuatu kepada makhluk Allah. Semua hamba Allah tidak dapat
menghadapkan diri kepada-Nya melalui sesama makhluk. "Dan ketahuilah, bahwa
Al-Qur'an adalah pemberi syafa'at yang benar-benar dapat diharapkan. Juga
merupakan pembicara terpercaya. Barang siapa memperoleh syafa'at dari Al-Qur'an
pada hari kiyamat, berarti ia memperoleh syafa'at yang sejati. Dan Barang siapa
yang dinilai buruk oleh Al-Qur'an, pada hari kiyamat ia tidak akan dipercaya.
Pada hari kiyamat akan terdengar suara berseru: 'Bukankah orang yang berbuat
akan diuji dengan perbuatannya sendiri dan akan diuji pula oleh akibat dari
perbuatannya itu, kecuali orang yang berbuat menurut ajaran Al- Qur'an?'…"
"Oleh sebab itu jadilah kalian orang-orang yang berbuat sesuai dengan
Al-Qur'an dan mengikuti ajaran-ajarannya. Jadikanlah Al-Qur'an sebagai
penasehat bagi diri kalian. Jadikanlah Al-Qur'an sebagai pembimbing fikiran dan
pendapat kalian, dan jadikanlah Al-Qur'an sebagai pencegah hawa nafsu!" Demikianlah
pandangan hidup seorang bapak ilmu Tilawatil Qur'an, Imam Ali bin Abi Thalib
r.a. Ilmunya menghayati pandangan hidupnya dan pandangan hidupnya mengarahkan
penerapan ilmunya. Dan itulah yang menjadi hakekat dasar ilmu Tilawatil Qur'an.
Tarikat Ilmu Tarikat pun tidak lepas kaitannya dengan Imam Ali r.a. sebagai
sumber sejarahnya. Di kalangan para ahli Tarikat, Imam Ali r.a. diakui sebagai
tokoh puncaknya. Semua ilmu Tarikat, Hakikat dan Tashawuf bersumber pada
pemikiran-pemikiran Imam Ali r.a. Sebagai putera asuhan, sejak berusia 6 tahun,
Imam Ali r.a. selalu berada di dekat Rasul Allah s.a.w., hampir tak pernah
pisah. Sedangkan Rasul Allah s.a.w. sendiri pada saat menerima Ali bin Abi
Thalib dalam tanggung jawabnya, tengah mengalami satu proses yang luar biasa.
Dari segi kemanusiaannya, terutama kerohaniannya, beliau sedang diproses oleh
Al-Khaliq untuk diangkat menjadi Nabi dan Rasul. Pada saat itulah Muhammad
s.a.w. melakukan kontemplasi (tafakur), perenungan dan dialog dalam fikiran
batin. Beliau melakukan penyepian (khalwat) di bukit-bukit dan gua-gua sekitar
kota Makkah. Suatu proses yang berlangsung hebat sekali dalam hati nurani
beliau. Dengan prihatin dan jiwa yang bersih disertai pula dengan pandangan
batin yang tajam beliau menyaksikan ketidak-benaran dan ketimpangan-ketimpangan
tata kehidupan masyarakat dan keagamaan yang dihayati oleh masyarakat jahiliyah
masa itu. Hatinya terketuk melihat kerusakan-kerusakan dan dekadensi yang
menimpa kehidupan masyarakat. Tetapi kalau hanya menyalah-nyalahkan atau
mencela saja tidak akan mendatangkan kebaikan bagi masyarakat yang sedang sesat
dan bobrok itu. Alternatif lain, penggantinya, harus ada. Semuanya itu
berkecamuk dalam hati beliau s.a.w. Sejak usia dini beliau sudah kritis dalam
memandang kehidupan lingkungannya. Sejak kecil beliau belum pernah hanyut
terbawa oleh arus adat, kebiasaan dan kepercayaan jahiliyah. Imam Ali r.a.
menyaksikan sendiri saudara pengasuhnya itu menempuh cara hidup keduniawian dan
kerohanian yang sangat jauh berbeda dari kebiasaan umum yang lazim berlaku pada
masa itu. Dengan kepatuhan seorang anak yang ditanggapi secara tepat oleh
seorang dewasa, terjadilah suatu jalinan perpaduan antara Ali bin Abi Thalib
dengan Muhammad s.a.w. dalam periode beliau sedang menghadapi proses
pengangkatannya sebagai Nabi dan Rasul pembawa kebenaran Allah s.w.t. Tak ada
bagian-bagian proses itu yang lewat dari penyaksian Imam Ali bin Abi Thalib. Ia
selalu mengikuti ke mana saja saudara pengasuhnya itu pergi dan memperhatikan benar-benar
apa saja yang dilakukan oleh beliau s.a.w. Ia mencontoh gaya hidup jasmani dan rohani,
termasuk cara-cara beribadah sebelum kenabian beliau. Suara yang berupa ajaran
dan wejangan Rasul Allah s.a.w. dan cahaya kebenaran Allah s.w.t. yang
menerangi jiwa beliau diserap oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Hakekat kebenaran
Allah 'Azza wa Jalla yang ditemukan dan difahami oleh saudara pengasuhnya
selama prosesnya yang bertahun-tahun itu, diikuti, diterima dan dihayati oleh
Ali bin Abi Thalib r.a. Itulah antara lain yang memperkuat dasar mengapa Imam
Ali r.a. berhak menyandang gelar sebagai Bapak ilmu Tarikat, Hakekat, atau
Tashawuf. Mengenai ilmu di bidang ini, tokoh-tokoh terkemuka kaum Tarikat
seperti Asy Syibliy, Al- Junaid, Al-Asyariy, Abu Yazid Al-Bistamiy, Abu Mahfudz
yang terkenal dengan nama Al-Khurqiy, dan lain sebagainya, semua mengakui Imam
Ali r.a. sebagai tokoh puncak mereka. Cara dan gaya hidup Rasul Allah s.a.w.,
mulai dari yang sekecil-kecilnya sampai yang sebesarbesarnya, hampir seluruhnya
dijadikan tauladan oleh Imam Ali r.a. Oleh karena itulah ia bukan saja hidup
sebagai seorang ilmuwan yang mencakup banyak bidang, melainkan juga seorang yang
hidup penuh taqwa dan menempuh cara hidup zuhud. Ia tidak risau atau
terpengaruh oleh kesenangan-kesenangan duniawi. Bahkan sampai menjadi Khalifah
pun cara hidup yang seperti itu dipertahankan sebagai sesuatu yang sudah
manunggal dengan keimanan dan ketaqwaannya kepada Allah Rabbul'alamin. Al-Kahfi
Penulis kitab Fadha'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah (jilid II, halaman
291-300), mengetengahkan suatu riwayat yang dikutip dari kitab Qishashul
Anbiya. Riwayat tersebut berkaitan dengan tafsir ayat 10 Surah Al-Kahfi, yang
terjemahannya sebagai berikut: "Ingatlah ketika pemuda-pemuda itu mencari
tempat berlindung di dalam gua, kemudian mereka berdoa: "Wahai Allah,
Tuhan kami, berilah rahmat kepada kami dari sisi-Mu…" Dengan panjang lebar
kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut: Di
kala Umar Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah dating
kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah:
"Hai Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan
sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada
anda. Jika anda dapat member jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti
bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi.
Sebaliknya, jika anda tidak dapat member jawaban, berarti bahwa agama Islam itu
bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi." "Silahkan bertanya tentang
apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar. "Jelaskan kepada
kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta
itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami
tentang suatu makhluk yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia
bukan manusia dan bukan jin! Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk
yang dapat berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak
dilahirkan dari kandungan ibu atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa
yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah
yang dikatakan oleh ayam jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang
dikatakan oleh kuda di saat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh
katak di waktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat
ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia
sedang berkicau?" Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berfikir sejenak,
kemudian berkata: "Bagi Umar, jika ia menjawab 'tidak tahu' atas
pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu
hal yang memalukan!'' Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu,
pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil
berkata: "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi,
dan agama Islam itu adalah bathil!" Salman Al-Farisi yang saat itu hadir,
segera bangkit dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian
tunggu sebentar!" Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib.
Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama
Islam!" Imam Ali r.a. bingung, lalu bertanya: "Mengapa?" Salman
kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul
Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan
lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun
dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal
Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!" Setelah
berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali
bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang apa saja yang
kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan
tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang ilmu!" Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian,
yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian
sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama
kami dan beriman!"
"Ya baik!" jawab mereka. "Sekarang
tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib. Mereka mulai
bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu
langit?" "Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib,
"ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun
wanita, jika ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke
hadhirat Allah!" Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci
apakah yang dapat membuka pintu-pintu langit?" Ali bin Abi Thalib
menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada tuhan selain
Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!" Para pendeta Yahudi itu saling
pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu benar juga!"
Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami tentang adanya
sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!" "Kuburan itu
ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin
Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling ketujuh samudera!" Pendeta-pendeta
itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk yang
dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan manusia dan
bukan jin!" Ali bin Abi Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut
Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud alaihimas salam. Semut itu berkata kepada
kaumnya: "Hai para semut, masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar
tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak
sadar!" Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya:
"Beritahukan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas
permukaan bumi, tetapi tidak satu pun di antara makhlukmakhluk itu yang
dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!" Ali bin Abi Thalib
menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta
Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang
menjelma menjadi seekor ular)." Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi
itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta penjelasan yang diberikan oleh Imam
Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah
dan Muhammad adalah Rasul Allah!" Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun
berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai Ali, hati
teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama seperti iman dan
keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang
ingin kutanyakan kepada anda." "Tanyakanlah apa saja yang kau
inginkan," sahut Imam Ali. "Coba terangkan kepadaku tentang sejumlah
orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan
kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat tentang mereka itu?" Tanya pendeta
tadi. Ali bin Ali Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah
para penghuni gua. Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah
s.w.t. kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka
itu." Pendeta Yahudi itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar
tentang Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan
nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka,
nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari
awal sampai akhir!" Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya,
menekuk lutut ke depan perut, lalu ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke
pinggang. Lalu ia berkata: "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah
s.a.w. kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri
Romawi, di sebuah kota bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi
nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam
datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di
dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang
baik. Setelah raja itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh
seorang raja Persia bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak
dan dzalim. Ia datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan
akhirnya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan,
lalu dibangunlah sebuah Istana." Baru sampai di situ, pendeta Yahudi yang
bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika engkau benar-benar tahu, coba
terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan: "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun
istana yang sangat megah, terbuat dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (=
kl 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu
buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampulampu yang berjumlah seribu buah,
juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada
rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan
sejenis minyak yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang
cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga
matahari sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan
lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat
dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa
tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas
kepala." Sampai di situ pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil
berkata: "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari
apakah mahkota itu dibuat?" "Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali
menerangkan, "mahkota raja itu terbuat dari kepingankepingan emas, berkaki
9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana
bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan,
terdiri dari anak-anak para hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera
berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya
dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi
tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain
mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak anak para cendekiawan,
untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantupembantunya. Raja tidak mengambil
suatu keputusan apa pun tanpa berunding lehih dulu dengan mereka. Enam orang
pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah
kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri." Pendeta yang
bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan
itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja
itu!" Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad
Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di
sebelah kanan raja, masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan
Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri,
masing-masing bernama Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan
mereka mengenai segala urusan. Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi
istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang
pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi
wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga.
Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung
ini kemudian mengeluarkan suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala
yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu
ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis
dipercikkan ke semua tempat sekitarnya. Kemudian si pembawa burung tadi
mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas
piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di dalamnya, burung itu
mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian murni yang ada dalam piala
itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa burung itu memberi isyarat
suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil
membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja. Demikianlah
raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing
kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim.
Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui
adanya Allah s.w.t. Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari
rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan
berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau
tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh sebab itu
semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang
patuh kepada raja itu, sampai ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja
dan menyembah Allah s.w.t. Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang
duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah
seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam
wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja.
Demikian sedih dan bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang
sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting
dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan -- seorang
cerdas yang bernama Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran.
Ia berfikir, lalu berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar
tuhan sebagaimana menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur,
tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat
Tuhan." Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan
di tempat salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah
giliran Tamlikha menerima kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di
rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan
dan minum. Teman-temannya bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau
makan dan tidak mau minum?" "Teman-teman," sahut Tamlikha,
"hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan
dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur." Teman-temannya mengejar:
"Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?" "Sudah lama aku
memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan. "Aku lalu
bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap
yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang
yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di
langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang
bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan
menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung
raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali
memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang mengeluarkan aku sebagai bayi dari
perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku?
Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…" Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata:
"Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti yang ada di
dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita
semua!" "Saudara-saudara," jawab Tamlikha, "baik aku maupun
kalian tidak menemukan akal selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim
itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan bumi!" "Kami setuju dengan
pendapatmu," sahut teman-temannya. Tamlikha lalu berdiri, terus beranjak
pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat uang sebanyak 3
dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat
berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya. Setelah berjalan 3
mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
"Saudarasaudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar." Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki
sejauh 7 farsakh, sampai kaki mereka bengkak berdarah karena tidak biasa
berjalan kaki sejauh itu. Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut
mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya: "Hai penggembala, apakah
engkau mempunyai air minum atau susu?" "Aku mempunyai semua yang
kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi kulihat wajah kalian
semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu pasti melarikan diri.
Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian itu!" "Ah…,
susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?" "Ya," jawab penggembala itu. Tamlikha dan
teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di
sini. Aku hendak mengembalikan kambingkambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku
akan segera kembali lagi kepada kalian." Tamlikha bersama teman-temannya
berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing
gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi berjalan kaki, diikuti oleh
seekor anjing miliknya." Waktu cerita Imam Ali sampai di situ, pendeta
Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata: "Hai Ali, jika
engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah
namanya?" "Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib
memberitahukan, "kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan
kepadaku, bahwa anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan bernama Qithmir. Ketika
enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu. Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas
dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan
jelas sekali: "Hai orangorang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal
aku ini bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya.
Biarlah aku menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku
mendekatkan diriku kepada Allah s.w.t." Anjing itu akhirnya dibiarkan
saja. Mereka lalu pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit.
Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua." Pendeta Yahudi yang menanyakan
kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata: "Apakah nama
gunung itu dan apakah nama gua itu?!" Imam Ali menjelaskan: "Gunung
itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau di sebut juga dengan
nama Kheram!" Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di
depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali.
Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di tempat itu. Setelah
tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang
sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki
depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah s.w.t. memerintahkan Malaikat
maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah
s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik tubuh mereka dari kanan ke
kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada saat terbit condong
memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada saat hampir
terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri. Suatu ketika
waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang pembantunya.
Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar.
Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang
pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia
melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring
di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu
benar-benar sedang tidur. Kepada para pengikutnya ia berkata: "Kalau aku
hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari
perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua.
Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka segera datang ke mari!" Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu." Dalam guha tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa yang amat panjang itu lampau, Allah
s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada saat matahari sudah mulai
memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan baru bangun dari tidurnya
masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya: "Malam tadi kami
lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mataair!" Setelah mereka
berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mataair itu sudah mengering kembali dan
pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah s.w.t. membuat
mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya: "Siapakah di antara
kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk bisa
niendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati
benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan lemak-babi." Tamlikha
kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk mendapatkan
makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku
ini!" Setelah Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke
kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah
dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat
pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan:
"Tiada Tuhan selain Allah dan Isa adalah Roh Allah." Tamlikha
berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata seorang
diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama memandang dan
mengamatamati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya
banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum
pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja
roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?" "Aphesus,"
sahut penjual roti itu.
"Siapakah nama raja kalian?" tanya
Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab penjual roti. "Kalau yang
kaukatakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh aneh
sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!" Melihat uang itu,
penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman
lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat. Pendeta Yahudi yang
bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi Thalib: "Hai
Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai
uang lama itu dibanding dengan uang baru!" Imam Ali menerangkan:
"Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa uang
yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama
dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!" Imam Ali kemudian melanjutkan
ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha: "Aduhai, alangkah
beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu
kepadaku! Kalau tidak, engkau akan kuhadapkan kepada raja!" "Aku
tidak menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini kudapat
tiga hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah
Diqyanius!" Penjual roti itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah
engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu
kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebutnyebut seorang raja durhaka yang
mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun
yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?" Tamlikha
lalu ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini
seorangyang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang
yang membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?" "Dia
menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya. Kepada
Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s.
memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu.
Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan
selamat." Tamlikha menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak
menemukan harta karun! Aku adalah penduduk kota ini!" Raja bertanya sambil
keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?" "Ya. Benar,"
sahut Tamlikha. "Adakah orang yang kau kenal?" tanya raja lagi. "Ya,
ada," jawab Tamlikha. "Coba sebutkan siapa namanya," perintah
raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu
nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan.
Mereka berkata: "Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman
kita sekarang. Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?" "Ya,
tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!" Raja
kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka
diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di
sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah
rumahku!" Pintu rumah itu lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang
sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian
putih dan mengkerut hampir menutupi mata karena sudah terlampau tua. Ia
terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada orang-orang yang datang: "Kalian
ada perlu apa?" Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang
muda ini mengaku rumah ini adalah rumahnya!" Orang tua itu marah,
memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya: "Siapa
namamu?" "Aku Tamlikha anak Filistin!" Orang tua itu lalu
berkata: "Coba ulangi lagi!" Tamlikha menyebut lagi namanya.
Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap:
"Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang di antara orangorang yang
melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya
dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta
langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah memberitahukan kisah mereka
kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan hidup kembali!" Peristiwa
yang terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan menunggang
kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang berada di rumah
orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh
raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai
menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya: "Hai Tamlikha,
bagaimana keadaan temantemanmu?" Kepada mereka Tamlikha memberi tahu,
bahwa semua temannya masih berada di dalam gua. "Pada masa itu kota
Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana. Seorang beragama Islam dan
seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang bangsawan itu bersama
pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian
Imam Ali melanjutkan ceritanya. Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di
dalam gua itu. Setibanya dekat gua, Tamlikha berkata kepada dua orang bangsawan
dan para pengikut mereka: "Aku khawatir kalau sampai teman-temanku
mendengar suara tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka pasti menduga
Diqyanius datang dan mereka bakal mati semua. Oleh karena itu kalian berhenti saja
di sini. Biarlah aku sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!" Semua
berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat
Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya
kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata: "Puji dan syukur bagi Allah
yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!" Tamlikha menukas:
"Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian
tinggal di sini?" "Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,"
jawab mereka. "Tidak!" sangkal Tamlikha. "Kalian sudah tinggal
di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi
generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada
Allah yang Maha Agung! Mereka sekarang datang untuk bertemu dengan kalian!"
Teman-teman Tamlikha menyahut: "Hai Tamlikha, apakah engkau hendak
menjadikan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?" "Lantas
apa yang kalian inginkan?" Tamlikha balik bertanya. "Angkatlah
tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat seperti itu juga," jawab
mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa:
"Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami tentang
keanehan-keanehan yang kami alami sekarang ini, cabutlah kembali nyawa kami
tanpa sepengetahuan orang lain!" Allah s.w.t. mengabulkan permohonan
mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka.
Kemudian Allah s.w.t. melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang bangsawan
yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari
untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak dapat ditemukan lubang
atau jalan masuk lainnya ke dalam gua. Pada saat itu dua orang bangsawan tadi
menjadi yakin tentang betapa hebatnya kekuasaan Allah s.w.t. Dua orang
bangsawan itu memandang semua peristiwa yang dialami oleh para penghuni gua,
sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka. Bangsawan yang
beragama Islam lalu berkata: "Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku!
Akan kudirikan sebuah tempat ibadah di pintu guha
itu." Sedang bangsawan yang beragama Nasrani berkata pula: "Mereka
mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan kudirikan sebuah biara di pintu gua
itu." Dua orang bangsawan itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian
senjata, akhirnya bangsawan Nasrani terkalahkan oleh bangsawan yang beragama
Islam. Dengan terjadinya peristiwa tersebut, maka Allah berfirman, yang
artinya: "Orang-orang yang telah memenangkan urusan mereka berkata: 'Kami
hendak mendirikan sebuah rumah peribadatan di atas mereka'…" (S. Al Kahfi:
21).
Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti
menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu: "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam
kisah mereka. Demi Allah, sekarang aku hendak bertanya kepadamu, apakah semua
yang kuceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat
kalian?" Pendeta Yahudi itu menjawab: "Ya Abal Hasan, engkau tidak
menambah dan tidak mengurangi, walau satu huruf pun! Sekarang engkau jangan
menyebut diriku sebagai orang Yahudi, sebab aku telah bersaksi bahwa tiada
tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku
pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan ummat
ini!" Demikianlah hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi),
kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul
Khamsah Minas Shihahis Sittah, tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz
Aabaad, dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali
bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w. Penanggalan Hijriyah Selain ilmu
pengetahuan yang mencakup berbagai bidang, Imam Ali r.a. juga banyak melahirkan
prakarsa-prakarsa yang dipersembahkan kepada kepentingan kaum muslimin dan kejayaan
Islam. Ada satu prakarsanya yang tak mungkin dapat dilupakan sepanjang sejarah
oleh seluruh generasi ummat Islam sampai hari akhir kelak. Meskipun hampir tiap
hari hasil prakarsa itu dimanfaatkan oleh kaum muslimin, tetapi banyak di
antara mereka sendiri yang belum mengetahui, bahwa yang dimanfaatkannya itu
berasal dari Imam Ali r.a. Yaitu penanggalan Hijriyah. Dalam kitab Tarikh yang
ditulis oleh At-Thabariy disajikan sebuah riwayat yang berasal dari Sa'id bin
Al-Mushib, yang menyatakan, bahwa pada satu hari Khalifah Umar Ibnul Khattab mengumpulkan
sejumlah pemuka kaum muslimin untuk merundingkan masalah penanggalan Islam.
Kaum muslimin dan Khalifah Umar r.a. berpendapat tentang perlunya diadakan penanggalan
tersendiri, agar kaum muslimin tidak lagi mengikuti penanggalan kaum Nasrani dan
Yahudi. Betapa tragisnya kalau kaum muslimin yang sudah dewasa itu masih juga mempergunakan
penanggalan Ahlul Kitab. Tetapi keinginan yang baik itu terbentur pada jalan buntu
karena tidak berhasil menemukan kapan penanggalan Islam itu harus dimulai. Di
saat mereka sedang menghadapi kesukaran itu datanglah Imam Ali r.a. Bukan main gembiranya
Khalifah Umar r.a. melihat Imam Ali r.a. datang. Segera saja disambut, kemudian
kepadanya diajukan pertanyaan tentang bagaimana sebaiknya penanggalan Islam itu
dimulai.
Tanpa banyak fikir lagi Imam Ali r.a. menjawab:
"Tetapkan saja mulai hari hijrahnya Rasul Allah s.a.w., yaitu hari beliau
meninggalkan tanah syirik!" Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang cepat dan
tepat itu Khalifah Umar r.a. dengan serta merta memeluk Imam Ali r.a. diiringi
oleh gegap gempitanya sambutan gembira kaum muslimin yang hadir. Khalifah Umar
r.a. menerima sepenuhnya pendapat Imam Ali r.a. tersebut, dan mulai hari itu
jugalah ditetapkan berlakunya penanggalan Hijriyah bagi kaum muslimin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar