DELAPAN HARI TANPA KHALIFAH
Dengan terbunuhnya Khalifah Utsman bin Affan r.a.
tidaklah terselesaikan persoalan-persoalan gawat yang dihadapi oleh kaum
muslimin. Malahan muncul krisis politik yang sifatnya lebih gawat, yang
menuntut penanggulangan secara tepat dan bijaksana. Beberapa waktu lamanya kehidupan
kaum muslimin tanpa pimpinan tertinggi dan situasi pemerintahan menjadi kosong.
Duniawi kontra Zuhud Dalam situasi mengandung berbagai kemungkinan buruk itu,
tokoh-tokoh Bani Umayyah yang selama ini memperoleh kepercayaan penuh dari
Khalifah Utsman r.a., justru tidak mengambil tindakan apa pun juga. Marwan bin
Al-Hakam dan kawan-kawannya lari meninggalkan Madinah. Amr bin Al-Ash, pada
saat-saat Khalifah Utsman r.a. dikepung kaum muslimin yang memberontak,
cepat-cepat pergi ke Palestina. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sufyan sendiri, tidak
juga mengambil inisiatif apa pun. Begitu pula Abdullah bin Abi Sarah yang
sedang menjadi penguasa daerah Mesir. Semuanya diam, seolah-olah tak pernah terjadi
suatu peristiwa politik yang besar dan gawat. Orang bertanya-tanya: Mengapa
para penguasa Bani Umayyah yang berkuasa di Mesir dan di Syam tidak segera
memberi pertolongan kepada Khalifah Utsman r.a.? Kemudian setelah Khalifah
Utsman r.a. terbunuh, mengapa mereka tak segera mengirimkan pasukan untuk bertindak
tegas terhadap kaum pemberontak dan menangkap oknum-oknum yang merencanakan dan
melaksanakan pembunuhan atas diri Khalifah itu? Kenapa mereka berpangku tangan,
padahal mereka mempunyai kekuatan cukup untuk melakukan tindakan hukum, sebelum
Khalifah yang baru di angkat? Pertanyaan-pertanyaan serupa itu adalah wajar.
Sebab, para penguasa Bani Umayyah dan tokoh-tokohnya bukan orang-orang yang
baru dilahirkan kemarin. Mereka cukup makan garam politik, terutama pada waktu
mereka dulu mengorganisasi dan memimpin orang orang kafir Qureiys melancarkan
perlawanan bersenjata terhadap Rasul Allah s.a.w. dan kaum muslimin. Nampaknya
mereka bukan tidak bertindak, tetapi ada perhitungan lain. Pada masa itu tokoh
Bani Umayyah yang paling terkemuka ialah Muawiyah bin Abi Sufyan. Akan tetapi
sejarah keislamannya tidak memungkinkan dirinya dapat dipilih sebagai Khalifah pengganti
Khalifah Utsman bin Affan r.a. Ia memeluk Islam setelah tidak ada jalan lain
untuk menyelamatkan diri dengan jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin.
Ia masuk Islam kurang lebih dua tahun sebelum wafatnya Rasul Allah s.a.w.
Sebelum itu ia sangat gencar memerangi kaum muslimin dalam usaha memukul Islam.
Dengan kata lain, selama masih ada sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. yang
sejak dulu sampai sekarang masih gigih membela kebenaran agama Allah, seperti
Imam Ali r.a. dan lain-lain, harapan bagi Muawiyah untuk dapat dibai'at sebagai
Khalifah penerus Utsman r.a. tidak mungkin dapat terlaksana. Usaha merebut atau
mewarisi kekhalifahan Utsman r.a. lebih dipersulit lagi oleh dua kenyataan:
1. Khalifah Utsman r.a. wafat akibat terjadinya
konflik politik yang gawat dengan rakyatnya sendiri.
2. Ia wafat meninggalkan warisan situasi
pemerintahan yang sudah tidak disukai oleh kaum muslimin. Konflik politik dan
warisan situasi yang tidak menguntung kan orang-orang, Bani Umayyah itu perlu
"dibenahi" lebih dulu untuk dapat meraih kedudukan sebagai pengganti
Khalifah Utsman r.a. Muawiyah harus dapat menciptakan situasi baru, di mana
konflik politik yang sedang panas itu bisa dialihkan kepada sasaran baru. Untuk
ini harus pula dicari "kambing hitam" yang "tepat". Dalam
hal ini ialah orang yang mempunyai kemungkinan paling besar akan dibai'at oleh
kaum muslimin sebagai Khalifah. Imam Ali r.a. merupakan seorang tokoh yang
paling banyak mempunyai syarat untuk dibai'at. Ia bukan hanya anggota Ahlu-Bait
Rasul Allah s.a.w., melainkan juga ia seorang genial, ilmuwan dan pahlawan
perang. Sudah sejak dulu, tokoh-tokoh Bani Umayyah selain Utsman r.a. memandang
Imam Ali r.a. dengan perasaan benci dan murka. Mereka tidak bisa melupakan
betapa banyaknya korban kafir Qureiys, termasuk sanak famili mereka, yang mati
di ujung pedang Imam Ali r.a. dalam pertempuran-pertempuran antara kaum
musyrikin dan kaum muslimin di masa lalu. Mereka juga tahu, bahwa di masa
Khalifah Utsman r.a. masih hidup, Imam Ali r.a. satu-satunya orang yang selalu
mengingatkan Khalifah tentang besarnva bahaya yang akan timbul akibat permainan
para pembantunya yang terdiri dari orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. jugalah
yang selalu menasehati Khalifah Utsman r.a. supaya mencegah berlarut-larutnya pacuan
memperebutkan harta kekayaan secara tidak sah, yang sedang terjadi di kalangan sementara
lapisan ummat lslam. Bahkan Imam Ali r.a. jugalah yang bila perlu melancarkan kritik-kritik
secara terbuka dan jujur terhadap kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. Tokoh-tokoh
Bani Umayyah tahu benar, bahwa Imam Ali r.a. adalah juru bicara yang paling mustahak
mewakili jeritan sebagian besar kaum muslimin, yang ingin dipulihkan kembali suasana
kehidupan seperti yang pernah terjadi pada zaman hidupnya Rasul Allah s.a.w. Golongan
Bani Umayyah memandang Imam Ali r.a. sebagai penghambat dan selalu menjadi perintang
bagi mereka dalam usaha meraih kedudukan dan keuntungan-keuntungan materil. Seandainya
Khalifah Utsman r.a. sebelum wafatnya berwasyiat supaya Imam Ali r.a. dibai'at sebagai
Khalifah penggantinya, golongan Bani Umayyah sudah pasti tidak akan melaksanakannya.
Pertentangan antara Muawiyah dan pendukung-pendukungnya dengan Imam Ali r.a.
dan pendukung-pendukungnya, pada hakekatnya bukanlah pertentangan
antar-golongan, melainkan pertentangan antara kehidupan yang terangsang oleh
kenikmatan-kenikmatan duniawi dengan kehidupan zuhud. Hal ini akan terbukti
kebenarannya pada babak-babak terakhir dari proses pertentangan antara
keduabelah fihak. Mencari Calon Pengganti Dalam situasi tidak menentu, kaum
pemberontak dan penduduk Madinah berpendapat, bahwa hanya salah seorang di
antara 5 orang sahabat dekat Rasul Allah s.a.w. yang patut dibai'at sebagai
Khalifah pengganti. Mereka itu ialah yang dulu bersama-sama Utsman bin Affan
r.a. pernah dicalonkan oleh Khalifah Umar Ibnul
Khattab r.a. sebelum wafatnya. Namun dari yang 5 orang itu, hanya 4 orang saja yang masih hidup.
Abdurrahman bin A'uf sudah tiada. Tragedi pembunuhan Khalifah Utsman r.a. sangat
menggoncangkan dan memilukan Sa'ad bin Abi Waqqash. Karena sebelum itu, Khalifah Umar
r.a. juga mati terbunuh, sungguhpun pembunuhnya bukan seorang muslim (tetapi majusi)
dan terjadinya bukan akibat konflik politik di antara sesama kaum muslimin. Oleh karena itu
Sa'ad bin Abi Waqqash mengambil keputusan untuk menjauhkan diri sama sekali dari kegiatan
politik kenegaraan dan kemasyarakatan. Ia tidak mau melibatkan diri atau dilibatkan dalam
proses pembai'atan seorang Khalifah baru. Dengan demikian dari 4 orang sahabat Nabi
Muhammad s.a.w. yang masih hidup, kini hanya tinggal 3 orang saja yang dapat dicalonkan. Jalan mennuju terbai'atnya Khalifah ke 4 ternyata
tidak selicin seperti yang diperkirakan orang. Dalam proses permulaan saja sudah menghadapi
kesukaran berat. Karena ketiga orang calon tersebut sudah tidak ada yang bersedia dibai'at
sebagai Khalifah. Usaha pendekatan yang dilakukan oleh kaum muslimin yang memberontak
terhadap Khalifah Utsman r.a. sukar diterima oleh tiga orang sahabat Rasul Allah s.a.w. itu.
Kemacetan berlangsung selama 8 hari. Sedangkan kaum muslimin, baik yang tinggal di
kota Madinah maupun yang di daerah-daerah, cemas-cemas gelisah menantikan adanya pimpinan
yang baru. Tragedi pembunuhan kejam terhadap Khalifah Utsman r.a., dikuasainya
ibukota oleh kaum pemberontak, macetnya pemilihan Khalifah baru, semuanya
merupakan kerawanan yang amat berbahaya. Pasukan-pasukan muslimin yang sedang
bertugas di luar daerah dengan gelisah menunggu adanya instruksi-instruksi
baru. Jika krisis itu berlarut-larut, mereka sangat khawatir kalau-kalau musuh
Islam akan memanfaatkan krisis kepemimpinan itu sebagai peluang yang baik untuk
melancarkan serangan-serangan. Di Mesir, seorang Kepala Daerah yang tidak
disukai oleh penduduk dan dituntut pemberhentiannya (Abdullah bin Abi Sarah) masih
tetap berkuasa. bersama dengan itu, seorang Kepala Daerah yang terkenal cakap dan erat
hubungannya dengan Khalifah Utsman r.a., yakni Muawiyah, hanya sibuk dalam kegiatan meningkatkan
kedudukannya. Kaum pemberontak menyadari, tanpa kerjasama dan
bantuan aktif kaum Muhajirin dan Anshar, mereka tidak akan berhasil menentukan pengganti
Khalifah Utsman r.a. Setelah mengadakan pembahasan secara mendalam tentang situasi gawat
yang akan timbul akibat tidak adanya pemerintahan pusat, dan dengan dukungan kaum
Muhajirin dan Anshar, para sahabat Rasul Allah s.a.w., sepakat untuk secepat mungkin
mengadakan pemilihan seorang calon, yang akan dibai'at sebagai Khalifah baru. Calon itu ialah
Imam Ali r.a. Imam Ali r.a. di Bai`at Menurut penuturan Abu Mihnaf, sebagaimana
tercantum dalam Syarh Nahjil Balaghah, jilid IV, halaman 8, dikatakan, bahwa ketika itu kaum
Muhajirin dan Anshar berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan harap-harap cemas mereka
menunggu berita tentang siapa yang akan menjadi Khalifah baru. Masjid yang menurut ukuran
masa itu sudah cukup besar, penuh sesak dibanjiri orang. Di antara tokoh-tokoh muslimin
yang menonjol tampak hadir Ammar bin Yasir, Abul Haitsam bin At Thaihan, Malik bin 'Ijlan dan
Abu Ayub bin Yazid. Mereka bulat berpendapat, bahwa hanya Ali bin Abi Thalib r.a.
lah tokoh yang paling mustahak dibai'at. Diantara mereka yang paling gigih berjuang agar
Imam Ali r.a. dibai'at ialah Ammar bin Yasir. Dalam mengutarakan usulnya, pertama-tama Ammar
mengemukakan rasa syukur karena kaum Muhajirin tidak terlibat dalam pembunuhan
Khalifah Utsman r.a. Kepada kaum Anshar, Ammar menyatakan, jika kaum
Anshar hendak mengkesampingkan
kepentingan mereka sendiri, maka yang paling baik
ialah membai'at Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah. Ali bin Abi Thalib, kata Ammar,
mempunyai keutamaan dan ia pun orang yang paling dini memeluk Islam. Kepada kaum Muhajirin, Ammar mengatakan: kalian
sudah mengenal betul siapa Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu aku tak perlu menguraikan
kelebihan-kelebihannya lebih panjang lebar lagi. Kita tidak melihat ada orang lain yang
lebih tepat dan lebih baik untuk diserahi tugas itu! Usul Ammar secara spontan disambut hangat dan
didukung oleh yang hadir. Malahan kaum Muhajirin mengatakan: "Bagi kami, ia memang
satu-satunya orang yang paling afdhal!" Setelah tercapai kata sepakat, semua yang hadir
berdiri serentak, kemudian berangkat bersama-sama ke rumah Imam Ali r.a. Di depan
rumahnya mereka beramai-ramai minta dan mendesak agar Imam Ali r.a. keluar. Setelah Imam
Ali r.a. keluar, semua orang berteriak agar ia bersedia mengulurkan tangan sebagai tanda
persetujuan dibai'at menjadi Amirul Mukminin. Pada mulanya Imam Ali r.a. menolak dibai'at
sebagai Khalifah. Dengan terus terang ia menyatakan : "Aku lebih baik menjadi wazir
yang membantu daripada menjadi seorang Amir yang berkuasa. Siapa pun yang kalian bai'at
sebagai Khalifah, akan kuterima dengan rela. Ingatlah, kita akan menghadapi banyak hal yang
menggoncangkan hati dan fikiran."
Jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu tak dapat
diterima sebagai alasan oleh banyak kaum muslimin yang waktu itu datang berkerumun di
rumahnya. Mereka tetap mendesak atau setengah memaksa, supaya Imam Ali r.a. bersedia
dibai'at oleh mereka sebagai Khalifah. Dengan mantap mereka menegaskan pendirian:
"Tidak ada orang lain yang dapat menegakkan pemerintahan dan hukum-hukum Islam selain anda.
Kami khawatir terhadap ummat Islam, jika kekhalifahan jatuh ketangan orang lain…" Beberapa saat lamanya terjadi saling-tolak dan
saling tukar pendapat antara Imam Ali r.a. dengan mereka. Para sahabat Nabi Muhammad s.a.w.
dan para pemuka kaum Muhajirin dan Anshar mengemukakan alasannya masing-masing
tentang apa sebabnya mereka mempercayakan kepemimpinan tertinggi kepada Imam Ali r.a.
Betapapun kuat dan benarnya alasan yang mereka ajukan Imam Ali r.a. tetap menyadari, jika
ia menerima pembai'atan mereka pasti akan menghadapi berbagai macam tantangan dan kesulitan
gawat. Baru setelah Imam Ali r.a. yakin benar, bahwa
kaum muslimin memang sangat menginginkan pimpinannya, dengan perasaaan berat ia menyatakan
kesediaannya untuk menerima pembai'atan mereka. Satu-satunya alasan yang
mendorong Imam Ali r.a. bersedia dibai'at, ialah demi kejayaan Islam, keutuhan persatuan dan
kepentingan kaum muslimin. Rasa tanggung jawabnya yang besar atas terpeliharanya
nilai-nilai peninggalan Rasul Allah s.a.w., membuatnya siap menerima tanggung jawab berat di
atas pundaknya. Sungguh pun demikian, ia tidak pernah lengah, bahwa situasi yang
ditinggalkan oleh Khalifah Utsman r.a. benar-benar merupakan tantangan besar yang harus
ditanggulangi. Keputusan Imam Ali r.a. untuk bersedia dibai'at
sebagai Amirul Mukminin disambut dengan perasaan lega dan gembira oleh sebagian besar
kaum muslimin. Kepada mereka Imam Ali r.a. meminta supaya
pembai'atan dilakukan di masjid agar dapat disaksikan oleh umum. Kemudian Imam Ali r.a. juga
memperingatkan, jika sampai ada seorang saja yang menyatakan terus terang tidak menyukai
dirinya, maka ia tidak akan bersedia dibai'at. Mereka dapat menyetujui permintaan Imam
Ali r.a., lalu ramai-ramai pergi menuju masjid. Setibanya di Masjid, ternyata orang pertama yang
menyatakan bai'atnya ialah Thalhah bin Ubaidillah. Menyaksikan kesigapan Thalhah itu,
seorang bernama Qubaisah bin Dzuaib Al Asadiy menanggapi: "Aku Khawatir, jangan-jangan
pembai'atan Thalhah itu tidak sempurna!" Ia mengucapkan tanggapannya itu karena tangan
Thalhah memang lumpuh sebelah. Orang lain membiarkan komentar itu lewat begitu saja. Zubair bin Al-'Awwam segera mengikuti jejak
Thalhah menyatakan bai'at kepada Imam Ali r.a. Sesudah itu barulah kaum Muhajirin dan Anshar
menyatakan bai'atnya masing-masing. Yang tidak ikut menyatakan bai'at ialah Muhammad bin
Maslamah, Hasan bin Tsabit, Abdullah bin Salam, Abdullah bin Umar, Usamah bin Zaid, Saad
bin Abi Waqqash, dan Ka'ab bin Malik. Tata cara pembai'atan dilakukan menurut prosedur
sebagaimana yang lazim berlaku atas diri Khalifah-khalifah sebelumnya. Sesuai dengan
tradisi pada masa itu, sesaat setelah dibai'at Amirul Mukminin Imam Ali r.a. menyampaikan amanatnya
yang pertama. Antara lain mengatakan: "Sebenarnya aku ini adalah seorang yang sama
saja seperti kalian. Tidak ada perbedaan dengan kalian dalam masalah hak dan kewajiban. Hendaknya
kalian menyadari, bahwa ujian telah datang dari Allah s.w.t. Berbagai cobaan dan
fitnah telah datang mendekati kita seperti datangnya malam yang gelap-gulita. Tidak ada
seorang pun yang sanggup mengelak dan menahan datangnya cobaan dan fitnah itu, kecuali
mereka yang sabar dan berpandangan jauh. Semoga Allah memberikan bantuan dan perlindungan. "Hati-hatilah kalian sebagaimana yang telah
diperintahkan oleh Allah s.w.t. kepada kalian, dan berhentilah pada apa yang menjadi larangan-Nya.
Dalam hal itu janganlah kalian bertindak tergesa-gesa, sebelum kalian menerima penjelasan
yang akan kuberikan. "Ketahuilah bahwa Allah s.w.t. di atas
'Arsy-Nya Maha Mengetahui, bahwa sebenarnya aku ini tidak merasa senang dengan kedudukan yang kalian
berikan kepadaku. Sebab aku pernah mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berkata:
"Setiap waliy (penguasa atau pimpinan) sesudahku, yang diserahi pimpinan atas kaum
muslimin, pada hari kiyamat kelak akan diberdirikan pada ujung jembatan dan para
Malaikat akan membawa lembaran riwayat hidupnya. Jika waliy itu seorang yang adil, Allah
akan menyelamatkannya karena keadilannya. Jika waliy itu seorang yang dzalim, jembatan itu
akan goncang, lemah dan kemudian lenyaplah kekuatannya. Akhirnya orang itu akan jatuh ke
dalam api neraka…" Demikianlah tutur Abu Mihnaf yang uraian
riwayatnya tidak berbeda jauh dari versi sejarah yang ditulis oleh beberapa penulis lain. Lebih
jauh Abu Mihnaf mengatakan, bahwa orang-orang yang tidak ikut serta menyatakan bai'at, diminta
oleh Imam Ali r.a. supaya menemuinya secara langsung pada lain kesempatan. Pada suatu hari ketika Abdullah bin Umar diminta
pernyataan bai'atnya, ia menolak. Ia baru bersedia membai'at Imam Ali r.a., kalau semua
orang sudah menyatakan bai'atnya. Melihat sikap Abdullah yang sedemikian itu, Al Asytar,
seorang sahabat setia Imam Ali r.a. dan terkenal sebagai pahlawan perang, tidak dapat menahan
kemarahannya. Kepada Imam Ali r.a., Al-Asytar berkata: "Ya Amiral Mukminin, pedangku sudah
lama menganggur. Biar kupenggal saja lehernya!" "Aku tidak ingin ia menyatakan bai'at secara
terpaksa," ujar Imam Ali r.a. dengan tenang menanggapi ucapan Al-Asytar.
"Biarkanlah!" Setelah Abdullah, datanglah Sa'ad bin Abi Waqqash
atas panggilan Imam Ali r.a. Ketika diminta pernyataan bai'atnya, ia menjawab supaya dirinya
jangan diganggu dulu. "Kalau sudah tidak ada orang lain kecuali aku sendiri, barulah aku akan
membai'at anda." Mendengar keterangan Sa'ad itu, Imam Ali r.a.
berkata kepada seorang sahabatnya: "Sa'ad bin Abi Waqqash memang tidak berdusta. Biarkan saja
dia!" Imam Ali r.a. kemudian memperbolehkan Sa'ad meninggalkan tempat. Waktu tiba giliran Usamah bin Zaid, ia
mengatakan: "Aku ini kan maula anda. Aku sama sekali tidak mempunyai persoalan atau niat hendak
menentang anda. Pada saat semua orang sudah menjadi tenang kembali aku pasti akan menyatakan
bai'at kepada anda." Usamah lalu diperbolehkan meninggalkan tempat.
Tampaknya Usamah bin Zaid merupakan orang terakhir yang dipanggil untuk menyatakan
bai'at. Sebab, setelah itu tidak ada orang lain lagi yang dipanggil untuk diminta bai'atnya. Delapan hari sepeninggal Khalifah Utsman bin
Affan r.a., kini kaum muslimin telah mempunyai Khalifah baru. Menurut catatan sejarah, jangka
waktu 8 hari itu merupakan waktu terpanjang dalam usaha penetapan seorang Khalifah. Satu
keadaan yang cukup menggambarkan betapa resahnya fikiran kaum muslimin pada saat itu.
Delapan hari lamanya kaum muslimin hidup tanpa pimpinan. Kota Madinah yang sejak masa hidupnya Rasul Allah
s.a.w. menjadi pusat kepemimpinan agama dan pemerintahan, selama delapan hari itu berada
dalam keadaan serba tak menentu. Tidak ada kemantapan dan tidak ada ketertiban hukum.
Kaum pembangkang yang datang dari luar Madinah, banyak yang berusaha mengadakan kegiatan
pengacauan di kota tersebut. Beberapa kelompok kaum Muhajirin dan Anshar mengalami
berbagai hambatan dalam menentukan sikap. Sedangkan pemuka-pemuka Bani Umayyah, secara
diam-diam mulai "mengkambing-hitamkan" Imam Ali r.a. Mereka melancarkan tuduhan, bahwa
Imam Ali r.a. lah yang "membunuh Utsman" atau "melindungi kaum pemberontak".
Dengan tuduhan itu mereka mengharap Imam Ali r.a. akan ditinggalkan oleh para pendukungnya dan
dengan demikian ia bisa terguling dari kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.
kedudukannya sebagai Amirul Mukminin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar