BENIH-BENIH PEPERANGAN SAUDARA
Tidak berapa lama sesudah Imam Ali r.a.
mengucapkan amanatnya yang pertama, muncullah persoalan baru. Waktu itu hanyak
orang sedang berkerumun untuk menerima pembagian harta ghanimah dari Baitul Mal. Kepada seorang jurutulis, Ubaidillah bin Abi
Rafi', Amirul Mukminin memerintahkan supaya pembagian dimulai dari kaum Muhajirin, dengan
masing-masing diberi 3 dinar. Kemudian menyusul kaum Anshar. Semuanya mendapat jumlah
yang sama, yaitu 3 dinar. Waktu itu, seorang bernama Sahl bin Hanif
bertanya: apakah dua budaknya yang baru dimerdekakan hari itu, juga akan menerima jumlah
yang sama? Dengan tegas Imam Ali r.a. mengatakan, bahwa semua orang menerima hak yang
sama yaitu 3 dinar. Ketika pembagian ghanimah berlangsung, beberapa
orang tokoh penting tidak hadir. Di antara yang tidak hadir itu ialah Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Al-'Awwam, Abdullah bin Umar, Said bin Al-Ash. Perobahan Drastis Beberapa waktu setelah pembagian ghanimah
dilaksanakan, timbullah ketegangan antara Imam Ali r.a. dengan sekelompok orang-orang Qureiys.
Peristiwanya terjadi di masjid Madinah, sehabis shalat subuh. Selesai mengimami shalat,
Amirul Mukminin duduk seorang diri. Kemudian ia didekati oleh Al-Walid bin Uqbah bin
Abi Mu'aith. Atas nama teman-temannya (termasuk yang tidak
hadir pada saat pembagian ghanimah) ia mengatakan kepada Imam Ali: "Ya Abal Hasan
(nama panggilan Imam Ali ra.), hati kami semua sudah pernah anda sakiti. Tentang aku sendiri,
ayahku telah anda tewaskan dalam perang Badr, tetapi aku tetap dapat bersabar. Lalu dalam
peristiwa lain, anda tidak mau menolong saudaraku. Tentaug Sa'id, dalam perang Badr juga
ayahnya telah anda tewaskan. Sedang mengenai Marwan, anda juga pernah menghina
ayahnya di depan Khalifah Utsman bin Affan, yaitu ketika Marwan diangkat sebagai
pembantunya." Setelah berhenti sejenak untuk mengubah gaya
duduknya, Al-Walid melanjutkan: "Mereka itu semuanya adalah kaum kerabat anda sendiri dan di
antara mereka itu bahkan terdapat beberapa orang terkemuka dari Bani Abdi Manaf.
Sekarang kami telah membai'at anda, tetapi kami mengajukan syarat. Yaitu agar anda tetap
memberikan kepada kami jumlah pembagian ghanimah yang selama ini sudah diberikan oleh
Khalifah Utsman kepada kami." Setelah berfikir sejenak, Al Walid meneruskan:
"Selain itu, anda harus dapat menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang telah membunuh
Utsman bin Affan. Ketahuilah, jika kami ini merasa takut kepada anda, tentu anda sudah kami
tinggalkan dan kami bergabung dengan Muawiyah di Syam." Kalimat yang terakhir ini jelas merupakan
intimidasi politik yang dapat dikaitkan dengan rencana gelap Muawiyah bin Abi Sofyan di Syam. Tanpa ragu-ragu Imam Ali r.a. secara terus terang
menjawab intimidasi politik Al-Walid itu. Ia berkata: "Tentang tindakan-tindakan yang
kalian sebut sebagai menyakiti hati kalian, sebenarnya kebenaran Allah-lah yang menyakiti
hati kalian. Tentang jumlah pembagian harta yang selama ini kalian terima dari Khalifah
Utsman, kutegaskan, bahwa aku tidak akan mengurangi atau menambah hak yang telah
ditetapkan Allah bagi kalian dan bagi orang-orang lain. Adapun mengenai keinginan kalian supaya aku
menjatuhkan hukuman mati kepada orang yang membunuh Utsman, jika aku memang wajib
membunuhnya, tentu sudah kubunuh sejak kemarin-kemarin. Jika kalian takut kepadaku,
akulah yang akan menjamin keselamatan kalian. Tetapi jika aku yang takut kepada kalian, kalian
akan kusuruh pergi!" Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang begitu
tegas, Al-Walid beranjak meninggalkan tempat, kemudian mendekati teman-temannya yang sedang
bergerombol di sudut lain dalam masjid. Kepada mereka Al-Walid menyampaikan apa yang baru
didengarnya sendiri dari Amirul Mukminin. Tampaknya mereka tidak mempunyai
persamaan pendapat tentang bagaimana cara menunjukkan sikap menentang Imam Ali r.a. dan
bagaimana cara menyebarkan rasa permusuhan terhadapnya. Perbedaan pendapat di
antara kelompok Al-Walid itu didengar oleh Ammar bin Yasir, yang kemudian
segera menyampaikannya kepada teman-temannya. Ammar mengajak beberapa orang
temannya untuk menentukan tindakan sendiri terhadap kelompok Al-Walid, guna membuktikan kesetiaannya kepada Imam Ali r.a.
Akan tetapi setelah dipertimbangkan masakmasak, akhirnya mereka berpendapat lebih baik melaporkan
kejadian itu kepada Amirul Mukminin. Bersama-sama dengan Abul Haitsam, Abu
Ayub bin Hanif dan beberapa orang lainnya lagi, Ammar bin Yasir mendatangi Imam Ali r.a. Setelah
melaporkan apa yang didengarnya, ia mendorong agar Imam Ali r.a. cepat bertindak
untuk memperkokoh kepemimpinannya. Kata Ammar kepada Imam Ali r.a. "Marahilah kaum anda itu. Mereka itu ialah
orang-orang Qureiys yang telah menciderai janji setia kepada anda. Secara diam-diam mereka
membisikkan supaya kami melawan anda. Mereka tidak menyukai anda, hanya karena anda
menjalankan kebijaksanaan sesuai dengan tauladan yang telah diberikan Rasul Allah s.a.w. Mereka
merasa kehilangan sesuatu yang selama ini dirasakan enak dan menguntungkan mereka. Pada
saat anda memperlakukan mereka sama dengan orang-orang lain, mereka menentang.
Kemudian mereka mengadakan hubunganhubungan dengan musuh-musuhmu dan memuji-mujinya. Secara
terang-terangan mereka telah mengambil sikap yang berlainan dengan orang
banyak. Mereka ikut-ikut menuntut balas atas kematian Utsman bin Affan. Mereka bersekongkol
dengan orang-orang sesat. Sekarang bagaimana sikap anda?" Mendengar apa yang dikatakan Ammar dan
kawan-kawannya, Imam Ali r.a. langsung keluar menuju masjid. Dengan menyandang pedang dan
bertongkat busur, ia naik ke mimbar menghadapi orang banyak yang sedang berkumpul.
Setelah mengucap syukur atas nikmat yang dilimpahkan Allah s.w.t., Amirul Mukminin
memperingatkan kepada semua yang hadir, bahwa nikmat yang diterima oleh manusia dari Al Khalik
sekaligus juga merupakan ujian: apakah kita bersyukur atau berkufur. Barang siapa bersyukur, kata Imam Ali r.a., akan
memperoleh tambahan nikmat lebih banyak lagi. Sedang siapa yang berkufur, ia pasti akan
mendapat siksa berat. Orang yang paling mulia di sisi Allah dan yang terdekat hubungannya
dengan Dia, ialah orang yang paling taqwa dan patuh kepada perintah dan larangan-Nya, yang
paling setia kepada-Nya, yang paling ikhlas mengikuti Sunnah Rasul-Nya dan yang paling teguh
melaksanakan Kitab-Nya. Di antara kita, kata Imam Ali r.a. seterusnya,
tidak ada orang yang memperoleh kelebihan dan keutamaan, kecuali mereka yang paling taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Untuk memperkuat kata-katanya itu Imam Ali r.a.
memperingatkan hadirin kepada bunyi Surah Al-Hujurat ayat 13, yang artinya: "Hai
manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita, kemudian
menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku88 suku agar kamu saling kenal mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah, ialah orang yang paling bertaqwa di
antara kamu." Selanjutnya dengan nada keras Amirul Mukminin
memperingatkan kelompok-kelompok kaum Muhajirin dan Anshar yang sudah tergiur oleh
harta kekayaan dan kesenangan-kesenangan duniawi lainnya. Ia menegaskan, bahwa masalah
pembagian harta ghanimah, kepada seorang tidak akan diberikan lebih banyak dari yang lain.
Dikatakannya juga: "Allah telah mengizinkan harta tersebut dibagi-bagi. Harta itu adalah
milik Allah, sedang kalian adalah hamba-hamba- Nya yang berserah diri kepada-Nya." Seusai menjelaskan prinsip kebijaksanaannya,
Amirul Mukminin memerintahkan Ammar bin Yasir dan Abdurrahrnan bin Hazal Al-Qureysiy
supaya memanggil Thalhah dan Zubair yang waktu itu duduk agak jauh. Sambil memandang tajam
kepada kedua orang tersebut, setelah berada dekatnya, Imam Ali r.a. berkata:
"Katakan terus terang, bukankah kalian telah membai'atku dan berjanji setia kepadaku? Bukankah
kalian telah minta kepadaku agar aku bersedia dibai'at, padahal waktu itu aku sendiri
tidak berminat?" "Ya, benar," jawab kedua orang itu. "Benarkah waktu itu kalian tidak dipaksa
oleh siapa pun? Bukankah dengan pernyataan bai'at kalian itu, kalian telah menyatakan janji setia
dan taat kepadaku?" tanya Imam Ali r.a. lagi. "Ya, benar," jawab kedua orang itu
pula. "Lantas, sesudah semuanya itu apakah yang
membuat kalian sampai bersikap seperti yang kuketahui itu?" tanya Imam Ali r.a. lagi
untuk mendapat jawaban pasti. "Kami membai'atmu dengan syarat," jawab
kedua orang itu. "Bahwa anda tidak akan mengambil keputusan atau tindakan tanpa persetujuan kami,
dan anda akan selalu mengajak kami bermusyawarah, serta tidak akan memaksakan
sesuatu kepada kami. Sebab sebagaimana anda ketahui, kami ini mempunyai kelebihan dibanding
dengan orang lain. Tetapi anda melaksanakan pembagian harta ghanimah berdasarkan
keputusan sendiri tanpa bermusyawarah dan tanpa sepengetahuan kami." "Kalian sebenarnya dendam karena soal yang
amat kecil dan mengharapkan sesuatu yang sangat besar," kata Amirul Mukminin sambil menekan
perasaan, menanggapi jawaban Thalhah dan Zubair tadi. "Mohonlah pengampunan kepada
Allah, Dia akan mengampuni kalian! Bukankah dengan ucapan itu kalian bermaksud hendak
mengatakan, bahwa aku ini telah menghapus hak kalian dan aku berlaku dzalim terhadap kalian
mengenai hal itu? Apakah aku meremehkan atau menutup muka terhadap hukum atau terhadap sesuatu
yang sudah menjadi hak kaum
muslimin?" "Na'udzubillah," sela Thalhah dan
Zubair. "Lantas, apa sebab kalian tidak menyukai
perintahku dan mempunyai pendirian lain?" tanya Imam Ali r.a. pula sebelum meneruskan
penjelasannya. "Kami tidak sependapat dengan anda,"
ujar kedua orang itu, "karena anda tidak melaksanakan pembagian seperti yang telah dilakukan oleh
Utsman bin Affan.Hak kami anda samakan saja dengan hak orang lain. Kami ini anda sama-ratakan
dengan orangorang yang tidak seperti kami, sedang kami ini adalah orang-orang yang sudah
berjuang dengan pedang, tombak dan senjatasenjata lainnya. Kami telah berjuang sampai da'wah
risalah berhasil ditegakkan dan dimenangkan. Kami telah berhasil pula menundukkan
mereka yang tidak menyukai Islam…" Demikian tangkisan dua orang itu, terhadap
desakan pertanyaan bertubi-tubi yang diajukan Imam Ali r.a. Dengan tidak menanggapi secara
langsung pembicaraan tentang jasa-jasa mereka, Imam Ali r.a. berkata lebih jauh: "Setelah kepemimpinan itu kuterima, aku
selalu berpegang dan tidak pernah berpaling dari Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kujalankan dan
kuikuti apa saja yang ditunjukkan oleh kedua-duanya. Apa yang sudah ditunjukkan oleh
Allah dan Rasul-Nya, aku tidak memerlukan pendapat kalian. Jika ada masalah hukum yang
tidak kutemui penjelasannya, baik di dalam Kitab Allah maupun dalam Sunnah Rasul-Nya, dan
hal itu memang perlu dimusyawarahkan, kalian tentu kuajak bermusyawarah. "Tentang pembagian harta ghanimah secara
merata, bukan aku yang mula-mula menetapkan hukumnya. Aku dan kalian berdua sama-sama
menyaksikan bahwa Rasul Allah s.a.w. sendirilah yang menetapkannya. Kitab Allah juga menyebutkan
hal itu, yaitu Kitab Suci yang tidak mengandung kebatilan sedikitpun, baik secara
terang maupun samar. "Adapun pernyataan kalian yang mengatakan
kalian berhak menerima pembagian lebih banyak dari orang lain, karena kalian telah berjuang
dengan pedang dan tombak, ketahuilah…, bahwa sebelum kalian sudah ada orang-orang yang memeluk
Islam lebih dahulu. Mereka pun berjuang membela Islam dengan pedang dan tombak. Walaupun
demikian, Rasul Allah s.a.w. tidak memberi kepada mereka jumlah yang lebih banyak
daripada orang lain. Rasul Allah s.a.w. tidak memberi keistimewaan kepada mereka hanya karena
memeluk Islam lebih dini. Allah sendirilah pada hari kiyamat kelak akan melimpahkan pahala
kepada mereka." Penjelasan Imam Ali r.a. yang dramatis itu
didengarkan oleh semua yang berada di dalam masjid. Mengakhiri penjelasannya, Imam Ali r.a.
berkata: "Kalian berdua dan juga orang lain, dari aku tidak akan memperoleh lebih dari yang
sudah menjadi hak masing-masing. Semoga Allah s.w.t. berkenan membuka hatiku dan hati
kalian untuk dapat menerima kebenaran. Semoga pula Ia melimpahkan kesabaran kepadaku dan
kepada kalian. Allah akan memberikan rahmat-Nya kepada setiap orang yang setelah
mengetahui kebenaran lalu bersedia membelanya, dan yang setelah mengetahui
kedzaliman lalu bersedia menolaknya…" Dialog tersebut kami kutip dari tulisan salah
seorang tokoh kaum Mu'tazilah, Abu Ja'far Al- Iskafiy, yang berasal dari Bagdad. Dalam
tanggapannya, Al-Iskafiy mengungkapkan, bahwa pembagian harta ghanimah yang dilakukan oleh Imam
Ali r.a. itu sama seperti yang dahulu dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar r.a. Al-Iskafiy
bertanya: Mengapa Thalhah dan kawankawannya itu dulu tidak pernah menolak? Perbedaan apakah
yang mereka tentang sekarang ini? Al-Iskafiy kemudian menjawab pertanyaan sendiri: "Apa yang dulu dilakukan oleh Abu Bakar r.a.
sepenuhnya sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh Rasul Allah s.a.w. semasa
hidupnya. Tetapi pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab, ia melaksanakan pembagian yang berbeda.
Yaitu memberi kepada segolongan orang lebih banyak daripada yang diberikan kepada
golongan lain. Dengan demikian mereka yang menerima lebih banyak itu menjadi terbiasa
dimanjakan, sampai lupa kepada cara pembagian sebelumnya. "Masa pemerintahan Umar r.a. relatif lama,
sehingga fikiran orang-orang itu cukup terpengaruh oleh kesenangan akan harta yang mendatangkan
kenikmatan duniawi. Sementara itu orang lain yang menerima lebih sedikit, menjadi terbiasa
pula menerima apa adanya. Tidak ada di antara dua golongan itu yang menduga bakal
dikembalikannya sistim pembagian seperti yang dulu dilakukan oleh Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar
r.a. Pada masa pemerintahan Khalifah Utsman bin Affan, ia melaksanakan sistim pembagian sama
seperti yang dilaksanakan Khalifah Umar.
Oleh karena itu kaum muslimin bertambah yakin
tentang benarnya sistim pembagian yang dilaksanakan oleh Umar dan Utsman r.a. "Dengan mengembalikan sistim pembagian
seperti yang berlaku pada masa Rasul Allah s.a.w. dan Abu Bakar, sama artinya Imam Ali telah
menghapuskan sistim pembagian yang dilakukan Khalifah Umar dan Khalifah Utsman. Sebagaimanan
diketahui, kurun waktu yang memisahkan antara kekhalifahan Abu Bakar dan kekhalifahan
Ali bin Abi Thalib ialah 22 tahun. Jadi hampir satu generasi! Itulah sebabnya mengapa perubahan
drastis yang dilakukan oleh Imam Ali r.a. sangat menyentak hati mereka yang sudah terbiasa
menerima pembagian lebih banyak selama 22 tahun."
Masalah pembagian harta ghanimah tersebut,
ternyata telah mencuramkan jurang pertentangan antara Imam Ali r.a. di satu fihak
dengan Thalhah Zubair dan kawan-kawannya di fihak lain. Perselisihan mengenai hal itu
kemudian berkembang menjadi pertentangan politik, sehingga meningkat sedemikian rupa tajamnya,
sampai membahayakan keutuhan persatuan ummat Islam. Terutama setelah perselisihan itu
ditunggangi oleh Muawiyah bin Abu Sufvan dari Syam, yang berhasil mengalihkan persoalan dari
masalah sistim pembagian harta ghanimah, menjadi menuntut balas atas kematian Khalifah
Utsman r.a. Pertentangan terbuka Kehidupan kenegaraan dan tata kemasyarakatan yang
ditinggalkan Khalifah Utsman bin Affan r.a. memang berada dalam situasi dan kondisi yang
tidak menguntungkan Imam Ali r.a. sebagai Khalifah. Sejak sebelum dibai'at Imam Ali r.a.
sudah membayangkan adanya kesulitan-kesulitan besar yang bakal dihadapi. Berbagai macam
problema sosial, politik dan ekonomi ternyata muncul dalam waktu yang bersamaan. Langkah pertama untuk membenahi keadaan yang
serba tak mantap, tentu saja memulihkan ketertiban, khususnya di ibukota, Madinah. Ribuan
kaum pemberontak yang bertebaran di ibukota berhasil dihimbau dan dijinakkan sampai
mereka berhasil dipulihkan kembali ke dalam kehidupan normal. Bagi Imam Ali r.a. tidak ada
kemungkinan untuk bertindak terhadap ribuan kaum pemberontak yang telah mengakibatkan
terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Bertindak terhadap mereka, berarti menyulut api perang
saudara. Bagi Imam Ali r.a. memang tidak ada pilihan lain
yang lebih baik. Daripada bermusuhan dengan kaum muslimin yang menuntut terlaksananya
kebenaran dan keadilan, lebih baik berhadap hadapan dengan tokoh-tokoh Bani Umayyah, betapa
pun besarnya resiko yang akan dipikul. Dan ternyata, tidak bertindaknya Imam Ali r.a.
terhadap kaum mulimin yang memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a., dijadikan alasan
dan dalih oleh lawan-lawan politiknya untuk menggerakan kekuatan oposisi dan perlawanan.
Kemungkinan itu pun telah diperhitungkan oleh Imam Ali r.a.
Ada lagi tindakan dan langkah Imam Ali r.a: yang
sangat menjengkelkan lawan-lawan politiknya. Yaitu tindakan menertibkan aparatur
pemerintahan. Penguasa-penguasa daerah yang selama 6 tahun terakhir masa pemerintahan
Khalifah Utsman r.a. terbukti telah menyalah-gunakan wewenang untuk kepentingan
pribadi dan golongan, digeser seorang demi seorang. Banyak pejabat tinggi yang tidak dipakai
lagi. Di antara mereka ialah Marwan bin Al Hakam, seorang pembantu Khalifah Utsman r.a. yang
sangat dominan kekuasaannya, yang
kemudian lari meninggalkan Madinah. Juga Abdullah
bin Abi Sarah digeser dari kedudukkannya sebagai penguasa daerah Mesir. Imam Ali r.a. juga
berniat hendak mengganti penguasa daerah Syam yang berpengaruh itu, Muawiyah bin Abi
Sufyan. Sebelum bertindak melaksanakan penertiban, Imam
Ali r.a. telah mengadakan pertukaran pendapat dengan para pemuka kaum Muhajirin dan
Anshar. Ia yakin, bahwa hanya dengan aparatur yang bersih dan sepenuhnya mengabdi
kepentingan agama dan ummat saja, pemerintahnya akan dapat berjalan dengan lancar
dan kebenaran serta keadilan dapat ditegakkan. Imam Ali r.a. tidak tanggung-tanggung
dalam bertindak menjalankan penertiban. Siapa saja yang terbukti tidak mengabdikan
amalnya kepada agama Allah dan ummat Islam, digeser tanpa tawar-menawar. Satu persatu
tokoh-tokoh yang tidak atau kurang jujur tersingkir tanpa diberi kesempatan sedikit pun untuk membela
diri. Tetapi ada seorang tokoh dan pejabat teras yang
pantang menyerah. Ia adalah Muawiyah bin Abi Sufyan, yang dalam waktu relatif panjang
menjadi seorang penguasa di daerah Syam. Ia bukan hanya membangkang, bahkan menentang kekhalifahan
Imam Ali r.a. secara terangterangan. Sejak mendengar Imam Ali r.a. terbai'at sebagai
Amirul Mukminin, Muawiyah telah memasang kuda-kuda untuk menjegal kepemimpinan Imam Ali
r.a. Apa yang disiapkan oleh Muawiyah bukannya tidak dimengerti oleh Amirul Mukminin,
dan justru itulah motivasinya hendak menggeser Muawiyah.
Banyak sahabat Imam Ali r.a. yang mengemukakan
kekhawatiran bila Imam Ali r.a. melaksanakan niatnya. Mereka menasehatkan agar
Imam Ali r.a. tidak cepat-cepat mengambil tindakan terhadap Muawiyah. Mereka mengatakan:
"Kami yakin Muawiyah tidak akan tinggal diam bila dia disingkirkan dari kedudukannya.
Sebaliknya, ada kemungkinan ia merasa cukup puas jika sementara dibiarkan memegang jabatan
itu." Tetapi Imam Ali r.a. sebagai seorang pemimpin
yang selalu bersikap prinsipal, tak mau mundur sejengkal pun. Ia menegaskan pendiriannya:
"Aku tidak dapat lagi memakai Muawiyah, sekalipun hanya untuk dua hari! Aku tidak akan
mempergunakannya dalam tugas apa pun juga. Bahkan ia tidak akan kuperbolehkan menghadiri
peristiwa upacara penting. Ia juga tidak akan mendapat kedudukan dalam pasukan muslimin!" Pendirian Imam Ali r.a. sudah tidak dapat ditawar
lagi, Keputusan diambil: mengganti Muawiyah dengan Sahl bin Hunaif, seorang dari
kaum Anshar. Tindakan yang diambil Imam Ali r.a. ini mengawali
pertentangan terbuka dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada waktu Sahl bin Hunaif tiba di
Damsyik, Muawiyah secara terang-terangan menolaknya. Malahan ia berani memerintahkan agar
Sahl cepat kembali ke Madinah. Peristiwa ini membuat para sahabat Imam Ali r.a. bertambah
khawatir. Penolakan dan pembangkangan Muawiyah ternyata
sama sekali tidak menggetarkan fikiran Imam Ali r.a. Ia berpegang teguh pada firman
Allah yang menegaskan, bahwa tiap muslim wajib taat kepada Waliyyul Amri (pemegang kekuasaan)
selama Waliyyul Amri tidak berlaku durhaka terhadap Allah dan Rasul-Nya. Bagi Imam Ali r.a.,
perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya adalah di atas segala-galanya. Untuk melaksanakan dan membela perintah Allah dan
ajaran Rasul-Nya ia tidak menghitung untung rugi. Di saat banyak sekali orang yang
merasa gelisah, ia tetap tenang menghadapi pembangkangan Muawiyah. Ia mengirim utusan ke
Damsyik, membawa surat perintah, agar seterimanya surat itu Muawiyah datang ke Madinah
untuk menyatakan bai'atnya kepada Amirul Mukminin. Kampanye keji Menyadari kekuatannya sendiri, Muawiyah tidak
gugup menerima surat perintah Amirul Mukminin. Selesai dibaca, dengan sengaja surat
itu dibiarkan begitu saja. Utusan Imam Ali r.a. dibiarkan menunggu sampai tidak tentu batas
waktunya. Tiga bulan kemudian barulah Muawiyah membalas surat Imam Ali r.a.
Seorang dari Bani 'Absy diperintahkan berangkat
membawa surat jawaban untuk Imam Ali r.a. di Madinah. Untuk memperlihatkan sikapnya yang
tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Khalifah dan Amirul Mukminin, pada sampul surat
jawaban itu ditulis: "Dari Muawiyah bin Abi Sufyan kepada Ali bin Abi Thalib." Sebelum utusan itu berangkat ke Madinah, Muawiyah
berpesan agar setibanya di kota tujuan, sampul surat itu diperlihatkan dulu kepada orang
banyak, sebagai pemberitahuan bahwa ia tidak mengakui Imam Ali r.a. sebagai Amirul
Mukminin. Pesan Muawiyah itu dilaksanakan sebagaimana
mestinya oleh orang dari Bani 'Absy. Secara demonstratif sampul surat Muawiyah diperlihatkan
kepada orang banyak. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi akibat pembangkangan
Muawiyah. Orang beramai-ramai mengikuti perjalanan kurir itu menuju ke tempat kediaman
Imam Ali r.a. Mereka juga ingin tahu apa sesungguhnya isi surat tersebut. Kedatangan kurir
Muawiyah disambut dengan tenang oleh Imam Ali r.a. Setelah dibuka, ternyata dalam
sampul itu hanya terdapat secarik kertas yangbertuliskan "Bismillaahhir Rahamanir
Rahim". "Apa maksud ini?" tanya Amirul Mukminin
kepada kurir dengan heran. "Selain ini apakah ada berita lain?" Setelah didesak beberapa kali, akhirnya kurir
mengatakan, bahwa ia ingin memperoleh jaminan atas keamanan dan keselamatannya lebih dulu,
sebelum memberikan keterangan. Permintaan itu dikabulkan oleh Amirul Mukminin. Setelah itu barulah kurir menceritakan apa yang
sedang terjadi di Syam. Katanya: "Penduduk Syam telah bersepakat hendak menuntut balas atas
kematian Utsman bin Affan… Mereka telah mengeluarkan jubah Khalifah Utsman yang
berlumuran darah dan jari isterinya, Na'ilah, yang terpotong pada saat berusaha menahan ayunan
pedang. Semuanya itu dipertontonkan kepada penduduk Syam. Melihat kenyataan ini penduduk di
sana menangisi kematian Khalifah Utsman sambil mengelilingi jubahnya." Dari keterangan kurir itu dapatlah ditarik
kesimpulan, bahwa atas usaha Muawiyah, penduduk Syam sekarang telah menuduh Imam Ali r.a. sebagai
pelaku makar terhadap Khalifah Utsman r.a. dan mereka tidak akan membiarkan peristiwa
terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Apa yang dikatakan kurir Muawiyah benar-benar membangkitkan
kemarahan semua orang yang hadir. Hanya karena kebijaksanaan Imam Ali r.a.
saja kurir itu terjamin keselamatannya. Orang-orang Madinah sangat gusar mendengar fitnah
yang dilancarkan Muawiyah terhadap Amirul Mukminin. Lebih-lebih mereka yang dulu
memberontak terhadap Khalifah Utsman r.a. Semua yang dilakukan Muawiyah di Damsyik
merupakan muslihat politik yang dirajut bersama seorang penasehatnya yang terkenal kaya dengan
tipu-daya: Amr bin Al-Ash. Sejak Imam Ali r.a. terbai'at sebagai Khalifah, dua sejoli itu
telah bertekad hendak menempuh segala cara guna menggagalkan usaha Imam Ali r.a. memantapkan
kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Sebab Muawiyah yakin benar, bahwa Imam Ali r.a.
tidak akan memberi kesempatan sedikit pun kepadanya untuk terus berkuasa di daerah. Untuk
mencapai tujuan itu diperlukan satu dalih yang dapat menjatuhkan martabat Imam Ali r.a. Guna keperluan itu Muawiyah dengan sengaja
mendatangkan jubah Khalifah Utsman r.a. dan kepingan-kepingan jari Na'ilah dari Madinah ke
Damsyik. Hanya sekedar untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Jubah Khalifah yang
berlumuran darah itu digantungkan dalam masjid
Damsyik, sebagai bukti kematian Khalifah yang
sangat mengerikan. Sedangkan kepingankepingan jari Na'ilah, isteri Khalifah Utsman r.a.,
diletakkan dekat jubah sebagai saksi bisu. Bersamaan dengan itu dikampanyekan secara
besar-besaran kepada penduduk, bahwa orang yang membunuh Khalifah Utsman r.a. bukan lain
hanyalah Imam Ali r.a. sendiri! Muslihat politik yang dijalankan oleh Muawiyah dan Amr bin Al-Ash
itu ternyata berhasil mengelabui fikiran penduduk yang tidak memahami seluk beluk politik.
Dengan cepat Syam dilanda suasana anti Imam Ali r.a. Ini merupakan awal persiapan
pemberontakan bersenjata yang tak lama lagi akan dicetuskan Muawiyah. Untuk menanggulangi fitnah sekeji itu, Imam Ali
r.a. segera mengambil langkah-langkah seperlunya. Ia segera mengumpulkan kaum Muhajirin
dan Anshar. Diantara mereka itu hadir dua orang tokoh terkemuka yang sedang beroposisi,
yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Al-'Awwam. Setelah menjelaskan kegiatan fitnah
yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. mengemukakan gagasan untuk mencegah
meluasnya fitnah yang berbahaya itu. Gagasan yang dikemukakan Imam Ali r.a. ternyata
mendapat sambutan dingin. Bahkan Thalhah dan Zubair, yang merupakan tokoh-tokoh terdini
membai'at Imam Ali r.a., dengan alasan hendak berangkat umrah ke Makkah, menyatakan tak
dapat memenuhi ajakan Imam Ali r.a. Persiapan Thalhah & Zubair Penolakan terselubung yang dikemukakan Thalhah
dan Zubair ternyata mempunyai ekor yang panjang dan tambah merawankan kedudukan Imam Ali
r.a. sebagai Amirul Mukminin. Sejak terbai'atnya Imam Ali r.a. kini kota Makkah
menjadi tempat berkumpulnya tokoh-tokoh yang terkena tindakan penertiban Amirul Mukminin,
terutama mereka yang berasal dari kalangan Bani Umayyah. Di antara mereka termasuk
Marwan bin Al-Hakam yang cepat-cepat meninggalkan Madinah. Kini Thalhah dan Zubair
berangkat pula ke Makkah. Ketika itu, Sitti Aisyah r.a. juga berada di
Makkah setelah menunaikan ibadah haji. Beberapa waktu sesudah terbunuhnya Khalifah Utsman ia
mendengar desas-desus, bahwa Thalhah bin Ubaidillah terbai'at sebagai Khalifah pengganti
Utsman r.a. Mendengar selentingan itu ia segera mengambil putusan untuk cepat-cepat kembali ke
Madinah.Tetapi di tengah perjalanan, ia menerima kabar pasti, bahwa yang terbai'at
sebagai Khalifah bukannya Thalhah, melainkan Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu mendengar kepastian
demikian; ia membatalkan rencana pulang ke Madinah. Ia kembali ke Makkah. Hatinya sangat
masgul mendengar berita itu. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa sejak
terjadinya peristiwa yang dalam sejarah dikenal dengan nama Haditsul ifk, Sitti Aisyah sukar
berbaik-baik kembali dengan Imam Ali r.a. Peristiwa itu terjadi ketika Rasul Allah s.a.w.
melancarkan ekspedisi terhadap kaum kafir dari Banu Musthaliq. Dalam ekspedisi itu beliau
mengajak isterinya, Sitti Aisyah. Dalam perjalanan pulang ke Madinah, Sitti Aisyah ketinggalan dari
rombongan, gara-gara mencari barang perhiasannya yang hilang di perjalanan. Untunglah ketika itu ia dijumpai oleh Shafwan bin
Mu'atthal, yang berangkat pulang lebih belakangan. Bukan main terkejutnya Shafwan
melihat Ummul Mukminin seorang diri di tengahtengah padang pasir. Isteri Rasul Allah s.a.w. itu
dipersilakan naik ke atas unta, sedangkan Shafwan sendiri berjalan kaki sambil menuntun.
Siang hari mereka berdua baru memasuki kota Madinah dengan disaksikan oleh orang banyak.
Semuanya heran mengapa Ummul Mukminin mengendarai unta seorang pemuda yang tampan itu. Mengenai kejadian itu Rasul Allah s.a.w. pada
mulanya tidak pernah berfikir lebih jauh. Akan tetapi secara diam-diam peristiwa itu menjadi
pembicaraan orang ramai dan menjadi buah bibir yang dibisik-bisikkan orang dalam tiap
kesempatan. Sumber utama yang menyiarkan desas-desus tuduhan Sitti Aisyah berbuat serong
ialah seorang munafik bernama Abdullah bin Ubaiy. Desas-desus itu akhirnya sampai ke telinga
Rasul Allah s.a.w. Berita santer tentang hal itu sangat menggelisahkan hati beliau. Kemudian
beliau minta pendapat para sahabat mengenai hal itu. Konon Usamah bin Zaid sama sekali tidak dapat
mempercayai benarnya desas-desus itu. Sedang Imam Ali r.a. waktu itu mengatakan: Ya Rasul
Allah, masih banyak wanita lain! Imam Ali r.a. mengucapkan kata-kata itu hanya sekedar untuk
berusaha menenangkan perasaan Rasul Allah s.a.w. yang tampak gelisah. Ucapan itulah yang kemudian menjadi sebab
retaknya hubungan baik antara Sitti Aisyah dengan Imam Ali r.a. Ucapan tersebut oleh Sitti Aisyah
r.a. dirasakan sangat menusuk hati, sedang Imam Ali r.a. sendiri selama itu tidak pernah
berubah sikap terhadap Sitti Aisyah r.a. Ia senantiasa hormat kepada Ummul Mukminin.
Lebih-lebih setelah peristiwa Ifk itu terselesaikan dengan tuntas berdasarkan turunnya firman Allah
s.w.t. yang menegaskan, bahwa Sitti Aisyah bersih dari perbuatan nista seperti yang
dituduhkan orang. Gara-gara Haditsul Ifk itulah, Sitti Aisyah r.a.
sangat kecewa mendengar Ali bin Abi Thalib r.a. dibai'at sebagai Khalifah oleh penduduk Madinah.
Setibanya di Makkah ia berniat hendak menentang pembai'atan Ali bin Abi Thalib r.a. Ia
berkata: "Utsman mati terbunuh secara madzlum. Oleh karena itu adalah kewajiban kaum
muslimin untuk menuntut balas atas kematiannya." Menurut Ummul Mukminin itu, Khalifah pengganti
Utsman r.a. harus dilakukan pembai'atannya dalam suasana tertib dan damai. Ini sama artinya
dengan mengatakan, bahwa Imam Ali r.a. dipilih hanya oleh kaum pemberontak yang telah
membunuh Khalifah. Pendirian Sitti Aisyah ini lebih diperkuat lagi
oleh kedatangan Thalhah dan Zubair. Dua orang itu di Makkah mengadakan kampanye menentang
pembai'atan Imam Ali r.a. Pada mulanya banyak orang bertanya-tanya tentang pendirian
aneh kedua orang itu. Bukankah mereka telah menyatakan bai'atnya kepada Imam Ali r.a.? Tanda-tanya
di hati orang-orang itu mereka jawab dengan mengatakan, bahwa bai'atnya dilakukan
karena terpaksa. Dipaksa oleh kekuatan bersenjata kaum pemberontak. Bagaimana pun juga kini di Makkah telah tersusun
kekuatan penentang Imam Ali r.a. Kekuatan ini makin hari makin bertambah. Mereka bertekad
hendak memaksa Imam Ali r.a. melepaskan kekhalifahannya. Dengan bantuan bekas-bekas
pejabat yang terkena penggeseran dan penertiban; dengan dukungan orang-orang Qureiys
yang masih menyimpan rasa sakit hati; di perkuat lagi oleh kehadiran Ummul Mukminin,
sekarang Thalhah dan Zubair berhasil mengorganisasi pasukan bersenjata kurang lebih
berkekuatan 3.000 orang. Kekuatan anti Imam Ali r.a. ini mempunyai tujuan
ganda: menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan menggulingkan Imam Ali
r.a. dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin. Mereka berpendirian, setelah dua tujuan
itu tercapai barulah diadakan pemilihan Khalifah baru dalam suasana bebas dari tekanan
dan paksaan. Dua tantangan besar yang sedang dihadapi Imam Ali
r.a. mewarnai kehidupan kaum muslimin pada tahun empat-puluhan Hijriyah. Damsyik dan
Makkah menuduh Imam Ali r.a. sebagai orang yang setidak-tidaknya ikut bertanggungjawab atas
terbunuhnya Khalifah Utsman r.a. Dalam periode itu praktis ummat Islam terpecah dalam
tiga kelompok besar:
1. Kelompok Madinah di bawah pimpinan Imam Ali
r.a.
2. Kelompok Damsyik di bawah pimpinan Muawiyah
bin Abi Sufyan.
3. Kelompok Makkah di bawah pimpinan trio
Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a.
Masing-masing kelompok ditunjang oleh kekuatan
bersenjata yang cukup tangguh danberpengalaman. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Islam,
terjadi satu krisis politik sangat gawat yang mengarah kepada peperangan besar antara sesama
kaum muslimin. Inilah gejala nyata dari apa yang pernah dikemukakan Rasul Allah s.a.w. semasa
hidupnya, bahwa pada satu ketika akan terjadi fitnah besar di kalangan ummatnya,
laksana datangnya malam gelap-gulita yang berlangsung dari awal sampai akhir.
Dalam menghadapi kelompok Madinah, tampaknya seakan-akan
kelompok Damsyik berdiri di belakang kelompok Makkah. Mengenai hal ini kitab
Ali wa'Ashruhu, halaman 970-971, mengemukakan sebuah fakta sejarah. Fakta itu
berupa sepucuk surat Muawiyah yang dikirimkan kepada Zubair melalui seorang dari
Bani 'Amir. Dalam surat itu Muawiyah antara lain menulis:
"Bismillaahir Rahmanir Rahim. Kepada hamba
Allah Zubair Amirul Mukminin, dari Muawiyah bin Abi Sufyan. Salamun' alaika, ammaa ba' du:
penduduk Syam telah kuajak bersama-sama membait'at anda. Mereka menyambut baik dan
semuanya taat. Begitu taatnya seperti ternak. Sekarang hanya tinggal Kufah dan Bashrah saja
yang belum anda dapatkan. Hendaknya anda jangan sampai kedahuluan Ali bin Abi Thalib.
Sesudah kedua kota itu berada di tangan anda, Ali tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Aku juga sudah
membai'at Thalhah bin Ubaidillah sebagai pengganti anda di kemudian hari. Oleh karena itu
hendaknya kalian supaya terang-terangan menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman, dan
kerahkanlah semua orang ke arah itu.
Kalian supaya sungguh-sungguh giat dan cepat
bergerak. Allah akan memenangkan kalian dan tidak akan membantu musuh-musuh kalian." Surat tersebut oleh Zubair diperlihatkan kepada
Thalhah, bahkan dengan dibacakan sekaligus. Tanpa disadari dua orang itu sudah masuk perangkap
Muawiyah. Dengan siasat itu Muawiyah hendak melemahkan posisi Imam Ali r.a. dan
menghabiskan kekuatan orang-orang lain yang mengincar kursi kekhalifahan. Ke Bashrah Untuk melaksanakan rencana kelompok
Makkah, yaitu menuntut balas atas kematian Khalifah Utsman r.a. dan
menggulingkan Imam Ali r.a. dari kedudukannya sebagai Khalifah, Thalhah, Zubair dan Sitti Aisyah r.a. berangkat ke
Bashrah. Pada saat Sitti Aisyah r.a. hendak berangkat, orang-orang mencarikan
seekor unta yang kuat guna mengangkut haudaj-nya Ya'laa bin Ummayyah
menyerahkan unta kepunyaannya yang sangat besar, bernama "Askar".
Sitti Aisyah r.a. kagum sekali melihat unta itu. Akan tetapi ketika serati
memanggil-manggil untanya dengan berulang-ulang menyebut "Askar", ia
mundur dan berkata kepada serati unta itu: "Kempalikan dia. Aku tidak
membutuhkan unta itu!" Sewaktu ditanya apakah sebabnya Ummul Mukminin
menyuruh unta "Askar" dikembalikan, Sitti Aisyah r.a. menjawab, bahwa
Rasul Allah s.a.w. pernah menyebut-nyebut nama unta itu dan ia dilarang
mengendarainya. Ummul Mukminin minta dicarikan unta lain. Orang tak berhasil mencarikan
unta seperti "Askar". Agar jangan diketahui oleh Ummul Mukminin,
bahwa unta yang akan dikendarainya adalah tetap unta
"Askar", maka jilal-nya "Askar" diganti dengan jilal lain, tanpa sepengetahuan Sitti A.isyah r.a.
Ummul Mukminin merasa puas dengan unta yang dikatakan bukan "Askar" itu. Sementara
itu Al-Asytar dari Madinah mengirim sepucuk surat kepada Sitti A.isyah r.a.
Tulis Al- Asytar: "Ibu adalah isteri Rasul A.llah s.a.w. Beliau telah
memerintahkan Ibu supaya tetap tinggal di rumah. Jika Ibu menuruti perintah
beliau, bagi Ibu itu lebib baik. Tetapi jika Ibutetap tidak mau selain hendak memegang pentung,
menanggalkan baju kerudung dan menampakkan kesucian diri di depan mata orang
banyak, Ibu akan kami perangi, sampai kami dapat memulangkan Ibu kembali ke rumah, tempat
yang sudah diridhoi Allah bagi Ibu." Sebagai jawaban atas surat Al-Asytar itu, Sitti
Aisyah r.a. menulis: "Engkau adalah orang Arab pertama yang melancarkan fitnah, menganjurkan
perpecahan dan membelakangi para Imam, yakni para Khalifah. Engkau mengerti bahwa dirimu
tidak akan dapat melemahkan Allah. Engkau akan menerima pembalasan dari Allah atas
perbuatanmu yang dzalim terhadap seorang Khalifah, yakni Utsman bin Affan. Suratmu sudah
kuterima dan aku sudah memahami apa yang ada di dalamnya. Allah sajalah yang akan
melindungi diriku dari perbuatanmu. Akan lumpuhlah semua orang yang sesat dan durhaka seperti engkau
itu, insyaa Allah!" Waktu perjalanan Sitti Aisyah r.a. sampai di
Hau'ab, yaitu tempat sumber air kepunyaan Bani Amir Sha'sha'ah, ia digonggong banyak anjing,
sampai unta yang dikendarainya lari kencang sukar dikendalikan. Waktu itu terdengarlah suara
orang berteriak: "Hai, tahukah kalian, betapa banyaknya anjing di Hau'ab ini dan alangkah keras
gonggongannya!" Mendengar teriakan itu, Sitti Aisyah r.a. menarik
tali kekang sekeras-kerasnya sambil berteriak kuat: "Itu anjing-anjing Hau'ab! Kembalikan
aku! Aku mendengar sendiri Rasul Allah pernah mengatakan...," ia menyebut apa yang pernah
dikatakan oleh Rasul Allah s.a.w. kepadanya. Saat itu Sitti Aisyah mendengar suara orang lain
mengatakan: "Pelan-pelan! Kita sudah melewati Hau'ab!" "Apakah ada saksi
yang membenarkan perkataanmu?" tanya Sitti Aisyah r.a. mengejar suara tadi.
Kemudian beberapa orang Badui yang menjadi pengawal meneriakkan sumpah, bahwa
benarbenar tempat itu sudah bukan Hau'ab lagi. Oleh karena itu Sitti Aisyah
r.a. lalu melanjutkan perjalanan. Ketika Sitti Aisyah r.a. tiba di Harf Abi
Musa, dekat Bashrah, penguasa daerah Bashrah yang diangkat oleh Khalifah Imam
Ali r.a., bernama Utsman bin Hanif, mengirim Abul Aswad Ad Dualiy guna menemui rombongan. Abul Aswad bertemu
dengan Sitti Aisyah r.a. dan menanyakan maksud perjalanannya. Kepada Abul
Aswad, Sitti Aisyah r.a. menjelaskan, bahwa ia datang untuk menuntut balas atas kematian
Khalifah Utsman bin Affan. Menanggapi keterangan Sitti Aisyah r.a. itu, Abul
Aswad mengatakan, bahwa di Bashrah tidak ada seorang pun yang ikut ambil bagian dalam
peristiwa pembunuhan Utsman bin Affan. Engkau benar, kata Sitti Aisyah r.a. menukas.
Tetapi ada orang-orang yang bersama-sama Ali bin Abi Thalib di Madinah. Aku datang untuk
mengerahkan penduduk Bashrah supaya bangkit memerangi dia. Kalau kami bisa marah karena
kalian dicambuk oleh Utsman, mengapa kami tak bisa marah terhadap mereka yang mengangkat pedang
terhadap Utsman? Menjawab pernyataan Sitti Aisyah r.a. tadi, Abul
Aswad berkata: Ibu adalah wanita pingitan Rasul Allah s.a.w. Beliau memerintahkan Ibu
supaya tetap tinggal di rumah dan membaca Kitab Allah. Tidak ada kewajiban perang bagi wanita.
Wanita juga tidak layak menuntut balas atas terbunuhnya seseorang. Bagi Utsman, Ali
sebenarnya lebih baik dari pada Ibu. Ia lebih dekat hubungan silaturahminya, karena dua-duanya
sama-sama putera keturunan Abdi Manaf. Sitti Aisyah r.a. tak memperdulikan kata-kata
Abul Aswad itu. Ia tetap menyatakan kebulatan tekadnya: Aku tidak akan pergi sebelum
melaksanakan maksudku. Hai Abul Aswad, tanya Sitti Aisyah r.a., apakah engkau mengira akan ada orang
di Bashrah ini yang hendak memerangi aku? Demi Allah, kata Abul Aswad, perang yang hendak
Ibu cetuskan itu akan sangat hebat. Waktu Abul Aswad beranjak hendak meninggalkan
tempat, datanglah Zubair bin Al-'Awwam. Kepadanya Abul Aswad berkata: "Hai Abu
Abdullah --nama panggilan Zubair-- banyak orang yang menyaksikan, waktu Abu Bakar dahulu dibai'at sebagai Khalifah engkau mengangkat pedangmu sambil berkata: "Tidak ada orang
yang lebih afdhal untuk memegang kepempimpinan ummat selain Ali bin Abi Thalib. Bagaimana
keadaanmu sekarang dengan pernyataanmu itu?" "Datanglah engkau menemui Thalhah dan
dengarkan sendiri apa yang dikatakan olehnya!" kata Zubair, menanggapi pertanyaan Abul Aswad tadi. Abul Aswad terus pergi menemui Thalhah. Dari
dialog yang berlangsung antara dia dengan Thalhah, Abul Aswad mengetahui, bahwa Thalhah
sudah bertekad bulat melancarkan pemberontakan bersenjata. Waktu Sitti Aisyah r.a. mendengar, bahwa pasukan
Imam Ali r.a. sudah tiba dekat Bashrah, dari jurusan lain, ia segera menulis surat kepada Zaid
bin Shuhan Al-Abdiy: "Dari Aisyah binti Abu Bakar Ash Shiddiq, isteri Nabi s.a.w., kepada
ananda yang setia Zaid bin Shuhan. Hendaknya engkau tetap tinggal di rumah. Cegahlah
orang-orang jangan sampai membantu Ali. Kuharap dapat segera menerima kabar tentang yang
kuinginkan darimu. Bagiku, engkau adalah seorang kerabat yang paling dapat dipercaya.
Wassalam." Menjawab surat Sitti Aisyah r.a. di atas, Zaid
bin Shuhan menulis: "Dari Zaid bin Shuhan kepada Aisyah binti Abu Bakar. Sesungguhnya Allah telah
memberi perintah kepada Ibu dan kepadaku.
Ibu diperintahkan supaya tetap tinggal di rumah,
dan aku diperintahkan supaya berjuang. Surat Ibu sudah kuterima. Ibu memerintahkan supaya aku
menjalankan sesuatu yang berlainan dari pada apa yang diperintahkan Allah kepadaku. Aku
akan berbuat seperti apa yang diperintahkan Allah kepadaku dan hendaknya Ibu pun berbuat
seperti yang diperintahkan Allah kepada Ibu. Perintah Ibu tidak dapat kupatuhi, dan surat Ibu
tidak akan terjawab lagi. Wassalam." Menurut Abu Bikrah, ketika Asy Syi'biy
menceritakan pengalamannya dalam perang "Jamal" (Unta) mengatakan, bahwa waktu Thalhah dan Zubair
datang menjumpai Sitti Aisyah, kulihat semua perintah dan larangan berada di tangannya.
Waktu itu aku segera teringat kepada sebuah hadits yang kudengar berasal dari Rasul
Allah s.a.w. yang mengatakan: "Sesuatu kaum tidak akan berhasil jika urusannya dipimpin oleh
seorang wanita."
Teringat itu aku cepat-cepat menjauhkan diri.
Dalam peperangan tersebut, unta yang bernama "Askar" (yang dikendarai Siti Aisyah
r.a.) merupakan lambang satu-satunya bagi pasukan Thalhah. Waktu pasukan Thalhah dan pasukan Imam
Ali r.a. masing-masing telah siaga untuk bertempur, Sitti Aisyah r.a.
mengucapkan pidato. Pidatonya juga ditujukan kepada pengikut-pengikut Imam Ali
r.a.: "…Kita telah bertekad hendak menuntut balas atas kematian Utsman
melalui jalan kekerasan. Ia adalah seorang Amirul Mukminin,
tempat bernaung dan tempat berlindung yang terbaik. Bukankah dulu kalian minta kepadanya
supaya ia bersedia memenuhi keinginan kalian? Hal itu sudah ia penuhi. Tetapi setelah kalian
memandangnya sebagai orang yang suci bersih
seperti baju yang baru dicuci, kemudian kalian
memusuhinya. Lantas kalian berdosa dengan menumpahkan darahnya secara haram. Demi Allah, ia
adalah orang yang jauh lebih bersih dan lebih bertaqwa kepada Allah dibanding
kalian…!" Hampir dalam waktu yang bersamaan, Imam Ali r.a.
selaku Amirul Mukminin, juga mengucapkan pidato, sambil memberi
instruksi-instruksi: "…Janganlah kalian memerangi mereka sebelum mereka menyerang lebih dulu.
Alhamdulillah, kalian berada di atas hujjah (alasan) yang benar. Kalian harus berhenti
memerangi mereka jika mereka mengajukan hujjah lain kepada kalian. Tetapi jika kalian terpaksa harus
berperang, janganlah kalian menganiaya orang-orang yang luka parah. "Jika kalian berhasil mengalahkan mereka,
janganlah kalian mengejar mereka dengan cara-cara yang licik. Janganlah membuka hal-hal yang
memalukan mereka dan janganlah sampai mencincang orang yang sudah tewas."
"Jika kalian tiba di tempat pemukiman
mereka, janganlah kalian melanggar kesopanan, janganlah kalian memasuki rumah, janganlah kalian
mengambil hak milik mereka walau sedikit, jangan sekali-sekali menggelisahkan dan
mengganggu wanita, walau mereka itu mencaci-maki kalian atau mencerca pemimpin-pemimpin dan
orang-orang shaleh yang ada di tengah-tengah kalian. Sebab mereka itu adalah manusia-manusia
yang lemah jasmani, jiwa dan fikiran. Kita semua telah diperintahkan Allah dan Rasul-Nya
supaya membiarkan kaum wanita, sekalipun mereka itu orang-orang musyrik. Jika sampai ada
lelaki yang memukul mereka dengan tongkat atau dengan pelepah kurma, lelaki itu sungguh
amat tercela dan akan menerima hukuman di kemudian hari…" Sebelum salah satu fihak
menyulut api peperangan, Ali bin Abi Thalib r.a. menulis sepucuk surat kepada
Thalhah dan Zubair. Isinya sebagai berikut: "Kalian maklum bahwa aku tidak pernah minta
dibai'at oleh mereka, tetapi mereka sendirilah yang membai'at diriku. Kalian berdua termasuk
orang-orang yang memilih dan membai'a't diriku. Orang tidak membai'at diriku untuk suatu
kekuasaan istimewa. Jika kalian membai'atkukarena terpaksa, aku mempunyai alasan untuk
bertindak terhadap kalian, sebab kalian berpura-pura taat, tetapi sebenarnya
menyembunyikan rasa permusuhan. Namun jika kalian membai'atku benar-benar karena taat, hendaklah
kalian segera kembali ke jalan Allah." "Hai Zubair, engkau dahulu adalah seorang
pasukan berkuda Rasul Allah s.a.w. dan pembela beliau. Dan engkau hai Thalhah, engkau adalah
salah seorang kami-tua kaum Muhajirin. Seandainya dulu kalian tidak mau membai'atku, itu
akan lebih mudah bagi kalian untuk keluar dari bai'at yang sudah kalian ikrarkan sendiri. "Kalian menuduh aku telah membunuh Utsman.
Padahal aku, kalian dan penduduk Madinah semua mengetahui apa yang sebenarnya telah
terjadi. Kalian menuduh aku melindungi para pembunuh Utsman. Padahal anak-anak Utsman sendiri
semuanya menyatakan taat kepadaku dan mengadukan orang-orang yang membunuh ayah
mereka kepadaku. Tetapi kalau ternyata Utsman memang mati terbunuh karena madzlum atau
dzalim, misalnya, lantas kalian berdua mau apa?! Kalian berdua telah mengikrarkan bai'at
kepadaku, tetapi sekarang kalian melakukan dua perbuatan yang amat tercela: menciderai bai'at
kalian sendiri dan menghasut Ummul Mukminin hingga meninggalkan rumah." Sedang kepada Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a.,
Imam Ali r.a. mengirim sepucuk surat. Isinya antara lain: "Bunda telah keluar meninggalkan rumah
dengan perasaan marah demi Allah dan Rasul-Nya. Bunda menuntut suatu persoalan yang bukan menjadi
urusan Bunda. Apa urusan kaum wanita dengan peperangan atau pertempuran? Bunda
menuntut balas atas kematian Utsman, demi Allah, orang-orang yang menghadapkan Bunda kepada
marabahaya serta menghasut Bunda supaya berbuat pelanggaran, jauh lebih besar
dosanya terhadap diri Bunda dibanding dengan pembunuh-pembunuh Utsman bin Affan. Aku tidak
marah jika Bunda tidak marah, dan aku tidak membuat kegoncangan jika Bunda tidak
membuat kegoncangan. Kuharap supaya Bunda tetap bertaqwa kepada Allah dan pulang kembali ke
rumah Bunda." Sebagai jawaban terhadap surat Imam Ali r.a.,
Thalhah dan Zubair menulis: "Engkau telah menempuh jalan seperti yang kau tempuh
sepeninggal Utsman sekarang ini; dan engkau tidak akan kembali lagi selama engkau merasa perlu
menempuh jalan yang sedang kautempuh. Jalankanlah apa yang menjadi kemauanmu. Engkau
tidak akan merasa puas selama kami belum taat, dan kami tidak akan taat kepadamu untuk
selama-lamanya. Lakukanlah apa saja yang hendak kau perbuat." Sedangkan Ummul Mukminin, Sitti Aisyah r.a. hanya
menulis jawaban singkat: "Persoalannya sudah jelas. Engkau tidak perlu menyalahkan lagi.
Wassalam." Perang Unta
Sekalipun sebenarnya peperangan sudah tak dapat
dihindarkan lagi, namun Imam Ali r.a. masih tetap berusaha untuk dapat mencegah berkobarnya
peperangan sesama muslimin. Ia teringat kenangan lama yang indah, ketika bersama Thalhah
dan Zubair berjuang bahu membahu menegakkan Islam di bawah pimpinan Rasul Allah
s.a.w. Imam Ali r.a. berusaha bertemu muka dengan dua
tokoh bekas sahabatnya, yang saat itu telah mengangkat senjata untuk menentangnya. Pada
pertemuan muka dengan Thalhah, Imam Ali r.a. berkata: "Sahabatku Thalhah! Engkau
menyimpan isterimu sendiri di rumahmu, tetapi engkau datang ke tempat ini membawa isteri Rasul
Allah s.a.w. Dengan mempergunakan diakah engkau berperang?" Pertanyaan Imam Ali r.a. ini nampaknya sangat
mengenai hati Thalhah. Ia tak bisa menjawabnya sama sekali dan hanya dapat
menundukkan kepala untuk kemudian pelan-pelan menarik diri dari barisan yang dipimpinnya. Ketika Marwan bin Al-Hakam melihat Thalhah
memisahkan diri dari pasukan dan meninggalkan medan pertempuran (ia tergabung dalam pasukan
Thalhah), segera mengikuti sambil berkata: "Demi Allah, aku tak akan melepaskan tekadku
untuk menebus darah Utsman. Aku tidak akan membiarkan dia (Thalhah) lolos. Akan kubunuh dia,
karena dia juga turut membunuh Utsman!" Beberapa saat kemudian ia membidikkan anak
panahnya ke arah Thalhah. Ketika anak panah itu lepas dari busurnya, lambung Thalhah menjadi
sasaran. Gugurlah salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. tertembus panah yang
dilepaskan oleh anggota pasukannya sendiri. Sementara itu ketika Imam Ali r.a. berhasil
bertemu muka dengan Zubair, ia bertanya: "Hai Abdullah, apakah yang mendorongmu sampai datang
ke tempat ini?" "Untuk menuntut balas atas kematian Utsman," jawab Zubair dengan terus terang. "Engkau menuntut balas atas kematian
Utsman?" tanya Imam Ali r.a. menanggapi jawaban Zubair tadi. "Allah mengutuk orang yang
membunuhnya! Hai Zubair, engkau kuingatkan. Ingatkah dahulu ketika engkau berjalan bersama
Rasul Allah s.a.w. waktu itu beliau bertopang pada tanganmu, melewati aku, kemudian beliau
tersenyum padaku, lalu menoleh kepadamu sambil berkata: "Hai Zubair, engkau kelak
akan memerangi Ali secara dzalim!" "Oh, ya," jawab Zubair, setelah
beberapa saat mengingat-ingat. "Mengapa engkau sekarang memerangi
aku?" tanya Imam Ali r.a. pula. "Demi Allah," sahut Zubair, "aku
lupa. Seandainya aku ingat aku tidak akan keluar untuk memerangimu."
Selesai mengucapkan kata-kata itu, Zubair
cepat-cepat keluar meninggalkan pasukan dengan air mata membasahi pipi. Tetapi malang bagi
Zubair. Salah seorang anggota pasukan Imam Ali yang bernama Ammar bin Jarmuz ketika melihat Zubair
terpisah dari pasukannya, segera diikuti dan kemudian dibunuh. Perang Unta, atau Waq'atul Jamal, antara sesama
kaum muslimin, sudah tak dapat dihindarkan lagi. Dalam tulisannya tentang Waq'atul Jamal,
Al-Madainiy dan Al-Waqidiy antara lain mengatakan, bahwa dua pasukan saling berhadapan,
pasukan Thalhah dan penduduk Bashrah, terus menerus dibakar semangatnya dengan
syair-syair agitasi. Mereka dikerahkan untuk pertempuran sengit melawan Imam Ali
r.a. dan pasukannya. Di tengah-tengah pertempuran sedang berlangsung
sengit, muncul Auf bin Qhatan Adh Dhabiy. Ia berteriak: "Tidak ada fihak yang harus
dituntut atas kematian Utsman selain Ali bin Abi Thalib dan anak-anaknya!" Sejalan dengan itu
ia menarik tali kekang unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. sambil bersyair: Hai ibu…, hai ibu, tanah air telah lepas dariku Aku tak ingin kuburan dan tak ingin kain kafan Disinilah medan laga bagi Auf bin Qhatan Jika Ali lepas dari tangan, matilah aku jika dua anaknya, Hasan dan Husein, lepas... Baiklah aku mati merintih bagaikan pahlawan! Dengan pedang teracung di tangan ia maju
menerjang. Belum sempat pedangnya menjatuhkan korban di fihak lawan, ia sendiri sudah
tersungkur terbelah setengah badan dan menggelepar bergumul dengan pasir. Tali kekang yang lepas
dari tangannya, segera diambil oleh Abdullah bin Abza. Ketika itu barang siapa yang
benar-benar berani bertempur sampai mati, ia pastimaju mendekati unta Sitti Aisyah r.a. dan
memegang tali kekangnya. Sambil mendendangkan syair Abdullah bin Abza tampil menghunus pedang
dan mulai menyerang pasukan Imam Ali r.a. Dengan syair juga ia menantang Imam Ali r.a. : Mereka kuserang, tetapi tak kulihat ayah si Hasan Aduhai....itu merupakan kesedihan di atas
kesedihan Mendengar tantangan Abdullah bin Abza, Imam Ali
r.a. segera keluar dari barisan untuk melakukan serangan dengan tombak. Beberapa saat
perang tanding berlangsung. Setelah beberapa kali ayunan pedang Abdullah bin Abza
gagal menyentuh tubuh Imam Ali r.a., tiba-tiba ujung tombak yang runcing mengkilat sudah
menancap di tengah-tengah dada Abdullah bin Abza. Ia jatuh tersungkur. Beberapa detik sebelum
Abdullah menarik nafas terakhir, Imam Ali r.a. menghampirinya sambil bertanya:
"Sudahkah engkau melihat ayah si Hasan? Bagaimana engkau lihat dia?" Habis mengucapkan
pertanyaan itu Imam Ali r.a. kembali ke pasukan. Sementara pasukan kedua belah fihak sedang
bergulat mengadu senjata, banyak kepala dan tangan berjatuhan terpisah dari batang tubuhnya,
Sitti Aisyah r.a. turun dari unta. Ia mengambil segenggam kerikil, lalu dicampakkan
kepada pengikut-pengikut Imam Ali r.a. seraya berteriak: "Hancurlah muka kalian!" Hal
semacam itu dilakukan Sitti Aisyah r.a., meniru perbuatan Rasul Allah s.a.w. dalam perang Hunain. Melihat peperangan semakin dahsyat, bersama regu pasukan
yang mengenakan serban hijau, terdiri dari kaum Muhajirin dan Anshar, Imam Ali
r.a. maju memimpin serangan. Ia diapit oleh tiga orang puteranya: Al Hasan, Al Husein dan
Muhammad Al Hanafiyah. Sebelum tampil sendiri memimpin serangan, Imam Ali r.a. bermaksud hendak
menguji ketangguhan puteranya yang bernama Muhammad Al Hanafiyah. Sambil menyerahkan
panji pasukan, Imam Ali r.a. berkata kepada puteranya itu: "Majulah dengan panji
ini dan pancangkanlah di depan mata unta itu! Jangan berhenti di tempat lain!" Baru saja Muhammad mengayunkan kaki beberapa
langkah, ia sudah dihujani anak-panah yang beterbangan dari arah lawan. Melihat itu, ia
memerintahkan regunya supaya berhenti sejenak: "Tunggu dulu, sampai mereka kehabisan
anak-panah!" Mengetahui hal itu, Imam Ali r.a. segera menyuruh
orang lain guna mendekati puteranya. Kepada orang yang disuruhnya itu, dipesan agar
mendorong Muhammad Al Hanafiyah maju terus melancarkan serangan terbuka dan
besar-besaran. Karena gerak Muhammad lamban, Imam Ali menghampirinya sendiri dari belakang.
Sambil menepukkan tangan kiri ke bahu puteranya, Ia membentak: "Hayo maju!" Meskipun sudah dibentak ayahnya agar maju terus,
namun Muhammad Al Hanafiyah masih juga lamban bergerak. Sebagai seorang ayah, Imam Ali
r.a. merasa kasihan. Kemudian panji yang di tangan puteranya diambil kembali dengan tangan
kiri, sedang pedang yang terkenal dengan nama "Dzul Fiqar" terhunus di tangan
kanannya. Tanpa membuang-buang waktu Imam Ali r.a. memimpin serbuan ke tengah pasukan
"Jamal". Setelah melakukan serangan beberapa saat lamanya, menangkis dan memukul musuh, Imam Ali
r.a. kembali ke induk pasukan. Sahabat101 sahabat dan putera-puteranya berkerumun. "Ya Amirul Mukminin," desak Al Asytar,
"cukuplah kami saja yang melaksanakan tugas itu!" Desakan Al Asytar itu tak ditanggapi oleh Imam
Ali r.a. Menoleh saja pun tidak, darahnya masih mendidih. Sedemikian meluapnya sampai semua orang
yang ada di sekitarnya ketakutan. Pandangan matanya yang berapi-api tetap mengarah
ke pasukan musuh. Tak lama kemudian ia menyerahkan kembali panji pasukan kepada
puteranya, Muhammad A1 Hanafiyah. Segera ia maju lagi menyerang musuh untuk kedua
kalinya. Dengan gagah berani Imam Ali r.a. menerjang pasukan lawan sambil memainkan pedang
dengan gesit dan cekatan. Anggotaanggota pasukan Thalhah yang menjadi sasaran serangannya
lari terbirit-birit menyelamatkan diri. Banyak yang mati terbunuh di ujung
pedangnya. Tanah menjadi merah dibasahi darah. Selesai melancarkan serangan kedua, Imam Ali r.a.
kembali lagi ke induk pasukan. "Kalau anda sampai gugur," puji
sahabatnya, setelah Imam Ali r.a. berada di tengah barisannya, "barangkali akan lenyap agama Islam.
Berhentilah, cukup kami saja yang menyerang dan bertempur!" "Demi Allah," jawab Imam Ali r.a. atas
pujian sahabat-sahabatnya itu. "Aku sangat tidak setuju dengan fikiran kalian. Yang kuinginkan bukan lain hanyalah keridhoan
Allah dan kampung akhirat!" Selanjutnya kepada Muhammad Al Hanafiyah ia
berkata: "Seperti akulah seharusnya engkau berbuat!" Muhammad Al Hanfiyah tidak menjawab sepatah kata
pun ucapan ayahnya itu. Dari orang-orang yang berkerumun di sekitar Imam Ali r.a.
terdengar sura bergumam: "Siapa orangnya yang sanggup berbuat seperti Amirul Mukminin!" Ketika sedang sengit-sengitnya pertempuran, unta
yang di kendarai Sitti Aisyah r.a. terputarputar sedemikian rupa seperti penggilingan gandum.
Pasukan kedua belah fihak berjubel dan saling mendesak beradu senjata di sekitarnya.
Unta sampai meringkik-ringkik keras sekali karena tali kekangnya ditarik ke sana ke mari. Pasukan Imam Ali r.a. makin maju menerjang untuk
lebih mendekat kepada unta. Gerakan pasukan Imam Ali r.a. terhambat tumpukan manusia
yang berada di sekelilingnya. Setiap anggota pasukan yang mati, penggantinya datang
berlipat ganda. Melihat situasi itu Imam Ali r.a. berteriak
memberi perintah: "Celakalah kalian! Tembak saja unta itu dengan panah! Bantailah unta celaka
itu!" Unta yang dikendarai Sitti Aisyah r.a. itu segera
dihujani anak-panah. Tetapi tak sebuah pun anak-panah yang menembus, karena di sekujur badannya
dipasang tijfaf. Semua anak panah menancap pada tijfaf sampai unta itu kelihatan
seperti seekor landak raksasa.
Terdengar lagi suara orang berteriak: "Hai
penuntut balas darah Utsman!" Yang berteriak ialah Al Azd dan Dhabbah. Kalimat itu diulang-ulang dan
akhirnya menjadi semboyan yang diteriakkan pasukan Thalhah. Semboyan pasukan Thalhah itu dijawab Imam Ali
r.a. dengan semboyan: "Hai Muhammad!" Nama putera Imam Ali r.a. yang memegang panji
pasukan. Pasukan Imam Ali r.a. segera mengikuti semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. Pasukan kedua belah fihak sekarang makin tambah
bergumul mengadu senjata. Peristiwa tersebut terjadi pada hari kedua perang
Unta. Semboyan yang diserukan Imam Ali r.a. ternyata besar sekali pengaruhnya di
kalangan pasukannya, sehingga mereka berhasil menggoyahkan sendi-sendi kekuatan lawan. Pasukan Thalhah makin payah menghadapi
tekanan-tekanan berat yang terus-menerus dilancarkan pasukan Imam Ali r.a. Namun demikian
mereka samasekali tidak berusaha melarikan diri atau meletakkan senjata. Pasukan
yang makin lama makin mengecil itu kemudian bergerak memusat di sekitar unta yang
ditunggangi Sitti Aisyah r.a. Mereka telah bertekad, pasukan Imam Ali r.a. baru akan
berhasil merebut Sitti Aisyah r.a. sesudah melewati mayat-mayat mereka. Perlawanan yang diberikan oleh pasukan Makkah dan
Bashrah itu sungguh dahsyat sekali. Nyawa, sudah tidak mereka pedulikan. Dengan
semangat berkobar-kobar penuh fanatisme mereka rela menghadapi maut. Demikian banyaknya
korban sehingga di sekitar unta yang besar itu bergelimpangan tumpuk-menumpuk manusia yang
luka dan mati. Padang pasir yang kering basah oleh darah dan bau anyir menyengat
hidung. Melihat keadaan yang mengerikan itu, Imam Ali
r.a. mengambil suatu keputusan cepat untuk merobohkan unta tersebut. Pelaksanaan keputusan
dipercayakan kepada Al Asytar dan Ammar. Kepada kedua orang sahabatnya itu, Imam Ali r.a.
memerintahkan: "Cepat bantai unta itu! Peperangan belum selesai, apinya masih berkobar.
Unta itulah yang dijadikan semacam kiblat oleh mereka!" Dua orang yang diperintah itu segera maju bersama
beberapa orang lainnya dari Bani Murad. Seorang di antaranya bernama Umar bin Abdullah.
Bersama Umar binAbdullah Al Muradiy mereka mendekati unta, lalu ponok dekat lehernya
dipukul dengan pedang oleh Al Muradiy. Unta itu meronta-ronta, meringkik keras-keras,
dan akhirnya rebah. Pendukung-pendukung Sitti Aisyah r.a. melihat
gelagat itu cepat lari menjauhkan diri. Imam Ali r.a. berteriak memberi perintah: "Potong
tali pengikat Haudaj!" Setelah itu Imam Ali r.a. menyuruh Muhammad bin
Abu gakar Ash Shiddiq (saudara Sitti Aisyah r.a.): "Ambillah saudara perempuanmu!"
Sitti Aisyah kemudian dibawa oleh Muhammad bin Abu Bakar dan dimasukkan ke dalam sebuah rumah milik
Abdullah bin Khalaf Al Khuza'iy. Selanjutnya Imam Ali r.a. memerintahkan Abdullah
bin Abbas supaya menemui Sitti Aisyah dan memintanya agar bersedia pulang ke Madinah.
Mengenai hal ini Abdullah bin Abbas menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku datang menemui Sitti Aisyah. Aku tidak diberi
sesuatu untuk duduk. Kuambil saja sebuah bantal yang dibawa olehnya selama perjalanan,
lalu duduk di atasnya. Kepadaku ia berkata: "Hai Ibnu Abbas, engkau sudah menyalahi
peraturan. Engkau berani duduk di atas bantalku dan dalam rumahku tanpa seizin aku?!" "Ini bukan rumah bunda," jawabku,
"bukan rumah yang oleh Allah bunda diperintahkan supaya tetap tinggal di dalamnya. Jika ini rumah bunda,
aku tidak berani duduk di atas bantal bunda tanpa seizin bunda!" "Melalui aku," kataku meneruskan,
"Amirul Mukminin minta supaya bunda berangkat pulang ke Madinah." Tiba-tiba ia menyahut: "Mana ada Amirul
Mukminin?"
"Dulu memang Abu Bakar," jawabku dengan
sabar dan hormat, "kemudian Umar lalu Utsman dan sekarang Ali!" "Tidak, aku tidak mau!" sahut Sitti
Aisyah. "Bunda sekarang bukan lagi orang yang dapat
memerintah atau melarang," kataku terpaksa menegaskan, "Tidak bisa mengambil dan tidak
bisa memberi."
Sitti Aisyah kemudian menangis, sampai suaranya
kedengaran dari luar rumah. Lalu ia berkata: "Aku akan segera pulang ke tempat
kediamanku, insyaa Allah Ta'aalaa. Demi Allah, tidak ada suatu negeri yang kubenci seperti negeri di mana
kalian berada sekarang ini." "Mengapa begitu?" tanyaku. "Demi
Allah, kami tetap memandang bunda sebagai Ummul Mukminin. Kami tetap memandang ayahnya bunda, Abu
Bakar, sebagai seorang shiddiq." Sehabis pertemuan dengan Ummul mukminin aku
segera menghadap Amirul Mukminin. Kepadanya kulaporkan semua yang kukatakan kepada
Sitti Aisyah dan apa yang dikatakannya kepadaku. Mendengar laporanku itu, Amirul
Mukminin merasa lega. Menanggapi laporanku ia berucap: "Waktu aku menyuruhmu sudah kuduga
ia akan memberi jawaban jawaban seperti itu." Sudah lazim terjadi, tiap kelompok masyarakat
atau pasukan, ssusai menghadapi peperangan muncul anasir-anasir ekstrim. Demikian juga
pasukan Imam Ali r.a. Ada yang menuntut agar semua orang yang terlibat dalam pasukan lawan
yang sudah kalah itu dijadikan tawanan, diperlakukan sebagai budak dan dibagi-bagikan. Menjawab tuntutan ekstrim itu dengan tegas Imam
Ali r.a. mengatakan: "Tidak!" "Mengapa anda melarang kami?" tanya
fihak ekstrim itu, "untuk menjadikan mereka sebagai hamba-hamba sahaya, padahal anda dalam peperangan
menghalalkan darah mereka?!" "Bagaimana kalian boleh berbuat seperti
itu," ujar Imam Ali r.a. menjelaskan. "Mereka itu dalam keadaan tidak berdaya, lagi pula mereka itu
berada di dalam daerah hijrah dan daerah Islam. Bukankah mereka itu juga kaum muslimin
seperti kalian? Adapun tentang apa saja yang dipergunakan pasukan musuh untuk melawan kalian,
boleh kalian rampas sebagai barang ghanimah. Tetapi semua yang berada di dalam rumah
penduduk Bahsrah, apalagi yang pintunya tertutup rapat, semua itu adalah milik mereka
sendiri. Kalian tidak mempunyai hak apa pun atas kesemuanya itu!" Anasir-anasir ekstrim tidak puas dengan
penjelasan itu. Mereka tetap bersitegang leher dalam mendesakkan tuntutannya. Malahan berani
mengucapkan kata-kata yang bernada menggertak. Tetapi Imam Ali r.a. tidak mau tunduk kepada
hukum yang batil. Dengan muka merah padam dan mata membelalak, Imam Ali r.a. menjawab
dengan tantangan: "Coba, siapa dari kalian yang berani merampas Sitti Aisyah…? Coba, siapa
yang berani merampas dia dan berani menjadikannya hamba sahaya?! Ayoh, jawab… Dia
akan kuserahkan!" Mendengar tantangan Imam Ali r.a. yang sekeras
itu mereka mundur sambil minta maaf dan beristighfar kepada Allah s.w.t. Di saat Abdullah Ibnu Abbas sedang melaksanakan
perintah menghubungi Sitti Aisyah r.a., Imam Ali r.a. menerima laporan dari salah seorang
anggota pasukan yang baru saja melihat jenazah Thalhah bin Ubaidillah tergeletak di tempat terj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar