WAFATNYA IMAM ALI R.A.
Sementara Imam Ali r.a. menanggulangi
pemberontakan Khawarij di Nehrawan, Muawiyah meningkakan terus kekuatannya,
mengkonsolidasi barisan serta mengokohkan kedudukannya. Mereka memperoleh waktu
yang sangat cukup untuk mempersiapkan peperangan lebih lama lagi, berkat
politik "tahkim" yang disusun oleh arsiteknya, Amr bin Al Ash. Sebaliknya,
dengan muslihat "tahkim" itu, kekuatan Imam Ali r.a. sekarang menjadi
berkurang. Ia ditinggalkan, bahkan dilawan oleh pengikut-pengikutnya sendiri,
yang sudah memisahkan diri sebagai kaum Khawarij. Dalam menumpas gerakan
Khawarij, Imam Ali r.a. telah kehilangan beberapa anggota pasukan yang cukup
merugikan, walaupun berhasil mencapai kemenangan. Imbangan kekuatan yang
sekarang sangat menguntungkan fihak Muawiyah difahami benar-benar oleh para
pengikut Imam Ali r.a. Secara diam-diam banyak di antara mereka yang sudah kejangkitan
penyakit putus asa. Belum lagi kita sebutkan besarnya dana yang dihamburkan Muawiyah
untuk membeli pengikut sebanyak-banyaknya. Bagaimana pun juga hal ini besar pengaruhnya
di kalangan para pengikut Imam Ali r.a. yang kurang teguh iman dan pendiriannya.
Kepada para pengikut Imam Ali r.a. yang mau menyeberang, Muawiyah mengiming-imingkan
hadiah berlipat ganda. Perlawanan terhenti Selesai perang melawan kaum Khawarij
dan sebelum meninggalkan Nehrawan untuk berangkat melanjutkan perang melawan
Muawiyah, Imam Ali r.a. mengucapkan pidato di depan para pengikutnya. Antara
lain ia berkata: "Cobaan Allah yang kalian hadapi telah berakhir dengan baik.
Allah telah memenangkan kalian dengan pertolongan-Nya. Sekarang marilah kita berangkat
untuk menghadapi Muawiyah dan para pendukungnya yang durhaka itu. Mereka yang meninggalkan
Kitab Allah di belakang punggung dan telah menjual-belikannya dengan harga murah.
Alangkah buruknya apa yang telah mereka beli dengan Kitab Allah itu!" Bagaimana
sambutan pengikut Imam Ali r.a. Kali ini Imam Ali r.a. terbentur lagi pada
ranjau yang dipasang oleh Al Asy'ats bin Qeis. Asy'ats ternyata sudah berhasil
mempengaruhi banyak anggota pasukan Imam Ali r.a. supaya meninggalkan barisan,
dengan jalan mencari tempattempat peristirahatan di daerah-daerah yang
berdekatan. Alasan yang digunakan dalam
kampanye itu ialah mereka sudah terlampau letih
dan sangat perlu beristirahat, untuk memulihkan tenaga lebih dulu, sebelum
bergabung dalam pasukan. Jasa Asy'ats nampaknya tidak kecil bagi Muawiyah.
Tidak keliru rasanya kalau ada sementara penulis yang mengatakan, bahwa bukan
hanya Abu Musa dan kaum Khawarij saja yang berberjasa kepada Muawiyah, tetapi
juga Al Asy'ats bin Qeis. Waktu Imam Ali r.a. mengajak anggota-anggota
pasukannya berangkat memerangi Muawiyah, mereka menjawab sesuai dengan garis
yang sudah diletakkan Al Asy'ats: "Ya Amiral Mukminin, anak panah kami
sudah habis, tangan kami sudah terlalu payah, pedang kami banyak yang patah dan
tombak kami sudah tumpul! Biarkanlah kami pulang dulu agar kami dapat mempersiapkan
perbekalan dan perlengkapan yang lebih baik. Mungkin Amirul Mukminin akan memberi
tambahan senjata kepada kami, agar kami lebih kuat dalam menghadapi
musuh!" Sulit mencari orang yang bertabiat keras seperti Imam Ali r.a.
tetapi juga sangat sulit mencari orang yang sabar seperti dia. Sukar mencari
orang yang waspada seperti Imam Ali r.a., tetapi juga sangat sukar mencari
orang yang mempercayai sahabat sepenuh hati seperti dia. Bagaimana harus
dibantah, bukankah mereka itu benar-benar baru saja menyelesaikan peperangan?
Jadi alasan mereka itu memang masuk akal! Imam Ali r.a. setuju mereka beristirahat,
tetapi tidak pulang ke rumah masing-masing. Mereka harus diistirahatkan bersama
di suatu tempat, agar setiap saat dapat dikerahkan bila dipandang perlu. Mereka
kemudian diajak oleh Imam Ali r.a. ke sebuah tempat bernama Nakhilah. Selain menjadi
tempat istirahat, Nakhilah juga dijadikan tempat pemusatan pasukan. Kepada
semua pasukan diperintahkan supaya jangan sampai ada yang meninggalkan tempat.
Semua pasukan harus selalu dalam keadaan siaga untuk melanjutkan peperangan
melawan pasukan Syam. Jika anak isteri tidak seberapa jauh dari Nakhilah, boleh
saja menjenguk mereka, tetapi jangan terlalu sering. Masing-masing anggota
pasukan diminta supaya selalu siap menantikan saat keberangkatan ke Shiffin. Apa
yang terjadi? Ternyata hanya beberapa hari saja mereka tinggal bersama Imam Ali
r.a. di Nakhilah. Banyak sekali yang tanpa izin menyelinap pergi ke Kufah untuk
bersenang-senang dengan anak isteri mereka. Tidak sedikit yang bertebaran ke
daerah-daerah sekitar Nakhilah untuk mencari hiburan dan kesenangan. Imam Ali r.a.
ditinggal bersama beberapa orang sahabat terdekat dan sejumlah pengikut.
Akhirnya Imam Ali r.a. dan para sahabat terdekat itu terpaksa meninggalkan
Nakhilah dalam keadaan kosong. Sejak saat itu perlawanan terhadap Muawiyah
praktis terhenti. Kesetiaan pendukungnya sudahm tak dapat diandalkan lagi.
Banyak di antara mereka yang mulai terpikat hatinya oleh kepentingan duniawi
yang dinikmati oleh kaum muslimin di Syam. Selain itu banyak juga yang patah
semangat dan kejangkitan penyakit putus asa.Terhentinya perlawanan menumpas
pemberontakan Muawiyah bukan disebabkan ketidak mampuan Imam Ali r.a., melainkan karena
sikap massa yang dipimpinnya sudah goyah dan tidak mantap, terutama mereka yang
berasal dari Kufah. Tanda-tanda akan terjadinya hal yang harus disayangkan itu,
sudah nampak sejak Imam Ali r.a. memasuki kota tersebut. Bahkan beberapa bulan
sebelum itu pun di Madinah Imam Ali r.a. sudah menghadapi bermacam-macam
kesulitan, yaitu sejak pembai'atannya sebagai Khalifah. Ajakan ke medan juang Setelah
ditinggal oleh banyak pengikutnya dan hanya tingal para sahabat yang setia
saja, melalui Hujur bin Addiy, Amr bin Al Humuq dan sejumlah sahabat lainnya,
Imam Ali r.a. mengeluarkan sebuah pernyataan tertulis untuk disampaikan kepada
kaum muslimin Kufah, terutama bekas pendukungnya. Dalam pernyataan tertulis itu
Imam Ali r.a. membeberkan semua persoalan dan mengungkapkan latar belakang
sejarahnya. "Bahwasanya Allah s.w.t. telah mengutus Muhammad, Rasul Allah
s.a.w. untuk mengingatkan ummat manusia di seluruh dunia. Beliau menerima wahyu
dan mengemban amanat yang diturunkan kepadanya, dan menjadi saksi bagi ummat
ini. Hai orang-orang Arab, kalian pada masa itu dalam keadaan tidak mempunyai
agama. Satu sama lain saling memakan harta secara bathil. Kemudian Allah melimpahkan
kurnia-Nya kepada kalian dengan mengutus Muhammad s.a.w. datang ke
tengah-tengah kalian dan berbicara dengan bahasa kalian. Kalian mengenal wajah
beliau dan mengetahui benar asal-usul keturunannya. "Beliau telah
mengajarkan hikmah, sunnah dan fara'idh kepada kalian. Beliau menyuruh kalian supaya
selalu menjaga baik-baik hubungan silaturrahmi, memelihara kerukunan dan saling
memperbaiki keadaannya masing-masing. Kalian juga diperintahkan supaya
menunaikan amanat kepada fihak yang berhak, memenuhi janji, saling
bercinta-kasih dan sayang menyayangi. Beliau pun memerintahkan kalian supaya
berlaku jujur, dan jangan sampai mencatut timbangan atau takaran. Beliau datang
kepada kalian juga antara lain untuk melarang kalian jangan sampai berbuat zina
dan jangan makan harta milik anak yatim secara dzalim." "Kebajikan
akan menghindarkan kalian dari siksa neraka. Dan beliau mendorong kalian supaya
senantiasa berbuat kebajikan. Tiap perbuatan buruk dan jahat akan menjauhkan
kalian dari sorga, dan beliau mencegah supaya kalian jangan sampai berbuat
seperti itu. SetelahAllah s.w.t. memandang masa hidupnya sudah cukup, beliau
dipanggil pulang ke sisi-Nya, dalam
keadaan beliau patut menerima pujian dan
memperoleh keridhoan-Nya. Beliau s.a.w. telah memperoleh pengampunan atas
segala kekhilafannya dan benar-benar telah mendapat kedudukan mulia di sisi
Allah s.w.t. "Tetapi alangkah besarnya musibah yang terjadi sepeninggal
beliau, terutama yang menimpa kaum kerabatnya dan kaum mukminin pada umumnya.
Setelah beliau tidak ada lagi kaum muslimin mempertengkarkan pimpinan dan
kekuasaan. Demi Allah, aku tidak pernah merasa khawatir dan tidak pernah
membayangkan bahwa orang-orang Arab akan menggeser kepemimpinan dari tanganku.
Tetapi waktu itu ternyata orang-orang Arab mengangkat Abu Bakar. Mereka datang
berbondong-bondong kepadanya. Aku diam tidak mengulurkan tangan, sebab aku
yakin bahwa akulah yang sebenarnya lebih berhak meneruskan kepemimpinan Rasul Allah
s.a.w. daripada orang lain yang akan memimpin aku. Beberapa waktu lamanya aku
tetap bersikap seperti itu. "Kemudian aku melihat banyak orang
meninggalkan agama Islam, kembali kepada kepercayaan mereka semula, bahkan
berani berseru kepada orang-orang lain supaya menghapuskan agama yang dibawakan
oleh Muhammad s.a.w. dan Ibrahim as. Aku menjadi sangat khawatir, kalau aku
tidak membela Islam dan kaum muslimin, aku bakal menyaksikan kerusakan dan keruntuhan
Islam. Bagiku, itu merupakan bencana yang jauh lebih besar daripada lepasnya kepemimpinan
dari tanganku. Sebab masalah kepemimpinan hanyalah suatu hiasan hidup belaka
yang tidak kekal dan tidak lama, yang akhirnya akan lenyap seperti
fatamorgana."
"Aku lalu pergi menjumpai Abu Bakar. Ia
kubai'at, kemudian bersama dia aku bergerak menanggulangi kejadian tersebut di
atas tadi, sampai kebathilan itu musnah dan kalimat Allah tetap unggul dan
mulia walau orang-orang kafir tidak menyukai. Abu Bakar tetap memegang pimpinan
pemerintahan. Ia berlaku adil, baik, benar, rendah hati dan hidup sederhana.
Aku mendampingi dia sebagai penasehat. Ia kutaati sungguh-sungguh selama ia
taat kepada Allah s.w.t." "Beberapa saat menjelang wafatnya, Abu
Bakar menunjuk Umar Ibnul Khattab untuk meneruskan kepemimpinannya. Itu pun
kutaati. Umar kubai'at dan kepadanya kuberikan nasehat-nasehat. Selama memegang
pimpinan pemerintahan, Umar bersikap baik dan semasa hidupnya ia berperilaku
terpuji. Menjelang wafatnya, aku berkata dalam hatiku: 'Ia tentu tidak akan
menyerahkan pimpinan pemerintahan kepada orang lain. Tetapi ternyata ia minta
supaya masalah kekhalifahan itu dimusyawarahkan, dan aku menjadi salah seorang
calon sekaligus peserta musyawarah. Namun orang lainnya tidak suka kalau
kepemimpinan jatuh ke tanganku,
sebab mereka mendengar bahwa aku pernah menentang
Abu Bakar'…" "Dulu aku memang pernah mengatakan: 'Hai orang-orang
Qureisy, aku ini lebih berhak daripada kalian untuk memegang pimpinan, sebab
tidak ada seorang pun di antara kalian yang terdini mengenal Al Qur'an dan
mengerti sunnah Rasul!' Karena aku berkata seperti itu, mereka merasa khawatir
kalau sampai aku terbai'at menjadi pemimpin ummat, tidak akan ada kesempatan
lagi bagi mereka. Akhirnya mereka membai'at Utsman bin Affan, menyingkirkan
diriku dari kepemimpinan dan menyerahkannya kepada Utsman. Aku dijauhkan dari
kepemimpinan karena mereka mengharap akan memperoleh giliran."
"Aku terpaksa menyatakan bai'at. Aku
menyabarkan diri sambil bertawakkal kepada Allah. Kemudian ada salah seorang
berkata kepadaku: 'Hai Ibnu Abu Thalib, mengapa engkau ngotot ingin memegang
pimpinan?' Aku menjawab: 'Kalian lebih ngotot. Yang kuminta adalah hak waris putera
pamanku! Waktu kalian mencampuri urusanku dengan Utsman, kalian berbuat menampar
mukaku dan tidak menampar mukanya!' Aku berdoa memohon perlindungan kepada Allah
s.w.t. dalam menghadapi orang-orang Qureiys itu. Mereka memutuskan
silaturrahmiku dengan Rasul Allah s.a.w. Mereka meremehkan kedudukan dan
keutamaanku. Mereka bersepakat merebut hak yang sebenarnya aku ini lebih
berwenang dibanding mereka. Mereka telah memperkosa hakku." "Mereka
lalu berkata lagi: 'Sabarlah engkau menahan kepedihan itu! Dan sabarlah hidup
dalam kekecewaan itu!' Aku melihat-lihat dan ternyata tidak ada teman atau
orang lain yang bersedia membantu selain keluargaku sendiri. Tetapi aku tidak
mau menjerumus-kan keluargaku ke dalam bahaya. Kupejamkan mataku untuk menahan
sakitnya kelilip, dan kutelan ludahku dengan perasaan sedih. Aku sabar menahan
kejengkelan, sehingga terasa olehku kepahitan yang melebihi jadam dan kesakitan
yang melebihi tusukan pisau."
"Akhirnya kalian dendam terhadap Utsman. Ia
kalian datangi, lalu kalian bunuh. Setelah itu kalian datang kepadaku untuk
menyatakan bai'at. Aku menolak, tetapi kalian tetap bersikeras menghendaki aku.
Kalian mendesak dan mendorong-dorong datang kepadaku untuk mendesak terus,
sampai kukira kalian akan saling bunuh-membunuh atau hendak membunuhku.
Kepadaku kalian mengatakan: 'Kami tidak menemukan orang selain engkau dan kami
tidak menyukai orang lain. Kami seia-sekata dan dengan tekad bulat
membai'atmu'…" "Pembai'atan kalian kemudian kuterima. Lalu kalian
mengajak orang-orang lain untuk membai'atku. Orang-orang yang menyatakan bai'at
karena taat, kuterima. Sedangkan yang tidak mau menyatakan bai'at, kubiarkan.
Orang yang pertama-tama menyatakan bai'at kepadaku ialah Thalhah dan Zubair. Seandainya
dua orang itu tidak mau membai'atku, mereka tidak akan kupaksa, sama halnya
seperti orang lain yang tidak mau membai'atku. Tidak lama kemudian aku
mendengar dua orang itu berangkat ke Bashrah membawa sejumlah orang bersenjata.
Tidak seorang pun dari mereka itu yang belum pernah menyatakan bai'at kepadaku.
Di Bashrah mereka mengobrak-abrik pegawaiku, menggedor tempat-tempat
penyimpanan harta kaum muslimin dan memperkosa penduduk yang taat kepadaku.
Mereka memecah belah dan merusak kerukunan, mencerai-beraikan persatuan dan
menyerang tiap orang yang mengikuti serta mencintaiku. Beberapa kelompok dari
pencintaku dibunuh secara gelap dan dianiaya. Di antara mereka itu ada yang
sanggup membela diri, ada yang hanya bersabar, dan ada pula yang dengan gigih
terpaksa mengacungkan pedang. Para pencintaku itu bangkit melawan tindakan jahat
mereka sampai banyak yang mati terbunuh dalam keadaan bertawakkal kepada Allah s.w.t.
"Demi Allah, seandainya hanya seorang saja
dari para pencintaku yang sengaja mereka bunuh, sudah halal bagiku untuk
bertindak menumpas habis gerombolan bersenjata itu! Apalagi karena ternyata
mereka itu telah membunuh banyak kaum muslimin. Tetapi, Allah s.w.t. sudah membalas
perbuatan mereka, dan sekarang binasalah sudah kaum yang dzalim itu." "Kemudian
aku melihat kepada orang-orang Syam. Mereka itu adalah orang-orang Arab yang berperangai
kasar, terdiri dari macam-macam golongan yang serakah dan liar, datang dari berbagai
pelosok. Mereka itu adalah orang-orang yang masih perlu diajar, dipimpin dan dibimbing.
Mereka bukan kaum Muhajirin atau Anshar, dan bukan pula orang-orang yang memasuki
agama dengan itikad baik. Mereka kudatangi, kuajak supaya mau bersatu dan bersedia
taat, tetapi mereka menolak. Mereka menginginkan perpecahan, permusuhan dan kemunafikan.
Mereka bergerak melawan kaum Muhajirin, kaum Ansor dan orang-orang yang masuk
agama Islam dengan niat ikhlas dan jujur. Mereka melepaskan anak-panah dan melempar
tombak. Di saat itulah aku bangkit dan bergerak melawan mereka. Mereka kuperangi.
"Setelah mereka kekurangan senjata dan merasakan sakitnya luka, mereka
kibarkan lembaranlembaran Al-Qur'an dan berseru kepada kalian supaya berpegang
teguh kepadanya. Waktu itu kalian sudah kuberi tahu, bahwa mereka itu bukan
orang-orang yang patuh kepada ajaran agama dan Al-Qur'an. Mereka mengibarkan
lembaran-lembaran Al-Qur'an hanya sekedar tipudaya dan muslihat. Kalian sudah
kuperintahkan supaya terus memerangi mereka, tetapi kalian menuduh diriku dan
kalian berkata kepadaku: "Terimalah apa yang mereka usulkan. Kalau mereka
benar-benar mau melaksanakan apa yang ada dalam Al-Qur'an dan sunnah, pasti mereka
akan bersatu dengan kita dalam kebenaran yang selama ini kita pertahankan. Jika
mereka tidak mau, kita mempunyai alasan kuat untuk terus berlawan terhadap
mereka." "Keinginan kalian itu kusetujui, aku lalu mundur, tidak
menyerang mereka lagi. Kemudian terjadilah persetujuan antara kalian dengan
mereka untuk mengangkat dua orang perunding guna mencari penyelesaian damai
berdasar Kitab Allah. Dua orang itu diharuskan patuh menjunjung tinggi perintah
Al Qur'an dan menjauhkan apa yang dilarangnya. Tetapi dua orang itu berselisih
pendapat, dan hukum yang diambil ternyata berlain-lainan. Dua orang itu mengabaikan
Al Qur'an dan menyalahi isinya. Dua-duanya tanpa hidayat Allah terjerumus mengikuti
hawa nafsu sendiri-sendiri. Oleh Allah dua orang itu dijauhkan dari kebajikan
dan diperosokkan dalam kesesatan. Dua-duanya memang pantas menjadi orang
seperti itu." "Setelah semua itu terjadi, ada sekelompok orang meninggalkan
kami. Mereka pun kami tinggalkan. Kami bersikap sama seperti mereka. Tetapi
kemudian mereka berkeliaran di bumi membuat kerusakan.Orang-orang muslimin
mereka bunuh tanpa dosa. Mereka kami datangi, lalu kami katakan kepada mereka:
'Serahkan kepada kami orang-orang yang membunuh saudara-saudara kami'. Mereka
menjawab: 'Kami semua inilah yang membunuh. Kami halal menumpahkan darah mereka
dan darah kalian'…" "Mereka lalu pergerak mengerahkan pasukan berkuda
dan pejalan kaki untuk menyerang kami. Tetapi akhirnya mereka dihancurkan oleh
Allah, nasibnya sama seperti orang-orang dzalim lainnya. Setelah itu
kuperintahkan kalian supaya berangkat ke Shiffin untuk menghadapi musuh,
tentara Syam. Sebab pendadakan seperti itu akan membuat hati mereka kecut dan akan
menggagalkan tipu daya mereka. Waktu itu kalian ternyata menjawab: 'Pedang kita
sudah banyak yang patah, kita kehabisan anak panah, dan ujung tombak kita sudah
banyak yang tumpul. Izinkanlah kita pulang dulu untuk mempersiapkan
perlengkapan dan perbekalan yang lebih baik. Kiranya engkau pun akan menambah
perlengkapan kita dengan senjata-senjata yang ditinggalkan teman-teman kita
yang telah tewas dan senjata-senjata bekas kepunyaan musuh. Itu akan merupakan
tambahan kekuatan bagi kita dalam menghadapi musuh'..." "Permintaan
kalian itu kami terima. Selama beberapa waktu menunggu, kalian kuperintahkan supaya
jangan meninggalkan kubu pertahanan, supaya lebih merapatkan barisan, siap
siaga menghadapi peperangan, dan jangan terlalu sering menengok anak isteri,
sebab itu akan melemahkan hati kalian dan dapat membelokkan fikiran kalian.
Pasukan yang sedang menghadapi peperangan tidak semestinya mengeluh, meratap
atau jemu bergadang di malam hari. Tidak semestinya pasukan itu mengeluh
kehausan atau lapar, sebelum mencapai sasaran dan tujuan yang diinginkan."
"Tetapi kenyataannya, ada sekelompok orang dari kalian yang meminta
kelonggaran dengan bermacam-macam alasan. Kelompok lainnya lagi menyelinap
masuk ke dalam kota lalu membelot. Mereka ini tidak ada yang datang kembali
kepadaku. Setelah kuperiksa, ternyata pasukan yang masih tetap tinggal
bersamaku hanya berjumlah 50 orang. Setelah aku melihat perbuatan kalian
seperti itu, kalian kudatangi, tetapi sampai hari ini kalian masih tetap tidak sanggup
keluar untuk menghadapi musuh bersama-sama kami." "Ya Allah, kasihan
benar orang-orangtua kalian! Apalagi sebenarnya yang kalian fikirkan? Tidakkah
kalian menyadari bahwa kekuatan kalian sekarang sudah berkurang? Tidakkah
kalian dapat melihat negeri kalian ini sudah diserang? Apa sebab kalian masih
berpaling muka? Bukankah musuh-musuh kalian itu sudah bersatu, bekerja keras
dan bertukar-fikiran, sedang kalian sekarang bercerai-berai, bertengkar dan
saling mengelabui satu sama lain? Jika kalian bersatu, kalian pasti selamat."
"Oleh karena itu bangunkanlah orang-orang yang sedang tidur nyenyak.
Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada kalian. Yang kalian perangi itu bukan
lain adalah kaum thulaqa dan keturunan orang-orang thulaqa, yaitu orang-orang
yang memeluk Islam hanya karena terpaksa. Orang-orang yang dahulu memerangi
Rasul Allah s.a.w., orang-orang yang memusuhi Al Qur'an dan Sunnah, orang-orang
yang dahulu bergabung dan bersekutu dalam perang Ahzab melawan kaum muslimin,
orang-orang ahli bid'ah yang banyak menimbulkan keonaran, orangorang yang
ditakuti karena kejahatannya, orang-orang yang menyeleweng dari agama, pemakan barang
yang bathil dan budak-budak dunia!" "Amr bin Al Ash itu sebenarnya
condong kepadaku. Ia berfihak pada Muawiyah hanya setelah menerima janji akan
diberi kekuasaan besar atas Mesir. Ia tidak segan-segan menjual agamanya untuk
mendapatkan kepentingan dunia! Muawiyah membelinya dengan menghamburkan uang
kekayaan kaum muslimin! Di antara orang fasik itu
ada yang pernah dihukum cambuk karena meneguk minuman haram. Mereka itulah yang
sekarang sedang menjadi pemimpin kaumnya. Orang-orang yang tidak kusebutkan
perbuatan buruknya, banyak yang lebih jahat dan lebih berbahaya. Yaitu
orang-orang yang jika sudah berpisah dari kalian, memperlihatkan kebenciannya
terhadap kalian. Mereka membangga-banggakan diri, menindas orang lain sewenang-wenang,
congkak, dengki dan banyak berbuat kerusakan di bumi. Mereka mengikuti hawa
nafsu dan memerintah dengan korup dan jalan suap (rasywah). Sedangkan kalian, walaupun
tidak saling bantu dan bertawakkal secara keliru, namun kalian masih jauh lebih
benar daripada jalan mereka." "Di antara kalian terdapat orang-orang
arif bijaksana (hukama), alim ulama, fuqaha (para ahli hukum syariat),
pengajar-pengajar Al-Qur'an, orang-orang yang hidup zuhud di dunia, orangorang yang
gemar mengunjungi masjid dan orang-orang ahli membaca Al Qur'an." "Apakah
kalian rela dan tidak marah kalau orang-orang berperangai jahat, bengis dan
kerdil seperti mereka itu hendak memaksakan kekuasaan kepada kalian?
Dengarkanlah kata-kataku dan taatilah perintahku bila kuperintahkan. Fahamilah
nasihatku jika aku beri nasihat. Percayailah ketegasanku bila aku sudah
bertindak. Ikutilah kebulatan tekadku bila aku sudah berniat! Bangunlah
mengikuti kebangkitanku dan seranglah orang-orang yang kuserang! Jika kalian
membangkang, kalian tidak akan mendapatkan petunjuk yang benar dan kalian tidak
akan dapat bersatu. Terjunilah peperangan dan siapkan semua perlengkapan.
Perang sudah berkobar dan apinya masih menyala-nyala. Orang-orang yang dzalim
itu hendak membasmi kalian melalui peperangan dengan tujuan untuk dapat leluasa
memadamkan cahaya Allah." "Demi Allah, seandainya aku seorang diri
menjumpai mereka berada di tengah-tengah penghuni bumi ini, lantas aku menaruh
perhatian kepada mereka, atau aku lantas lari menjauhi mereka karena takut, itu
berarti aku sudah sama sesatnya seperti mereka! Jalan hidayat yang selama ini
kupegang teguh, benar-benar kuhayati dengan penuh kesadaran dan keyakinan serta
berdasarkan petunjuk Allah Tuhanku. Aku sungguh-sungguh sudah sangat rindu
ingin berjumpa dengan Allah, dan aku benar-benar menunggu serta mengharap-harap
keindahan pahala dan karunia-Nya." "Tetapi
kerisauan dan kekecewaan meresahkan hatiku dan kekhawatiran menggelisah-kan fikiranku,
karena aku takut kalau-kalau ummat ini akan dikuasai oleh manusia-manusia jahat
dan durhaka. Kemudian mereka itu akan menggunakan kekayaan Allah sebagai alat
kekuasaan, menjadikan hamba-hamba Allah sebagai budak belian, menjadikan
orang-orang saleh sebagai umpan peperangan, dan menjadikan orang-orang yang
berlaku adil sebagai golongan terpencil." "Demi Allah, kalau bukan
karena semuanya itu, aku tidak akan terus menerus mengajak kalian, mempersatukan
kalian dan mendorong kalian supaya berjuang. Kalian pasti sudah kutinggalkan. Demi
Allah aku ini berada di atas jalan yang benar, dan aku sungguh-sungguh ingin
mati syahid.
Insyaa Allah, aku akan berangkat ke medan juang
bersama-sama kalian. Berangkatlah kalian, baik dalam keadaan merasa ringan atau
pun merasa berat. Berjuanglah di jalah Allah dengan harta dan nyawa kalian.
Sesungguhnya, Allah beserta orang-orang yang sabar." Pernyataan tertulis
Imam Ali r.a. tersebut di atas, secara keseluruhan menggambarkan betapa sulit
dan beratnya persoalan yang dihadapinya sepeninggal Rasul Allah s.a.w.,
terutama setelah dibai'at oleh kaum muslimin sebagai Khalifah dan Amirul
Mukminin. Serbuan Muawiyah ke Mesir Setelah perang Shiffin berhenti dan
Muawiyah bin Abi Sufyan melihat tidak ada lagi serangan yang dilancarkan Imam
Ali r.a., ia mengumpulkan para penasehatnya untuk dimintai pendapat tentang
rencana merebut wilayah Mesir dari kekuasaan Imam Ali. Kepada para penasehatnya
itu Muawiyah antara lain berkata: "Kalian telah menyaksikan sendiri kemenangan
yang telah dilimpahkan Allah kepada kita. Pada mulanya mereka tidak ragu-ragu hendak
menghancurkan kalian, menduduki negeri kalian dan menguasai kalian. Akan tetapi
Allah telah menggagalkan niat jahat mereka. Dengan pertolongan Allah kalian
telah berhasil mengalahkan mereka. Kalian mohon keadilan (tahkim) kepada Allah,
dan Allah sekarang telah menjatuhkan hukum-Nya atas mereka. Allah telah
memperkokohkan persatuan kita, mempererat persaudaraan kita, membuat musuh kita
berpecah-belah, saling kafir mengkafirkan dan saling bunuh membunuh. Demi Allah
aku mengharap mudah-mudahan Allah akan lebih menyem-purnakan lagi kemenangan
kita. Sekarang aku sedang berfikir untuk menyerbu Mesir. Bagaimana pendapat
kalian…?"
Menanggapi pertanyaan Muawiyah itu, para
penasehatnya menjawab, bahwa mengenai hal itu mereka mendukung apa yang menjadi
pendapat Amr Ibnul Ash. Berdasarkan pernyataan para penasehatnya itu, Muawiyah
menjelaskan: "Amr memang sudah mempunyai pendapat tegas dan bertekad
hendak menyerbu Mesir, tetapi ia belum menjelaskan langkah-langkah apa yang
harus kita lakukan!" Untuk menjelaskan langkah-langkah apa yang harus
dilakukan itu, Amr bin Al Ash berkata: "Aku sekarang hendak menjelaskan
apa yang sebaiknya harus engkau lakukan. Aku berpendapat, sebaiknya engkau
mengirim pasukan yang besar di bawah pimpinan seorang kuat, tegas dan mendapat
kepercayaan penuh. Bila sudah masuk ke Mesir ia pasti akan mendapat dukungan penduduk
yang sependirian dengan kita. Sedangkan terhadap orang-orang yang memusuhi
kita, mereka harus kita tundukkan dengan kekerasan. Kalau pasukan dan para
pengikutmu sudah bulat sepakat untuk memerangi musuh-musuhmu, kuharap Allah
s.w.t. akan memenangkan engkau…"
"Selain itu, bagaimana pendapatmu tentang
apa yang perlu kita lakukan sebelum menyerang mereka?" tanya Muawiyah
kepada Amr bin Al-Ash.
"Aku belum tahu…," sahut Amr. "Aku
mempunyai pendapat lain," ujar Muawiyah melanjutkan perkataannya.
"Kufikir, sebaiknya kita menyurati dulu pendukung-pendukung kita dan
musuh-musuh kita di Mesir. Kepada para pendukung kita anjurkan supaya mereka
tetap sabar dan tabah menunggu kedatangan pasukan kita. Sedangkan kepada
musuh-musuh kita, sebaiknya mereka itu kita ajak berdamai lebih dulu, sambil
kita gertak dengan kekuatan angkatan perang kita. Jika mereka menyambut baik
ajakan kita sehingga tidak terjadi peperangan, itulah yang kita inginkan.
Tetapi jika mereka menolak, kita tidak menemukan cara lain kecuali harus kita
perangi…"
"Kalau begitu, baiklah," jawab Amr.
"Kaulaksanakanlah pendapat itu. Demi Allah, bagaimanapun juga akhirnya
pasti terjadi peperangan…" Selesai pertemuan, Muawiyah segera menulis
surat kepada dua orang tokoh pendukung-nya di Mesir, yaitu Maslamah bin Makhlad
dan Muawiyah bin Hudaij Al-Kindiy. Dua orang tokoh tersebut adalah penentang
Imam Ali r.a. Dalam suratnya Muawiyah bin Abi Sufyan antara lain mengatakan:
"Allah s.w.t. telah memikulkan tugas besar di atas pundak kalian. Dengan
tugas itu kalian akan mendapat pahala sangat besar dan Allah akan mengangkat
kedudukan serta kalian. Kalian menuntut balas atas terbunuhnya Khalifah yang
madzlum (yakni Utsman bin Affan). Ketika kalian melihat hukum Allah dibiarkan,
kalian marah, kemudian kalian berjuang melawan orang dzalim yang memusuhi
Utsman. Hendaknya kalian tetap teguh berpendirian seperti itu dan teruskan perjuangan
melawan musuh kalian. Tariklah orang-orang yang masih menjauhi kalian berdua
agar mereka mau mengikuti pimpinan kalian. Sebuah pasukan akan datang untuk
memperkuat kalian, dan setelah itu akan tersingkirlah semua yang tidak kalian
sukai, dan apa yang kalian inginkan akan terwujud. Wassalaam." Surat
Muawiyah tersebut dibawa oleh seorang maula, bernama Subai, ke Mesir, untuk diterimakan
kepada dua tokoh pendukung Muawiyah tersebut di atas tadi.
Setelah dibaca oleh Maslamah bin Makhlad, surat
itu diteruskan kepada Muawiyah bin Hudaij disertai pemberitahuan, bahwa surat
itu akan dibalasnya sendiri dan juga atas nama Muawiyah bin Hudaij. Muawiyah
bin Hudaij menyatakan persetujuannya agar Maslamah menulis jawaban kepada
Muawiyah bin Abi Sufyan. Dalam surat jawabannya Maslamah antara lain
mengatakan: "…Perintah yang dipercayakan kepada kami berdua untuk terus
melawan musuh, merupakan kewajiban yang akan kami laksanakan, dengan harapan
semoga Allah akan melimpahkan pahala kepada kita. Mudahmudahan Allah akan memenangkan
kita atas orang-orang yang menentang kita, dan akan mempercepat pembalasan
terhadap orang-orang yang telah berbuat jahat memusuhi pemimpin kita, dan yang
hendak menginjak-injak negeri kita. "Di negeri ini (Mesir) kami telah
menyingkirkan orang-orang dzalim dan telah membangkitkan orang-orang yang
bersikap adil. Engkau telah menyebut-nyebut dukungan dan bantuan kami untuk
mempertahankan kekuasaan yang ada di tanganmu. Demi Allah, kami telah bangkit melawan
musuhmu bukan dengan niat untuk memperoleh kekayaan. Bukan itu yang kami inginkan,
meskipun Allah mungkin akan melimpahkan imbalan pahala di dunia dan akhirat. Kirimkanlah
segera kepada kami pasukan berkuda dan pejalan kaki. Sebab musuh sudah siap hendak
menyerang kami, sedang kekuatan kami sangat kecil dibanding dengan mereka. Pada
saat bantuanmu tiba, Allah pasti akan menjamin kemenangan bagimu..." Surat
Maslamah dan Ibnu Hudaij itu diterima Muawiyah di saat ia sedang berada di
Palestina. Para penasehatnya menyarankan supaya Muawiyah cepat-cepat
mengirimkan pasukan ke Mesir. Mereka mengatakan: "Insyaa Allah, engkau
pasti akan berhasil menaklukannya…" Muawiyah kemudian memerintahkan Amr
bin Al Ash supaya segera memobilisasi pasukan. Setelah siap segala-galanya, Amr
diperintahkan berangkat ke Mesir memimpin pasukan berkekuatan 6.000 orang.
Waktu mengantar keberangkatannya, Muawiyah bin Abi Sufyan berpesan:
"Kupesankan supaya engkau tetap bertaqwa kepada Allah. Hendaknya engkau
berkasih-sayang dan jangan terburu-buru. Sebab sikap seperti itu adalah dorongan
setan.
Hendaknya engkau mau menerima baik siapa saja
yang datang kepadamu, dan berikanlah maaf kepada orang-orang yang menjauhi
dirimu. Berilah kesempatan kepada mereka untuk kembali dan bertaubat. Bila
mereka sudah kembali dan bertaubat, engkau harus bersedia menerima dan memaafkan
perbuatan mereka. Tetapi jika mereka tetap menolak, engkau harus bersikap keras.
Sebab, kekerasan yang diambil setelah melalui peringatan lebih dulu, akan lebih
baik akibatnya. Hendaknya engkau menyerukan dan mengajak orang untuk berdamai
dan rukun serta bersatu. Sehingga apabila engkau menang, engkau akan mempunyai
pendukungpendukung yang terbaik. Oleh karena itu bersikaplah baik-baik kepada
semua orang…" Setibanya dekat Mesir, Amr bin Al Ash dan pasukannya
berhenti. Di tempat itu orang-orang dari penduduk Mesir yang menjadi pengikut
Utsman bin Affan r.a. datang bergabung. Kemudian Amr mengirim surat kepada
Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Isinya antara lain: "Hai Ibnu Abu Bakar…,
serahkanlah kedudukanmu kepadaku, karena tanganmu berlumuran darah (Utsman).
Aku tidak ingin melihat engkau celaka di
tanganku. Di negeri ini banyak orang yang sudah bertekad hendak melawanmu,
menolak perintahmu, dan menyesal pernah menjadi pengikutmu. Mereka hendak
menyerahkan dirimu kepadaku di waktu keadaan sudah menjadi genting.
Kunasehatkan, sebaiknya kautinggalkan saja negeri ini...!" Bersamaan
dengan surat itu, oleh Amr juga dilampirkan surat Muawiyah yang ditujukan
kepada Muhammad bin Abu Bakar Ash Shiddiq. Surat Muawiyah bin Abi Sufyan itu
isinya antara lain: "Apabila kedzaliman dan kedurhakaan sudah merajalela,
pasti besarlah akibat buruk yang ditimbulkan. Orang yang telah menumpahkan
darah secara tidak sah, tak akan terhindar dari pembalasan di dunia dan siksa
berat di akhirat. Aku belum pernah melihat orang yang melebihi engkau dalam
berbuat jahat, mencerca dan menentang Utsman bin Affan. Bersama-sama orang lain
engkau berusaha dan saling bantu untuk menumpahkan darahnya. Lantas, apakah
engkau mengira bahwa aku akan melupakan perbuatanmu itu?" Seterusnya
dikatakan: "Sekarang engkau tinggal di sebuah negeri dengan aman dan
tenteram, padahal di negeri itu banyak sekali pengikut dan pendukungku. Mereka
itu ialah orang-orang yang sependirian dengan aku, menolak semua omonganmu, dan
berteriak minta tolong kepadaku. Aku telah mengerahkan sebuah pasukan untuk
memerangimu, dan mereka itu adalah orang-orang yang sangat dendam terhadap
dirimu. Mereka akan menumpahkan darahmu, dan akan bertaqarrub kepada Allah
melalui perjuangan melawanmu. Mereka telah bersumpah
hendak membunuhmu. Seandainya mereka tidak sampai
dapat memenuhi sumpah masingmasing, Allah pasti akan mencabut nyawamu, entah
melalui tangan mereka atau tangan para hamba-Nya yang lain. Engkau
kuperingatkan, bahwa Allah tetap menuntut balas kepadamu atas terbunuhnya
Utsman, yang disebabkan oleh kedzalimanmu, kedurhakaanmu dan tusukan tombakmu.
Walaupun begitu…, aku tidak ingin membunuhmu. Aku tidak mau berbuat seperti itu
terhadap dirimu. Allah tidak akan menyelamatkan dirimu dari pembalasan, di mana
pun engkau berada dan sampai kapan pun juga. Oleh karena itu, lepaskanlah
kedudukanmu dan selamatkan dirimu sendiri. Wassalaam." Setelah dua surat
tersebut dibaca oleh Muhammad bin Abu Bakar, kemudian dilipat untuk diteruskan
kepada Amirul Mukminin Imam Ali r.a., dengan disertai pengantar sebagai
berikut: "Ya Amirul Mukminin, si durhaka Ibnul Ash kini telah tiba dekat
Mesir. Orang dari penduduk Mesir yang sependirian dengan dia berhimpun di
sekelilingnya. Ia datang membawa sebuah pasukan besar. Kulihat ada tanda-tanda
patah semangat di kalangan orang-orang yang menjadi pendukungku. Jika engkau
masih tetap hendak mempertahankan Mesir, harap segera mengirimkan beaya dan
pasukan. Wassalamu'alaika wa rahmattullahi wabarakaatuh." Sesudah Imam Ali
r.a. membaca surat-surat yang dikirimkan oleh Muhammad bin Abu Bakar, ia segera
menulis jawaban: "Utusanmu telah datang membawa suratmu kepadaku. Dalam
surat tersebut engkau mengatakan, bahwa Ibnul Ash sekarang telah datang di
Mesir membawa sebuah pasukan besar, dan bahwa orang-orang yang sependirian
dengan dia telah bergabung kepadanya. Keluarnya orang-orang yang sependirian
dengan dia dari barisanmu itu lebih baik daripada kalau mereka tetap tinggal
bersamamu. Engkau menyebutkan juga, bahwa ada orangorang yang tampak patah
semangat. Tetapi engkau sendiri jangan sampai patah semangat. Pertahankanlah
wilayah negerimu, himpunlah semua pendukungmu, perkuat pengawasan dalam pasukanmu,
dan angkatlah Kinanah bin Bisyir sebagai pimpinan pasukan. Ia seorang yang terkenal
bijaksana, berpengalaman dan pemberani. Dalam keadaan sulit rakyat kupercayakan
kepadamu. Oleh karena itu hendaknya engkau tetap tabah menghadapi musuh dan
senantiasa tetap waspada. Perangilah mereka dengan keteguhan tekadmu, dan
lawanlah mereka sambil bertawakkal kepada Allah s.w.t." Selanjutnya Imam
Ali r.a. mengatakan: "Sekalipun fihakmu lebih sedikit jumlahnya, namun Allah
berkuasa menolong fihak yang sedikit dan mengalahkan fihak yang berjumlah
banyak. Aku sudah membaca dua pucuk surat yang dikirimkan kepadamu oleh dua
orang durhaka yang berpelukan mesra dalam perbuatan maksiyat, bergandeng-tangan
dalam kesesatan, saling suap dalam pemerintahan, dan sama-sama sombongnya
terhadap para ahli agama. Janganlah engkau gentar menghadapi dua orang itu, dan
jawablah mereka, engkau boleh menggunakan 'bahasa' apa saja menurut kehendakmu.
Wassalaam." Selesai menulis surat, Imam Ali r.a. segera mengumpulkan para
pengikutnya kemudian mengucapkan khutbah: "Muhammad bin Abu Bakar Ash
Shiddiq dan saudara-saudara kalian di Mesir sekarang menjerit minta bantuan,
karena anak si Nabighah (yakni Amr) sekarang sudah bergerak membawa pasukan
besar hendak menyerang mereka. Anak si Nabighah itu ialah musuh Allah, musuh
orang-orang yang hidup di bawah pimpinan Allah, dan pemimpinnya orangorang yang
memusuhi Allah. Oleh karena itu hai para saudara kita di Mesir, Mesir jauh
lebih besar daripada Syam, penduduknya pun lebih baik. Janganlah kalian sampai
terkalahkan di Mesir. Adalah suatu kehormatan bagi kalian jika Mesir tetap
berada di tangan kalian. Itu pun sekaligus merupakan pukulan hebat bagi musuh
kalian. Berangkatlah kalian ke Jara'ah dan kita semua besok akan berkumpul di
sana. Insyaa Allah."
Keesokan harinya Imam Ali r.a. berangkat ke
Jara'ah. Setibanya di sana ia berhenti menunggu sampai tengah hari. Ternyata
hanya 100 orang saja yang datang hendak mengikuti. Melihat gelagat seperti itu,
Imam Ali r.a. pulang ke Kufah. Malam harinya ia mengumpulkan sejumlah pengikut
terkemuka. Dalam pertemuan itu Imam Ali r.a. tampak sedih dan sangat kecewa. Ia
berkata: "Puji syukur ke hadirat Allah yang mengatur semua urusan menurut
takdir-Nya, dan yang menilai siapa-siapa berbuat kebajikan. Dialah yang memberi
cobaan kepadaku dalam menghadapi kalian. Hai saudara-saudara, kalian itu
sebenarnya adalah kelompok orang-orang yang tidak mau taat bila kuperintah, dan
tidak mau menyambut bila kuajak. Celaka sekali kalian itu! Kemenangan apa yang
kalian tunggu jika kalian enggan berjuang membela hak-hak kalian? Di dunia ini
sesungguhnya mati lebih baik daripada hidup meninggalkan kebenaran!" "Demi
Allah," kata Imam Ali r.a. seterusnya, "seandainya maut datang
kepadaku --dan biarlah ia datang-- kalian akan melihat aku benar-benar marah
menjadi teman bagi orang-orang seperti kalian! Apakah kalian tidak mempunyai
agama yang mewajibkan kalian bersatu? Apakah kalian tidak bisa marah kalau
kehormatan kalian diinjak-injak? Apakah kalian tidak mendengar bahwa musuh
kalian hendak mengurangi wilayah negeri kalian dan mereka sekarang sedang melancarkan
serangan terhadap kalian? Apakah tidak aneh kalau orang-orang durhaka dan dzalim
bisa menyambut baik ajakan Muawiyah dan bersedia dikerahkan kemana saja menurut
kehendaknya? Sedangkan kalian sendiri, tiap kuajak pasti bertengkar, lari
bercerai-berai menjauhi aku, mem-bangkang dan membantah…!" Di Mesir,
seterimanya surat yang berisi petunjuk dari Imam Ali r.a., Muhammad bin Abu
Bakar segera menulis jawaban kepada Amr bin Al Ash, yang isinya: "Aku
sudah memahami isi suratmu dan telah mengerti apa yang kausebutkan. Seolah-olah
engkau tidak suka melihatku celaka di tanganmu, tetapi aku bersaksi, demi
Allah, bahwa engkau itu adalah salah seorang yang hidup bergelimang dalam
kebatilan. Seolah-olah engkau memberi nasehat kepadaku, tetapi aku bersumpah,
bahwa sesungguhnya bagiku engkau adalah musuh yang harus dicurigai. Engkau mengatakan
bahwa penduduk negeri ini emoh kepadaku dan menyesal pernah jadi pengikutku, tetapi
orang-orang yang seperti itu sebenarnya hanyalah mereka yang bersekutu dengan
setan terkutuk. Aku berserah diri kepada Allah, Tuhan semesta alam, karena
hanya Dia-lah tempat orang berserah diri yang sebaik-baiknya." Bersamaan
dengan itu, Muhammad bin Abu Bakar juga menulis jawaban kepada Muawiyah bin Abi
Sufyan. Isinya antara lain: "Suratmu sudah kuterima. Engkau menyebut-nyebut
persoalan Utsman bin Affan, suatu persoalan yang aku tidak perlu minta maaf
kepadamu. Seolah-olah engkau hendak memberi nasehat kepadaku dengan menggertak
supaya aku menyerahkan kedudukan kepadamu. Dengan menakut-nakuti aku, engkau
sekaligus juga berpura-pura menunjukkan belas kasihan kepadaku. Padahal
sebenarnya aku sendiri sangat mengharapkan bencana menimpa kalian.
Mudah-mudahan Allah akan menghancurkan kalian dalam peperangan sehingga kalian
akan menjadi orang-orang hina yang lari tunggang langgang. Kalau sampai engkau
berkuasa di dunia ini, demi Allah, betapa banyaknya orang dzalim yang akan
kaubela. Betapa banyaknya orang mukmin yang akan kaubunuh dan kaucincang! Hanya
kepada Allah sajalah semua persoalan kembali. Sesungguhnya Dia-lah Maha
Pengasih dan Penyayang…" Seterimanya surat jawaban dari Muhammad bin Abu
Bakar, Amr bin Al Ash dan pasukannya mulai bergerak memasuki Mesir. Mendengar
berita tentang gerakan Amr tersebut, Muhammad bin Abu Bakar berpidato di depan
umum:
"Hai orang-orang yang beriman, ketahuilah
bahwa kaum yang sudah biasa melanggar kehormatan, yang tenggelam dalam
kesesatan, dan yang terus menerus berbuat sewenangwenang sekarang sudah
terang-terangan menyatakan permusuhan terhadap kalian. Mereka sedang bergerak
menuju negeri kalian ini dengan membawa pasukan bersenjata. Oleh karena itu,
barang siapa yang menginginkan sorga dan pengampunan dari Allah s.w.t., ia
harus berani keluar dan berjuang melawan mereka dengan niat semata-mata untuk
memperoleh keridhoan Allah. Majulah menggempur mereka bersama-sama Kinanah bin
Bisyir!" Kinanah bin Bisyir kemudian diserahi tugas memimpin pasukan
sebesar 2.000 orang, sedangkan Muhammad bin Abu Bakar bertahan di belakang
dengan 2.000 orang pengikut. Amr bin Al Ash
bergerak terus menghadapi pasukan Kinanah yang
mengambil posisi di depan pasukan Muhammad. Ketika sudah mendekati pasukan
Kinanah, Amr menggerakkan pasukannya regu demi regu. Tiap regu Syam yang berani
mendekat, selalu berhasil dipukul mundur oleh pasukan Kinanah. Ini terjadi sampai
berulang kali. Ketika Amr melihat pasukannya dalam keadaan meresahkan
cepat-cepat ia mengirim kurir kepada Muawiyah bin Hudaij untuk minta bantuan.
Permintaan Amr itu segera dipenuhi Muawiyah bin Hudaij dengan mengerahkan
pasukan besar. Melihat pasukan musuh yang berjumlah sangat banyak itu, Kinanah
dan sejumlah anggota pasukannya turun dari kuda, lalu melancarkan serangan
keras terhadap musuh dengan pedang. Dengan gigih ia menyerang terusmenerus, dan
akhirnya gugur di medan tempur sebagai pahlawan syahid. Setelah Kinanah mati
terbunuh, Muawiyah bin Hudaij maju ke depan barisan untuk mencari-cari Muhammad
bin Abu Bakar. Waktu itu para pendukung Muhammad sudah lari bercerai-berai meninggalkannya.
Muhammad keluar berjalan kaki pelahan-lahan sampai tiba di sebuah rumah tua
yang sudah rusak. Lalu masuk ke dalam untuk berlindung. Saat itu Amr rnasih
bergerak terus sampai ke Fusthat, sedangkan Ibnu Hudaij masih terus
mencari-cari Muhammad bin Abu
Bakar. Akhirnya ia berjumpa dengan orang-orang
yang sedang lari untuk menyelamatkan diri. Waktu Ibnu Hudaij bertanya apakah
ada orang yang mencurigakan lewat, mereka menjawab: "Tidak!" Tetapi
kemudian salah seorang di antara mereka menambahkan: "Aku tadi masuk ke
dalam rumah tua itu, dan kulihat di dalamnya ada seorang lelaki sedang
duduk." Seketika itu juga Muawiyah bin Hudaij berteriak: "Nah…, itu
mesti dia…, demi Allah!" Bersama beberapa temannya ia masuk ke dalam, lalu
Muhammad bin Abu Bakar diseret keluar dalam keadaan hampir mati kehausan,
kemudian di bawa ke Fusthat. Ketika melihat saudaranya diseret-seret oleh Ibnu
Hudaij, Abdurrahman bin Abu Bakar segera lari menemui Amr, kemudian berkata:
"Demi Allah, saudaraku jangan sampai dibunuh perlahanlahan.
Perintahkan orang supaya melarang Ibnu Hudaij
berbuat seperti itu!" Atas permintaan Abdurrahman, Amr memerintahkan
supaya Muhammad bin Abu Bakar dibawa kepadanya. Akan tetapi Ibnu Hudaij
menjawab: "Kalian telah membunuh anak pamanku, Kinanah bin Bisyir. Apakah
aku harus membiarkan Muhammad hidup? Tidak!" Dalam suasana sangat tegang
itu Muhammad minta diberi air seteguk untuk menghilangkan dahaga. Permintaan
Muhammad itu ditolak Ibnu Hudaij dengan kata-kata: "Setetespun engkau tidan
akan kuberi air. Engkau dulu menghalang-halangi Utsman bin Affan sampai tidak bias
mendapatkan air minum, kemudian ia kau bunuh dalam keadaan "berpuasa"
kehausan. Hai Ibnu Abu Bakar, demi Allah, engkau akan kubunuh dalam keadaan
haus kekeringan. Biarlah Allah nanti memberi minum kepadamu dengan air mendidih
dari neraka Jahim dan nanah!" Muhammad bin Abu Bakar yang sudah hampir
kehilangan tenaga masih menjawab dengan penuh semangat: "Hai anak
perempuan Yahudi, pada hari itu nanti tidak ada urusan denganmu atau Utsman.
Itu hanya semata-mata urusan Allah. Dia-lah yang akan memberi minum kepada hamba-hamba-Nya
yang shaleh, dan membuat musuh-musuh-Nya haus kekeringan! Yaitu orangorang seperti
engkau, teman-temanmu, orang yang mengangkatmu sebagai pemimpin, dan orang yang
kau pimpin! Demi Allah, seandainya pedang masih ada di tanganku, orang-orangmu tidak
akan dapat menyentuhku!" "Tahukah engkau," tanya Muawiyah bin
Hudaij, "apa yang akan kuperbuat atas dirimu? Engkau akan kujejalkan ke
dalam perut bangkai keledai itu, lantas akan kubakar sampai hangus!" "Kalau
engkau berbuat seperti itu," ujar Muhammad bin Abu Bakar, "perbuatan
itu sesungguhnya kaulakukan terhadap seorang hamba Allah yang shaleh. Demi
Allah, mudahmudahan Allah akan membuat api yang kau gunakan untuk
menakut-nakuti itu menjadi sejuk dan tidak berbahaya. Sama seperti api yang
digunakan membakar Nabi Ibrahim a.s. dahulu. Dan mudah-mudahan Allah akan
membuatmu dan membuat pemimpin-pemimpinmu sama seperti Namrud dan orang-orang
kepercayaannya. Semoga Allah akan membakarmu, membakar pemimpin-pemimpinmu,
Muawiyyah dan orang itu (ia menunjuk dengan jari ke arah Amr bin Al Ash)…, dengan
api neraka yang berkobar-kobar. Tiap hampir padam akan lebih dikobarkan lagi oleh
Allah!" "Aku tidak membunuhmu secara dzalim," jawab Muawiyah bin
Hudaij. "Aku membunuhmu karena engkau telah membunuh Utsman!" "Apa
urusanmu dengan Utsman, orang yang telah berbuat dzalim dan mengganti hukum
Allah," sahut Muhammad bin Abu Bakar dengan tegas. "Pada hal Allah
telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa menetapkan hukum tidak
menurut apa yang telah diturunkan Allah, mereka adalah orang-orang kafir,
orang-orang dzalim, orang-orang durhaka. Kami bertindak keras terhadapnya
karena hal-hal yang telah diperbuat olehnya. Kami menuntut supaya ia melepaskan
jabatan, tetapi ia menolak, dan akhirnya ia dibunuh orang!" Mendengar jawaban
Muhammad itu, Muawiyah bin Hudaij naik pitam. Pedang diayun dan Muhammad bin
Abu Bakar dipenggal lehernya. Jenazahnya dijejalkan ke dalam perut keledai, kemudian
dibakar sampai hangus. Mendengar saudaranya mengalami nasib malang, Sitti
Aisyah r.a. tersayat-sayat hatinya dan sangat sedih. Tiap selesai shalat ia
selalu mohon kepada Allah s.w.t. supaya menjatuhkan adzab kepada Muawiyah bin
Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij. Keluarga yang ditinggalkan
Muhammad di pelihara oleh Sitti Aisyah r.a., termasuk Al-Qasim bin Muhammad. Menurut
berbagai sumber riwayat, sejak terjadinya peristiwa sangat kejam itu Sitti
Aisyah r.a. tidak mau lagi makan panggang daging sampai akhir hayatnya. Tiap
teringat kepada saudaranya, ia menyumpah-nyumpah: "Binasalah Muawiyah bin
Abi Sufyan, Amr bin Al Ash, Muawiyah bin Hudaij!" Sedangkan Asma binti
'Umais, ibu Muhammad, ketika mendengar kemalangan menimpa anak kandungnya, ia
muntah darah dalam mushalla, akibat menahan marah dan dendam. Waktu Imam Ali
r.a. mendengar berita tewasnya Muhammad bin Abu Bakar, ia sangat pilu dan sedih.
Tindakan buas terhadap Muhammad itu terbayang-bayang di pelupuk matanya. Dalam suatu
khutbahnya sesudah kejadian itu ia mengatakan: "Mesir sekarang telah
ditaklukkan oleh orang-orang durhaka dan pemimpin-pemimpin dzalim lagi bathil.
Mereka itu ialah orang-orang yang selama ini berusaha membendung jalan menuju
kebenaran Allah, dan orang-orang yang hendak menyelewengkan agama Islam.
Muhammad bin Abu Bakar telah gugur sebagai pahlawan syahid. Semoga Allah
melimpahkan rahmat kepadanya. Perhitungan tentang kematiannya itu kita serahkan
kepada Allah." "Demi Allah," kata Imam Ali r.a. selanjutnya,
"sebagaimana kuketahui ia memang seorang yang penuh tawakkal kepada Allah
dan rela menerima takdir Ilahi. Ia telah berbuat untuk memperoleh pahala. Ia
seorang yang sangat benci kepada segala bentuk kedurhakaan, dan sangat
mencintai jalan hidup orang-orang beriman." "Demi Allah, aku tidak
menyesali diriku karena tidak sanggup berbuat. Aku tahu benar bagaimana beratnya
resiko penderitaan dalam peperangan. Aku sanggup dan berani menghadapi perang,
aku mengerti bagaimana harus bertindak tegas, dan aku pun mempunyai pendapat
yang tepat. Oleh karena itu aku berseru kepada kalian untuk memperoleh balabantuan
dan pertolongan. Tetapi kalian tidak mau mendengarkan perkataanku, tidak mau mentaati
perintahku, sehingga urusan yang kita hadapi ini berakibat sangat buruk. "Kurang
lebih 50 hari yang lalu, kalian kuajak membantu saudara-saudara kalian di
Mesir, tetapi kalian maju mundur. Kalian merasa berat seperti orang-orang yang
memang tidak mempunyai niat berjuang, yaitu orang-orang yang tidak pernah
berfikir ingin memperoleh imbalan pahala." "Akhirnya aku hanya dapat
menghimpun pasukan kecil, jumlahnya sangat sedikit, lemah dan tidak kompak.
Mereka ini seolah-olah hanya untuk digiring menghadapi maut yang ada di depan mereka!
Alangkah buruknya kalian itu!" Selesai mengucapkan khutbah yang pedas
didengar itu, ia turun dan pergi. Teror Abdul Rahman bin Muljam Sekelompok
orang-orang Khawarij berkumpul memperbincangkan nasib sanak famili dan
temanteman mereka yang telah mati terbunuh dalam berbagai peperangan. Mereka
berpendapat, bahwa tanggung-jawab atas terjadinya pertumpahan darah selama ini
harus dipikul oleh tiga orang: Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan
Amr bin Al Ash. Tiga orang itu oleh mereka disebut dengan istilah
"pemimpin-pemimpin yang sesat". Salah seorang di antara yang sedang
berkumpul itu, bernama Albarak bin Abdullah. Ia bangkit berdiri sambil berkata:
"Akulah yang akan membikin beres Muawiyah bin Abi Sufyan!" Teriakan
Albarak itu diikuti oleh Amr bin Bakr dengan kata-kata: "Aku yang membikin
beres Amr bin Al Ash!" Abdurrahman bin Muljam tak mau ketinggalan. Ia
berteriak: "Akulah yang akan membikin beres Ali bin Abi Thalib!" Tiga
orang tersebut kemudian bersepakat untuk melaksanakan pembunuhan dalam satu
malam terhadap tiga orang calon korban: Imam Ali r.a., Muawiyah bin Abi Sufyan
dan Amr bin Al Ash.
Terdorong oleh kekacauan aqidah dan semangat
balas dendam, tiga orang Khawrij itu bertekad hendak cepat-cepat melaksanakan
rencana mereka. Berangkatlah Abdurrahman bin Muljam meninggalkan Makkah menuju
Kufah. Setibanya di Kufah, ia singgah di rumah salah seorang teman-lamanya. Di
situ ia bertemu dengan seorang gadis bernama Qitham binti Al Akhdar. Paras
gadis ini elok dan cantik. Tidak ada gadis lain di daerah itu yang mengungguli
kecantikan parasnya. Ayah dan saudara lelaki Qitham adalah orang-orang Khawarij
yang mati terbunuh dalam perang Nehrawan.
Waktu melihat kecantikan gadis itu, Abdurrahman
bin Muljam sangat terpesona dan tergiur hatinya. Dengan terus terang ia
bertanya kepada Qitham, bagaimana pendapat gadis jelita itu kalau ia mengajukan
lamaran untuk dijadikan isteri. Qitham ketika itu menyahut: "Maskawin apa
yang dapat kauberikan kepadaku?" "Terserah kepadamu, apa yang
kauinginkan," jawab Abdurrahman bin Muljam. "Aku hanya minta supaya
engkau sanggup memberi empat macam," sahut gadis itu menjelaskan:
"Uang sebesar 3.000 dirham, seorang budak lelaki dan seorang budak
perempuan dan kesanggupanmu membunuh Ali bin Abi Thalib! permintaanmu yang berupa uang 3.000 dirham,
seorang budak lelaki dan seorang budak perempuan, aku pasti dapat
memenuhinya," jawab Abdurrahman, "tetapi tentang membunuh Ali bin Abi
Thalib, bagaimana aku bisa menjamin?" "Engkau harus bisa mengintai
kelengahannya," ujar Qitham. "Jika engkau berhasil membunuh dia, aku
dan engkau akan bersama-sama merasa lega dan engkau akan dapat hidup
disampingku selama-lamanya!"
Sebenarnya, sebelum Abdurrahman bertemu dengan
Qitham binti Al Akhdar, ia sudah mulai bimbang melaksanakan niat membunuh Imam
Ali r.a. Sebab, tidaklah mudah bagi dirinya melaksanakan pembunuhan itu.
Perbuatan itu merupakan tindakan petualangan yang berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
Tetapi suratan takdir rupanya mengendaki supaya Abdurrahman lebih bertambah
berani, hilang keraguannya dan nekad berbuat dosa yang amat jahat. Tampaknya
takdir membiarkan tangan Abdurrahman nyelonong bagaikan anak-panah terlepas
dari busurnya. Secara kebetulan ia seolah-olah digiring singgah ke rumah teman lamanya
dan dipertemukan dengan seorang gadis bernama Qitham! Setelah terjadi pembicaraan
tentang maskawin, akhirnya Abdurrahman mernberikan jawaban terakhir:
"Permintaanmu tentang pembunuhan Ali bin Abi Thalib akan kupenuhi." Sebagaimana
tersebut di atas tadi Al-Barak bin Abdullah, Amr bin Bakr dan Abdurrahman bin Muljam,
telah sepakat hendak melasanakan pembunuhan serentak dalam satu malam, pada waktu
subuh. Tetapi terjadi satu kebetulan yang agak aneh juga, karena tragedi yang ditimbulkan
oleh tiga orang komplotan tersebut ternyata berakhir dengan akibat yang berlainan.Amr
bin Al-Ash secara kebetulan tidak mengalami nasib seperti yang dialami
temannya. Cerita tentang peristiwanya itu sebagai berikut: "Pada malam
terjadinya peristiwa itu, Amr bin Al-Ash merasa terganggu kesehatannya. Ia
tidak keluar bersembahyang di masjid dan tidak juga untuk keperluan lainnya. Ia
memerintahkan seorang petugas keamanan, bernama Kharijah bin Hudzafah, supaya
mengimami shalat subuh jama'ah sebagai penggantinya. Amr bin Bakr menduga,
bahwa Kharijah itu adalah Amr bin Al-Ash. Amr bin Bakr segera menyelinap dan mendekat,
kemudian Kharijah ditikam dengan senjata tajam. Seketika itu juga Kharijah meninggal
dan Amr bin Bakr sendiri tertangkap basah. Waktu dihadapkan kepada Amr bin Al- Ash,
ia (Amr bin Al Ash) berkata kepadanya : 'Engkau menghendaki nyawaku, tetapi
Allah ternyata menghendaki nyawa Kharijah bin Hudzafah!' Setelah itu ia
memerintahkan supaya Amr bin Bakr segera dibunuh." Adapun Muawiyah yang
menjadi sasaran Al-Barak bin Abdullah, pada saat ia sedang lengah, ditikam oleh
Al-Barak. Mujur bagi Muawiyah. Ia tidak mati, sebab tikaman itu hanya mengenai samping
pantatnya. Hal itu dimungkinkan karena sejak terbukanya permusuhan antara Imam
Ali r.a. dengan dirinya, Muawiyah selalu mengenakan baju berlapis besi.
Al-Barak tertangkap dan ia dihadapkan kepada Muawiyah. Mengenai peristiwa ini
terdapat penulisan sejarah yang agak berlainan. Abu Faraj Al-Ashfahaniy mengatakan:
"Waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah, ia berkata: "Aku membawa
berita untukmu." Muawiyah bertanya: "Berita Apa?" Al-Barak lalu
menceritakan apa yang pada malam itu dilakukan oleh dua orang temannya. "Malam
itu…," katanya, "…Ali bin Abi Thalib akan mati dibunuh. Biarlah aku
kau tahan dulu. Jika benar ia mati terbunuh, terserahlah apa yang hendak kau
lakukan terhadap diriku. Tetapi jika ternyata ia tidak berhasil dibunuh, aku
berjanji kepadamu, akulah yang akan membunuhnya. Lantas aku akan kembali lagi kepadamu
menyerahkan diri. Selanjutnya terserah hukuman apa yang akan kau jatuhkan atas
diriku!" Al-Barak lalu ditahan oleh Muawiyah. Setelah terdengar berita
tentang terbunuhnya Imam Ali r.a., Al-Barak dibebaskan. Sumber riwayat lain
mengatakan dengan pasti, bahwa waktu Al-Barak dihadapkan kepada Muawiyah,
seketika itu juga Muawiyah memerintahkan supaya Al-Barak segera dibunuh.
Allah s.w.t. rupanya telah mentakdirkan bahwa
Imam Ali r.a. harus meninggal karena pembunuhan pada waktu subuh tanggal 17
Ramadhan, tahun 40 Hijriyah. Ketika Imam Ali r.a.sedang menuju masjid, sesudah
mengambil air sembahyang untuk melakukan shalat subuh, tiba-tiba muncul
Abdurrahman bin Muljam dengan pedang terhunus. Imam Ali r.a. yang terkenal
ulung itu tak sempat lagi mengelak. Pedang yang ditebaskan Abdurrahman tepat mengenai
kepalanya. Luka berat merobohkannya ke tanah. Imam Ali r.a. segera diusung kembali
ke rumah. Saat itu semua orang geram sekali hendak melancarkan tindakan balas
dendam terhadap Ibnu Muljam. Tetapi Imam Ali r.a. sendiri tetap lapang dada dan
ikhlas, tidak berbicara sepatahpun tentang balas dendam. Tak ada isyarat apa
pun yang diberikan ke arah itu. Semua orang yang berkerumun di pintu rumahnya
merasa sedih. Mereka berdoa agar Imam Ali r.a. dilimpahi rahmat Allah yang
sebesar-besarnya dan dipulihkan kembali kesehatannya. Semua mengharap semoga ia
dapat melanjutkan perjuangan menghapus penderitaan manusia.
Beberapa orang sahabat Imam Ali r.a. mendatangkan
tabib terbaik di Kufah. Seorang tabib yang berpengalaman mengobati luka,
bernama Atsir Ibnu Amr bin Hani. Setelah memeriksa luka-luka di kening, dengan
hati cemas dan suara putus asa, Atsir memberi tahu: "Ya Amiral Mukminin,
berikan sajalah apa yang hendak anda wasiyatkan. Pukulan orang terkutuk itu
mengenai selaput otak anda."
Imam Ali r.a. tidak mengeluh. Ia menyerahkan
nasib sepenuhnya kepada Allah s.w.t. Ia memanggil dua orang puteranya: Al Hasan
r.a. dan Al Husein r.a. Dari seluruh hidupnya yang penuh dengan
pengalaman-pengalaman pahit dalam perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan
Rasul-Nya, Imam Ali r.a. menarik pelajaran-pelajaran yang sangat tinggi
nilainya. Hal itu dituangkan dalam wasiyat yang diberikan kepada
putera-puteranya beberapa saat sebelum meninggalkan dunia yang fana ini. Abu
Ja'far Muhammad bin Jarir At Thabariy dalam Tarikh-nya dan Abu Faraj Al
Ashfahaniy dalam Maqatilut Thalibiyyin masing-masing mengetengahkan wasiyat
Imam Ali r.a. sebagai berikut: "Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah Yang Maha Esa tanpa sekutu apapun bagi-Nya, dan bahwa Muhammad adalah hamba
Allah dan Rasul-Nya, diutus membawa hidayat dan agama yang benar, untuk
dimenangkan atas agama-agama lain, walau kaum musyrikin tidak menyukainya.
Kemudian shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semuanya kupersembahkan kepada
Allah, Tuhan penguasa alam semesta, tanpa sekutu apa pun bagi-Nya. Itulah yang diperintahkan
kepadaku, dan aku ini adalah orang muslim pertama. "Kuwasiyatkan kepada
kalian berdua supaya tetap bertaqwa kepada Allah. Janganlah kalian mengejar-ngejar
dunia walau dunia mengejar kalian, dan janganlah menyesal jika ada sebagian dunia
itu lepas meninggalkan kalian. Katakanlah hal-hal yang benar dan berbuatlah
untuk memperoleh pahala akhirat. Jadilah kalian penentang orang dzalim dan pembela
orang madzlum." "Kuwasiyatkan kepada kalian berdua, kepada semua
anak-anakku, para ahlu-baitku, dan kepada siapa saja yang mendengar wasiyatku
ini, supaya senantiasa bertaqwa kepada Allah. Hendaknyakalian mengatur
baik-baik urusan kalian dan jagalah hubungan persaudaraan di antara kalian. Sebab aku mendengar sendiri Rasul
Allah s.a.w. mengatakan: Memperbaiki dan menjaga baikbaik hubungan persaudaraan
antara sesama kaum muslimin lebih afdhal daripada sembahyang dan puasa umum.
Ketahuilah, bahwa pertengkaran itu merusak agama, dan ingatlah bahwa tak ada
kekuatan apa pun selain atas perkenaan Allah. Perhatikanlah keadaan sanak
famili kalian dan eratkan hubungan dengan mereka, Allah akan melimpahkan
kemudahan kepada kalian di hari perhitungan kelak."
"Allah…, Allah, perhatikanlah anak-anak
yatim. Janganlah mereka itu sampai kelaparan dan jangan sampai kehilangan hak.
Aku mendengar sendiri Rasul Allah s.a.w. berpesan: Barang siapa mengasuh anak
yatim sampai ia menjadi kecukupan, orang itu pasti akan dikaruniai sorga oleh
Allah. Sama halnya seperti siksa neraka yang pasti akan ditimpakan Allah kepada
orang yang memakan harta anak yatim."
"Allah…, Allah, perhatikanlah Al-Qur'an,
jangan sampai kalian kedahuluan orang lain dalam mengamalkannya. Allah…,
Allah…, perhatikanlah tetangga-tetangga kalian, sebab mereka itu adalah wasiyat
Nabi kalian. Sedemikian sungguhnya beliau mewasyiatkan, sampai kami menduga
bahwa beliau akan menetapkan hak waris bagi mereka. Allah…, Allah…,
perhatikanlah rumah Allah, masjid Al-Haram, janganlah kalian tinggalkan selama
kalian masih hidup. Sebab jika sampai kalian tinggalkan, kalian tidak akan
dipandang orang. Barang siapa selalu dekat kepadanya, Allah akan mengampuni
dosa dosanya yang telah lalu. Allah…, Allah…, peliharalah shalat baik-baik,
sebab shalat itu amal perbuatan yang paling mulia dan merupakan tiang agama
kalian. Allah…, Allah…, tunaikanlah zakat sebagaimana mestinya, sebab zakat itu
meniadakan murka Allah. Allah…, Allah…, laksanakanlah puasa bulan Ramadhan,
sebab puasa itu merupakan penutup jalan ke neraka." "Allah…, Allah…,
berjuanglah di jalan Allah dengan harta dan jiwa kalian. Hanya ada dua macam
saja orang yang berjuang di jalan Allah, yaitu seorang pemimpin yang memberikan
bimbingan dan orang yang patuh kepada pemimpin serta mengikuti kebenaran pimpinannya.
Allah..., Allah…, jagalah baik-baik keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka
dianiaya orang di depan mata kalian. Jagalah baik-baik para sahabat Nabi yang
tidak mengada-adakan bid'ah mungkar, dan yang tidak melindungi orang yang
mengada-adakan bid'ah mungkar. Sebab Rasul Allah s.a.w. telah memberi wasiyat
tentang mereka itu, dan mengutuk orang dari mereka atau orang yang bukan
mereka, yang mengada-adakan bid'ah mungkar dan mengutuk pula orangorang yang
memberi perlindungan kepada mereka."
"Allah…, Allah…, perhatikanlah para fakir
miskin. Ikut sertakan mereka dalam kehidupan kalian. Allah…, Allah…, jagalah
baik-baik wanita kalian dan para hamba sahaya kalian, sebab Rasul Allah s.a.w.
mewasiyatkan supaya kalian menaruh perhatian kepada dua golongan lemah itu, yaitu
kaum wanita dan para hamba sahaya." Setelah berhenti sebentar untuk
memulihkan tenaga yang semakin melemah, Imam Ali r.a. melanjutkan: "Dalam
menjalankan kewajiban terhadap Allah, janganlah kalian takut dicela orang lain.
Allah akan melindungi dan menyelamatkan kalian dari orang-orang yang hendak
berbuat jahat terhadap kalian. Berkatalah baik-baik kepada semua orang
sebagaimana telah diperintahkan Allah kepada kalian. Janganlah kalian lengah
meninggalkan amr ma'ruf dan nahi mungkar, agar Allah tidak melimpahkan
kekuasaan kepada orang-orang yang berperangai jahat. Sebab dalam keadaan
seperti itu doa kalian tidak akan dikabulkan lagi."
"Hendaknya kalian saling berhubungan erat,
saling tolong-menolong dan saling bercinta-kasih. Janganlah kalian saling
memutuskan hubungan, saling bertolak belakang atau bercerai-berai. Hendaknya
kalian saling bantu-membantu dalam kebajikan dan taqwa, dan janganlah
salingbantu dalam berbuat dosa dan permusuhan."
"Bertaqwalah kalian kepada Allah, karena
sesungguhnya siksa Allah itu sangat berat. Semoga Allah senantiasa menjaga dan
memelihara kalian, hai para ahlul-bait. Allah melestarikan Nabi s.a.w. melalui
kalian. Kuucapkan selamat tinggal sebaik-baiknya kepada kalian dan kuucapkan pula
Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wabarakaatuh…" Ibnul Atsir meriwayatkan,
bahwa sesudah Imam Ali r.a. menyampaikan wasiyat tersebut kepada Al Hasan r.a.
dan Al Husin r.a., ia menoleh kepada puteranya yang lain, Muhammad Ibnul Hanafiyah,
lalu bertanya: "Apakah engkau sudah memahami benar-benar apa yang kuwasiyatkan
kepada kedua orang saudaramu?"
"Ya," jawab Muhammad Ibnul Hanafiyah. "Kepadamu
juga kuwasiyatkan," kata Imam Ali r.a. meneruskan: "hal yang sama
seperti itu. Kuwasiyatkan juga supaya engkau selalu menghormati dua orang saudaramu
yang besar itu. Janganlah mereka kautinggalkan dalam urusan apa pun."
Selesai menekankan hal itu kepada Muhammad Ibnul
Hanafiyah, Imam Ali r.a. menambahkan wasiyatnya kepada Al Hasan r.a. dan Al
Husein r.a. "Kuwasiyatkan kepada kalian berdua supaya menjaga dia
(Muhammad Ibnul Hanafiyah) dengan baik. Sebab dia itu saudara kalian sendiri
dan putera ayah kalian. Kalian tahu benar, bahwa ayah kalian juga mencintai
dia…" Imam Ali r.a. mengulangi ucapannya tentang Abdurrahman bin Muljam.
Kepada Al Hasan r.a. Imam Ali r.a. berkata: "Perhatikanlah orang yang
memukulku. Berilah ia makan seperti makananku dan minuman seperti
minumanku!" Ibnu Abil Hadid menamb
Tidak ada komentar:
Posting Komentar