KEUTAMAAN IMAM ALI R.A.
Zaman kelahiran Islam dan pertumbuhannya ditandai
oleh ciri khusus dalam suatu kurun waktu tertentu. Yaitu sepeninggal Rasul
Allah s.a.w. ummat Islam dipimpin oleh 4 orang Khalifah yang sangat terkenal
dan diakui serta dihormati oleh segenap kaum muslimin di dunia. Di antara empat
orang Khalifah itu, terdapat seorang yang mempunyai kedudukan istimewa dalam sejarah,
yaitu Imam Ali r.a. Banyak sekali hal-hal yang memberikan keistimewaan
kepadanya. Antara lain sebagian ummat Islam di dunia sampai sekarang ini
mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Imam Ali bin Abi Thalib r.a., yaitu
yang terkenal dengan sebutan kaum Syi'ah. Selain itu, Imam Ali r.a.memang lebih
masyhur disebut "Imam", daripada disebut Khalifah. Sedangkan
Khalifah-khalifah lainnya, tak seorang pun yang disebut sebagai Imam. Sudah
pasti hal itu disebabkan oleh adanya keistimewaan-keistimewaan yang
melatar-belakangi kehidupan Imam Ali r.a., sehingga ia mempunyai identitas
tersendiri dalam sejarah kehidupan ummat Islam. Gelar Imam Gelar
"Imam" adalah khusus bagi Khalifah Ali bin Abi Thalib di samping
gelar "Amirul Mukminin" yang lazim dipergunakan orang pada masa itu,
untuk menyebut seorang pemangku jabatan sebagai pemimpin tertinggi dan Kepala
Negara Islam. Tentang ta'rif (definisi) dari perkataan "imamah"
(keimaman) oleh para ahli ilmu kalam, dirumuskan: "Imamah ialah
kepemimpinan umum dalam segala urusan agama dan keduniaan yang ada pada
seseorang…" Jadi menurut ta'arif tersebut, maka yang dimaksud dengan
"Imam" ialah seorang pemimpin atau seorang ketua yang ditaati dan
memiliki kekuasaan yang menyeluruh atas semua orang muslimin dalam segala
urusan mereka, baik di bidang keagamaan maupun di bidang keduniaan. Menurut
mazhab "Imamiyah", imamah merupakan keharusan objektif dalam
kehidupan masyarakat muslimin, yang dalam keadaan bagaimana pun tak dapat
diabaikan. Dengan adanya imamah, semua yang tidak lurus dalam tata pelaksanaan
agama dan tata kehidupan dunia, dapat diluruskan. Dengan imamah pula, keadilan
yang dikehendaki Allah harus berlaku di muka bumi, dapat diusahakan
realisasinya. Sebab terpenting perlunya diadakan imamah, ialah untuk mendorong
masyarakat supaya dengan benar menjalankan ibadah kepada Allah s.w.t., untuk menyebar
luaskan ajaran agama-Nya, untuk menanamkan jiwa keimanan serta ketakwaan di kalangan
anggota-anggota masyarakat. Dengan demikian manusia akan mampu menghindarkan
diri dari hal-hal yang buruk dan menghayati hal-hal yang baik, sebagaimana yang
dikehendaki Allah s.w.t. Untuk itu, ummat Islam wajib mentaati seseorang Imam
dan melaksanakan perintah-perintahnya selama imam itu taat dan tidak menyimpang
dari perintah-perintah Allah s.w.t. Sebab hanya dengan ketaatan kaum muslimin,
seorang Imam dapat membereskan keadaan yang tidak beres, mempererat persatuan
dan kerukunan ummat, dan memberikan bimbingan ke jalan yang lurus dan benar. Banyak
sekali tugas dan kewajiban yang terpikul di pundak seorang Imam. Antara lain
ialah menjaga dan memelihara pelaksanaan perintah serta larangan agama; menjaga
keselamatan Islam dan kemurniannya dari perbuatan orang-orang yang mengabaikan
nilai-nilai susila dan moral; melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum agama;
menjamin pengayoman dan kesentosaan wilayah Islam; menjamin terlaksananya
keadilan bagi orang-orang yang teraniaya (madzlum); memimpin ummat dalam
perjuangan menegakkan kebenaran Allah dan lain sebagainya. Untuk dapat menjadi
Imam, orang harus memiliki syaratsyarat. Antara lain ia harus mempunyai pengetahuan
yang luas; mempunyai rasa keadilan yang tinggi; berani karena benar, mampu memberikan
pertolongan dan menanggulangi kesukaran, serta yang terpenting di atas
segalagalanya kebersihan pribadi. Semua
kaum muslimin menyadari, bahwa kebersihan pribadi ini merupakan karunia Allah
yang dilimpahkan kepada hamba-Nya yang sempurna. Dengan kebersihan dan kesucian
pribadi itu orang sanggup menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dosa dan
maksiyat, baik yang mungkin dilakukan dengan sengaja atau tidak. Sifat luhur
seperti itu sudah tentu lebih terjamin adanya pada para Imam yang berasal dari
Ahlu-Bait Rasul Allah s.aw., yaitu orang-orang yang sanggup menjadi benteng dan
pengawal agama Islam, atau orang-orang yang hidup sepenuhnya mendambakan
keridhoan Allah semata-mata. Dalam kaitannya dengan masalah tersebut, Imam Ali
r.a. menegaskan: "Barang siapa yang hendak menjadikan diri sebagai Imam di
kalangan masayarakat, maka ia harus mengajar dirinya sendiri lebih dulu sebelum
mengajar orang lain. Ia harus mendidik dirinya dengan perilaku yang baik lebih
dulu sebelum mendidik orang lain dengan ucapan. Orang yang sanggup mengajar dan
mendidik diri sendiri lebih berhak dihormati daripada orang yang hanya pandai
mengajar dan mendidik orang lain." Diantara empat orang Khalifah Rasyidun,
hanya Khalifah Imam Ali bin Abi Thalib r.a. sajalah yang disandangi gelar
"Imam" oleh kaum muslimin. Gelar ini tidak dikenakan kepada orang
lain yang menjadi pemimpin kaum muslimin. Mengapa? Bukankah Abu Bakar Ash
Shiddiq r.a. juga seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Umar Ibnul
Khattab r.a. juga seorang Imam seperti Ali? Bukankah Utsman bin Affan r.a. juga
seorang Imam seperti Khalifah Ali? Bukankah Khalifah- Khalifah itu juga
Khalifah Rasyidun seperti Imam Ali? Bukankah juga Khalifah-Khalifah itu penerus
kepemimpinan Rasul Allah s.a.w. sepeninggal beliau? Bila pengertian
"imamah" hanya terbatas pada kekhalifahan saja, tentu tiga orang
Khalifah itu semuanya adalah Imam Imam juga seperti Imam Ali r.a. Bahkan mereka
memegang "imamah" lebih dulu daripada Imam Ali r.a. Mengenai hal itu,
seorang penulis modern berkebangsaan Mesir, Abbas Al Aqqad, berpendapat, bahwa
kalau yang disebut "imamah" pada masa itu hanya terbatas
pengertiannya di bidang hukum, tentu persamaan antara empat orang Khalifah itu
tidak perlu disangkal lagi. Tetapi, demikian kata Aqqad seterusnya, tiga orang
Khalifah Rasyidun di luar Imam Ali r.a., tak ada seorang pun diantara mereka
itu mengibarkan bendera imamah untuk menghadapi tantangan kekuasaan duniawi
yang muncul di kalangan ummat. Tak ada yang menghadapi adanya dua pasukan
bersenjata yang saling berlawanan di dalam satu ummat. Dan tidak ada yang
menjadi lambang imamah dalam menghadapi masalah-masalah rumit, yang penuh
dengan berbagai problema yang menimbulkan syak dan keraguan di kalangan ummat. Al
Aqqad menambahkan, bahwa dalam keadaan tidak adanya problema-problema seperti
itu, tiga orang Khalifah sebelum Imam Ali r.a., boleh saja disebut Imam. Tentu
saja pengertian "Imam" itu sangat berlainan dengan gelar
"Imam" yang ada puda Imam Ali bin Abi Thalib r.a. Ia adalah seorang
Imam yang menghadapi berbagai kejadian dan peristiwa yang banyak menimbulkan
keragu-raguan berfikir di kalangan ummat. Oleh karena itulah gelar Imam diberikan
kaum muslimin secara khusus kepada khalifah Ali bin Abi Thalib r.a. Begitu
luasnya gelar itu dikenal orang sampai menjadi buah bibir. Hingga anak-anak pun
mengenal Imam Ali lewat sanjungan-sanjungan yang dikumandangkan orang di
jalan-jalan, tanpa perlu disebut nama orang yang menyandang gelar itu sendiri. Seterusnya
Al Aqqad menjelaskan, bahwa "kekhususan imamah yang ada pada Ali bin Abi
Thalib r.a. ialah bahwa ia seorang Imam yang tidak ada persamaannya dengan
Imam-Imam lainnya. Sebab Imam Ali mempunyai kaitan langsung dengan
mazhab-mazhab yang ada di kalangan kaum muslimin, bahkan dimulai semenjak
kelahiran mazhab-mazhab itu sendiri pada masa pertumbuhan Islam. Jadi
sebenarnya Imam Ali adalah pendiri mazhab-mazhab, atau dapat juga disebut
sebagai poros di sekitar mana golongan mazhab itu berputar. Hampir tak ada satu
golongan madzhab pun yang tidak berguru kepada Imam Ali bin Abi Thalib. Hampir
tidak ada satu golongan madzhab pun yang tidak memandang Imam Ali sebagai pusat
pembahasan ilmu agama." Menurut kenyataannya, Imam Ali r.a. adalah Imam
yang benar-benar memiliki semua syarat yang diperlukan. Satu keistimewaan yang
paling menonjol dan tidak dipunyai oleh Khalifahkhalifah lainnya, ialah
penguasaannya di bidang-bidang ilmu agama. Tentang hal ini akan kita bicarakan
di bagian lain buku ini.
Di sini kami hanya ingin mengemukakan, bahwa
Abdullah bin Abbas, seorang ulama yang terkenal luas ilmu pengetahuannya sampai
diberi sebutan "habrul ummah" (pendekar ummat) dan "juru tafsir
Al Qur'an," mengatakan dengan jujur, bahwa dibanding dengan ilmu Imam Ali,
ilmunya sendiri ibarat setetes air di tengah samudera. Khalifah Umar Ibnul
Khattab r.a. juga mengatakan: "Hai Abal Hasan (nama panggilan Imam Ali
r.a.) mudah-mudahan Allah s.w.t. tidak membiarkan aku terus hidup di bumi tanpa
engkau!" Zahid Sebagai seorang Zahid yang berpegang teguh pada perintah
Allah s.w.t. dan tauladan serta ajaran ajaran Rasul-Nya, Imam Ali r.a. dengan
konsekuen berani menghadapi gangguan besar yang dialami dalam kariernya sebagai
pemimpin masyarakat dari kepala pemerintahan. Berkalikali ia ditinggalkan oleh
para pendukung dan pengikutnya, tetapi tidak pernah patah hati. Seperti
dikatakan oleh Ali bin Muhammad bin Abi Saif Al Madainiy bahwa tidak sedikit
orang Arab yang meninggalkan Imam Ali karena sikap mereka yang terlalu
mengharapkan keuntungankeuntungan material. Demikian juga tokoh-tokoh yang
berpamrih ingin mendapat kedudukan, jangan harap mereka itu bisa bersahabat
baik dan lama dengan Imam Ali. Seorang pemimpin besar seperti Imam Ali yang
taqwanya kepada Allah sedemikian tinggi, dan sedemikian patuhnya bertauladan
serta melaksanakan ajaran Rasul Allah s.a.w., tidak mencari teman dengan
mengobral harta dan kedudukan. Ia sendiri memandang manusia bukan dari kekayaan
dan kedudukan sosialnya, bukan pula dari asal-usul keturunannya, melainkan dari
keimanannya kepada Allah s.w.t. dan kesetiaannya kepada ajaran Rasul-Nya. Imam
Ali tidak pernah memberikan perlakuan istimewa kepada seorang karena keturunan,
kedudukan atau kekayaannya. Ia selalu memberikan perlakuan yang sama kepada
semua orang, kaya atau miskin, orang yang berpangkat ataupun rakyat jelata.
Itulah antara lain yang menjadi sebab mengapa setelah ia menjadi Khalifah,
dijauhi oleh kepala-kepala qabilah dan tokohtokoh masyarakat yang berambisi dan
hendak mendahulukan kepentingan pribadi atau golongan. Tentang mengapa Imam Ali
r.a. sampai ditinggal oleh para pengikut dan pendukungnya, Al- Madainiy dalam
riwayat yang ditulisnya, antara lain mengemukakan, bahwa Al-Asytar pernah berkata
kepada Innam Ali r.a.: "…Anda bertindak adil, baik terhadap mereka yang
mempunyai kedudukan terhormat maupun mereka yang tidak mempunyai kedudukan. Di
hadapan anda orang-orang yang terhormat itu tidak memperoleh perlakuan istimewa
atau lebih dari perlakuan yang anda berikan kepada orang biasa. Akhirnya ada
kelompok pengikut yang rebut dan heboh kalau keadilan dan kebenaran diterapkan
atas diri mereka. Mereka sakit hati kalau pemerataan keadilan diterapkan atas
diri mereka. Mereka lalu membanding-bandingkan betapa enaknya perlakuan
Muawiyah terhadap orang-orang kaya dan terkemuka… Mereka lebih senang membeli
kebatilan dengan kebenaran dan tergiur oleh kesenangan duniawi." Setelah
mendengar baik-baik ucapan Al Asytar, dengan tenang rmam Ali r.a. berkata:
"Apa yang kau katakan mengenai perilaku dan keadilanku, bukankah Allah
Azza wa Jalla telah berfirman (yang artinya): "Barang siapa berbuat baik,
maka pahala bagi dirinya sendiri, dan barang siapa yang berbuat buruk, maka
dosanya pun akan menimpa dirinya sendiri. Dan Tuhanmu tidak berlaku dzalim
terhadap para hamba-Nya" (S. Fushshilat: 46). Kemudian Imam Ali r.a.
berkata pula: "Sebenarnya Allah mengetahui, bahwa mereka itu menjauhi kami
bukan karena kami berlaku dzalim. Mereka menjauhi kami bukan karena hendak mencari
perlindungan keadilan. Yang mereka kejar hanyalah dunia, yang akhirnya akan
lenyap juga dari mereka. Pada hari kiyamat mereka itu akan ditanya: 'apakah
mereka hanya menginginkan dunia? Apakah yang telah mereka perbuat untuk
Allah?'…" Tentang pengobralan harta milik ummat untuk mendapatkan pengikut
seperti yang dilakukan Muawiyah di Syam, Imam Ali r.a. berkata: "Kami
tidak dapat memberikan pembagian harta ghanimah kepada seseorang melampaui
ketentuan yang sudah menjadi haknya…" Tentang banyak atau sedikitnya
pengikut, Imam Ali r.a. mengemukakan contoh kehidupan Rasul Allah s.a.w.:
"Allah mengutus Muhammad s.a.w. seorang diri. Kemudian Allah membuat pengikut
beliau menjadi banyak, padahal mulanya sangat sedikit. Ummatnya yang pada mulanya
hina kemudian diangkat menjadi ummat yang mulia. Jadi jika Allah hendak melimpahkan
hal seperti itu kepadaku, semua kesulitan pasti akan dipermudah oleh-Nya, sedang
segala yang berat akan diringankannya." Menurut Hasan Al Bashriy:
"Imam Ali r.a. adalah orang rahbaniy (orang suci) dari ummat ini." Orang
suci dari ummat ini menghayati kehidupan yang amat sederhana. Ia bersembah
sujud kepada Allah seperti para wali atau orang suci lainnya. Ia memikul
tanggung jawab atas Negara dan ummatnya dengan tekad seperti Nabi.
Di Kufah, Imam Ali r.a. melarang keras orang
memaki-maki Muawiyah. Kepada sahabatsahabatnya ia berkata: "Ucapkanlah: Ya
Allah, hindarkanlah kami dari pertumpahan darah dengan mereka, dan perbaikilah
hubungan persaudaraan kami dengan mereka!" Padahal di Syam, Muawiyah
mendorong-dorong penduduk supaya mencerca dan mencaci-maki Imam Ali r.a. Di
Kufah Imam Ali r.a. memakai baju seharga tiga dirham, menelan makanan serba
kasar dan kering. Kekayaan kaum muslimin dibagi di antara mereka semua
berdasarkan keadilan tanpa pilih kasih. Ia hidup taqwa dan zuhud tidak mengenal
kesenangan hidup sama sekali! Padahal di Syam Muawiyah tinggal di istana megah
dan menikmati hidup serba mewah. Kekayaan datang dari mana-mana dalam jumlah
yang sukar dihitung. Tetapi kekayaan itu
dihamburkan untuk tujuan mencapai kepentingan
ambisinya. Di Kufah kepada para utusan muslimin yang datang, baik yang mencari
kebenaran untuk dijadikan pegangan hidup, maupun yang mencari kekayaan atau
kesempatan memperoleh kedudukan, oleh Imam Ali r.a. diingatkan kepada ayat
Al-Qur'an (S. Yunus: 108), yang artinya: "Barang siapa memperoleh hidayat,
maka hidayat itu sesungguhnya untuk kebaikan dirinya sendiri. Dan barang siapa
yang sesat, maka kesesatan itu pun akan mencelakakan dirinya sendiri." Selain
kalimat tersebut tidak ada harapan atau janji-janji muluk, tidak ada suap, dan
tidak ada penghamburan uang milik ummat, betapa pun besarnya akibat yang akan
dihadapi oleh Imam Ali r.a. Sedang di Syam, Muawiyah memberi harapan dan
janji-janji muluk serta mengobral harta dan hadiah-hadiah. Di Kufah Imam Ali
r.a. diminta oleh kaum muslimin supaya tinggal di sebuah istana besar dan megah.
Waktu melihat istana itu Imam Ali ra. membuang muka sambil berkata: "Itu
istana celaka! Sampai kapan pun aku tak sudi tinggal di sana!" Penduduk
Kufah tetap menghimbau dan mendesak supaya Imam Ali r.a. bersedia menempati istana
itu, sebab dianggap patut dan sesuai, tetapi Imam Ali r.a. tetap menolak keras:
"Aku tidak membutuhkan itu! Umar Ibnul Khattab sendiri dulu tidak
menyukainya!" Di Kufah, Imam Ali r.a. sering berjalan kaki ke pasar-pasar,
padahal ia seorang Amirul Mukminin. Di sana ia menunjukan orang yang sesat
jalan dan membantu orang yang lemah. Ia berjumpa dengan seorang yang sudah
sangat lanjut usia. Segera ia membantu membawakan barang jinjingannya. Melihat
perbuatan Imam Ali r.a. seperti itu ada sahabatnya yang tidak rela, lalu
mendekati, kemudian berkata kepadanya: "Ya Amirul Mukminin ....!" Imam
Ali r.a. tidak membiarkan sahabat itu berkata sampai selesai. Segera ia menukas
dengan mengucapkan firman Allah, yang artinya: "Kampung akhirat itu kami
sediakan bagi orang-orang yang tidak menyombongkan diri di bumi dan tidak
berbuat kerusakan. Kesudahan yang baik bagi orang-orang yang bertaqwa."
(S. Al-Qishash:83).
Ia membeli kebutuhan-kebutuhan keluarganya dan
membawanya sendiri. Jika ada salah seorang dari pengantarnya yang hendak
membawakan jinjingannya, ia menjawab sambil tersenyum: "Kepala keluarga
lebih berhak membawanya sendiri!" Walaupun ia seorang Khalifah, ia
menunggang keledai dengan dua kaki tergelantung seolah-olah tak ada bedanya
lagi dengan seorang badui miskin. Para sahabatnya berusaha mengganti hewan kendaraan
itu dengan seekor kuda yang pantas bagi seorang Amirul Mukminin. Tetapi Imam
Ali r.a. malah menjawab: "Biarkan aku meremehkan dunia ini!" Imam Ali
r.a. sanggup menaklukkan rayuan kesenangan duniawi dan menundukkan megahnya kekuasaan.
Di dunia ini ia hidup untuk menunggu akhirat, dan bukannya takluk kepada dunia.
Nyata benar bedanya antara Imam Ali r.a. di Kufah dengan Muawiyah di Syam. Imam
Ali r.a. hidup zuhud dan suci, sedang Muawiyah hidup serba mewah meniru
raja-raja Persia dan Romawi. Salah seorang dinasti Bani Umayyah sendiri yang
terkenal jujur, Umar bin Abdul Azis, mengakui terus terang: "Ali bin Abi
Thalib r.a. adalah orang yang paling zuhud di dunia." Imam Ali r.a.
seperti diketahui pernah berselisih pendapat dengan Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. tentang
kekhalifahan. Tetapi sebagai seorang zahid tidak mau mengingkari keutamaan Abu Bakar
r.a. Sewaktu menyatakan belasungkawa atas wafatnya Abu Bakar r.a sambil menyeka
air mata, Imam Ali r.a. berkata: "Hai Abu Bakar, Allah telah melimpahkan
rahmat kepadamu. Demi Allah, engkau adalah orang Islam pertama dari ummat ini.
Orang yang paling ikhlas imannya dan orang yang paling lurus keyakinannya.
Engkau adalah orang yang membenarkan dan mempercayai Rasul Allah s.a.w. di saat
orang-orang lain mendustakannya. Engkaulah yang membantunya di saat orang-orang
lain menggenggamkan tangan (kikir). Engkaulah yang tegak berdiri di sampingnya
di saat orangorang lain duduk berpangku tangan." "Demi Allah,
engkaulah yang menjadi pelindung Islam di saat orang orang kafir hendak menghancurkannya.
Hujahmu (dalam membela Islam) tak pernah lemah, pandanganmu senantiasa tajam,
dan engkau tidak pernah berjiwa penakut." "Demi Allah, engkau adalah
seperti yang dikatakan Rasul Allah s.a.w.: badanmu lemah, tetapi agamamu kuat
dan selalu bersikap rendah hati. Semoga Allah melimpahkan ganjaran kepadamu,
dan semoga pula Allah tidak akan membiarkan aku tersesat sepeninggalmu." Banyak
sekali riwayat yang mengisahkan kezuhudan Imam Ali r.a. Sikapnya yang selalu
menolak kekayaan dan harta benda sangat menonjol. Salah seorang tokoh pada
zamannya, Asy Syi'biy misalnya, sangat terkesan oleh suatu peristiwa yang
disaksikannya sendiri di masa kanak-kanak. Katanya: "Bersama anak-anak
lain aku pernah masuk ke sebuah tempat yang sangat luas di Kufah. Di sana aku
melihat Imam Ali sedang berdiri di depan dua onggok emas dan perak. Ia memegang
sebilah pedang untuk membubarkan orang banyak yang berkerumun di tempat itu. Setelah
itu ia kembali menghampiri onggokan emas dan perak untuk menghitungnya.
Kemudian memanggil orang-orang supaya mendekat dan kulihat semua emas dan perak
habis dibagibagikan sampai tak ada lagi sisanya." "Waktu aku
pulang," kata Asy Syi'biy seterusnya, "bertanya kepada ayah: 'Yang
kusaksikan hari ini orang yang paling baik ataukah orang yang paling bodoh?'
Sambil keheran-heranan ayah balik bertanya: 'Siapa dia, anakku?' Kujawab:
'Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.' Kemudian kuceritakan kepada ayah apa yang
kusaksikan tadi. Mendengar ceritaku itu ayah terharu dan
sambil melinangkan air mata menjawab: 'Yang
kaulihat tadi itu orang yang paling baik, anakku'…"
Riwayat yang membuktikan tentang tidak senangnya
Imam Ali r.a. kepada harta kekayaan diceritakan juga oleh Muhammad bin Fudhail,
Harun bin Antarah dan Zadan. Ketika itu Muhammad bin Fudhail bepergian bersama
pelayan Imam Ali r.a. yang bernama Qanbar. Di tengah jalan mereka bertemu
dengan Imam Ali r.a. Kepada tuannya Qanbar memberitahu bahwa ia mempunyai
barang simpanan yang khusus disembunyikan untuknya. Pemberitahuan Qanbar itu
menimbulkan tanda-tanya di hatinya. Kemudian ia minta penjelasan. Tanpa memberi
jawaban apapun Qanbar terus mengajak Imam Ali r.a. pergi ke tempat tinggalnya. Setibanya
di rumah, Qanbar menghampiri sebuah tempat dan mengambil sebuah kantong. Waktu
kantong dibuka dan dikeluarkan ternyata berisi beberapa piala penuh dengan kepingankepingan
emas dan perak. Dengan wajah berseri-seri Qanbar berkata: "Kulihat tuan
tak pernah membiarkan barang apa pun yang tidak tuan bagikan kepada orang-orang
lain sampai habis. Oleh karena itu semuanya ini kusembunyikan dari Baitul Mal,
khusus untuk tuan." Dengan mata membelalak, Imam Ali membentak:
"Celaka engkau, hai Qanbar! Apakah engkau ingin memasukkan kobaran api ke
dalam rumahku?" Tanpa banyak bicara lagi Imam Ali segera menghunus pedang
lalu dihantamkan kuat-kuat ke kantong yang berisi piala-piala penuh emas dan
perak. Piala-piala itu hancur berkeping-keping dan emas serta perak tertebar berhamburan.
Habis itu Imam Ali r.a. mengumpulkan orang
banyak. Kepada mereka ia berkata: "Bagilah semuanya itu dengan adil!"
Belum puas dengan sikap yang memukaukan orang banyak itu, Imam Ali r.a.
cepat-cepat menuju Baitul Mal. Semua yang tersimpan dalam balai harta kaum
muslimin itu dibagi-bagikan begitu saja kepada orang-orang. Setelah terbagi
rata, ia masih melihat ada beberapa kerat jarum dan benda-benda kecil lain yang
kurang berharga. Kepada orang-orang yang masih tinggal ia menganjurkan supaya
benda-benda kecil itu.dibagi juga. Apa jawab mereka: "… Kami tidak
membutuhkan itu…!" Imam Ali r.a. tersenyum meninggalkan Baitul Mal seraya
bergumam: "Yang jelek sebenarnya diambil juga bersama-sama yang
baik!" Ia pergi tanpa sekeping pun melekat di tangannya. Sikap Hidup Sikap
dan cara hidup Imam Ali r.a. benar-benar telah manunggal dengan kezuhudan dan ketinggian
tingkat taqwanya kepada Allah s.w.t. Pernah terjadi, ada seorang telah
melakukan suatu kesalahan. Untuk menutupi kesalahannya, ia menyanjung-nyanjung
Imam Ali r.a. Sebagai orang yang sudah tahu duduk persoalannya, Imam Ali r.a.
menjawab: "Aku ini sebenarnya tidak setinggi seperti yang kaukatakan itu,
tetapi aku ini sebenarnya memang lebih tinggi daripada apa yang ada pada
dirimu." Perkataan itu diucapkannya dengan wajar, di samping menunjukkan
bahwa ia tidak mabok sanjung-puji, sekaligus pula mengeritik orang yang
bersangkutan, bahwa perbuatan buruk berakibat memerosotkan martabat. Lain
contoh lagi tentang kesederhanaan sikapnya. Dalam satu peperangan, lawan-lawan
yang dihadapinya semua berseragam tempur, lengkap dengan baju dan topi besi.
Tidak dimilikinya seragam tempur seperti itu, tidak membuat Imam Ali r.a. malu
dan gentar. Ia terjun ke kancah pertempuran tanpa mengenakan baju besi atau
topi pelindung. Sikap Imam Ali r.a. yang seperti itu mencerminkan kewajaran dan
kesederhanaannya, walau dalam keadaan menghadapi bahaya menantang. Prinsip
kesederhanaan yang tidak dibuat-buat itulah yang melahirkan sikap polos, jujur
dan terus terang, baik dalam ucapan maupun perbuatan, dalam keadaan sulit atau
pun tidak. Kepolosan dan kewajaran dalam menghadapi lawan seperti di atas tadi,
sering disalah-artikan atau disalah-gunakan orang untuk mengecap Imam Ali r.a.
sebagai orang yang sombong dan sok. Benarlah apa yang pernah dikatakan salah
seorang sahabatnya: "Ali bin Abi Thalib r.a. adalah orang yang mengenal
perang hanya dengan modal keberanian. Ia tidak kenal bagaimana dalam peperangan
orang harus mendaya-gunakan tipu-muslihat." Benarnya ucapan itu tampak
jelas pada kata-kata Imam Ali r.a. sendiri, yang dengan gambling menegaskan:
"Bukti keberanian ialah engkau harus mengutamakan kejujuran dan bukannya kebohongan,
walau kejujuran itu akan mengakibatkan kerugian, dan kebohongan akan mengakibatkan
keberuntungan. Dalam berbicara dengan orang lain hendaknya engkau tetap selalu
taqwa dan patuh kepada Allah s.w.t." Dibanding dengan Khalifah-khalifah
sebelumnya, memang tak ada seorang pun yang sedemikian zuhudnya dalam
menghindari nikmatnya kekuasaan dan kekayaan atau kesenangan-kesenangan duniawi
lainnya. Ia makan roti yang terigunya berasal dari cucuran keringat isterinya
sendiri, Sitti Fatimah r.a. Tiap kali isterinya selesai menumbuk gandum, ia
sendirilah yang turun tangan menggaruki ujung antan (alu) dengan jari jemarinya
guna mengumpulkan sisa-sisa tepung yang melekat. Sambil mengerjakan hal itu
Imam Ali r.a. berkata kepada isterinya: "Aku tak ingin perutku ini dimasuki
sesuatu yang aku tak tahu dari mana asalnya…" Bagaimana lugu dan cara
hidupnya yang berada di bawah tingkat sederhana itu diungkapkan oleh Uqbah bin
Alqamah, yang mengisahkan pengalaman sendiri, sebagai berikut: "Pada satu hari
aku berkunjung ke rumah Ali bin Abi Thalib r.a. Kulihat ia sedang memegang
sebuah mangkuk berisi susu yang sudah berbau asam. Bau sengak susu itu sangat
menusuk hidungku. Kutanyakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, mengapa anda
sampai makan seperti itu?" "Hai Abal Janub," jawabnya, "Rasul
Allah s.a.w. dulu minum susu yang jauh lebih basi disbanding dengan susu ini.
Beliau juga mengenakan pakaian yang jauh lebih kasar daripada bajuku ini (sambil
menunjuk kepada baju yang sedang dipakainya). Kalau aku sampai tidak dapat melakukan
apa yang sudah dilakukan oleh beliau, aku khawatir tak akan dapat berjumpa dengan
beliau di hari kiyamat nanti." Imam Ali r.a. sebagai seorang shaleh,
zuhud, tahan menderita dan sanggup membebaskan diri dari kesenangan duniawi,
belum pernah makan sampai merasa kenyang. Makanannya bermutu sangat rendah dan
pakaiannya pun hampir tak ada harganya. Abdullah bin Rafi' menceritakan penyaksiannya
sendiri sebagai berikut: "Pada suatu hari raya aku datang ke rumah Imam
Ali r.a. Ia sedang memegang sebuah kantong tertutup rapat berisi roti yang
sudah kering dari remuk.
Kulihat roti itu dimakannya. Aku bertanya
keheran-heranan: "Ya Amiral Mukminin, bagaimana roti seperti itu sampai
anda simpan rapat-rapat?" "Aku khawatir," sahut Imam Ali r.a.,
"kalau sampai dua orang anakku itu mengolesinya dengan samin atau minyak
makan." Tidak jarang pula Imam Ali r.a. memakai baju robek yang
ditambalnya sendiri. Kadang-kadang ia memakai baju katun berwarna putih, tebal
dan kasar. Jika ada bagian baju yang ukuran panjangnya lebih dari semestinya,
ia potong sendiri dengan pisau dan tidak perlu dijahit lagi. Bila makan bersama
orang lain, ia tetap menahan tangan, sampai daging yang ada di hadapannya habis
dimakan orang. Bila makan seorang diri dengan lauk, maka lauknya tidak lain hanyalah
cuka dan garam. Selebihnya dari itu ia hanya makan sejenis tumbuh-tumbuhan. Makan
yang lebih baik dari itu ialah dengan sedikit susu unta. Ia tidak makan daging
kecuali
sedikit saja. Kepada orang lain ia sering
berkata: "Janganlah perut kalian dijadikan kuburan hewan!" Sungguh
pun tingkat penghidupannya serendah itu, Imam Ali r.a. mempunyai kekuatan
jasmani yang luar biasa. Lapar seolah-olah tidak mengurangi kekuatan tenaganya.
Ia benar-benar bercerai dengan kenikmatan duniawi. Padahal jika ia mau,
kekayaan bisa mengalir kepadanya dari berbagai pelosok wilayah Islam, kecuali
Syam. Semuanya itu dihindarinya dan sama sekali tidak menggiurkan seleranya. Ibadah
Imam Ali r.a. merupakan orang yang paling tekun dan banyak beribadah. Ia pun
paling sering berpuasa. Kepadanya banyak orang yang minta petunjuk tentang
cara-cara yang terbaik dalam menunaikan sembahyang malam, berwirid, berzikir
dan beribadah lainnya. Bila sedang menghadap ke hadhirat Allah 'Azaa wa Jalla,
Imam Ali r.a. sedemikian khusyu' dan khidmatnya, tak ada sesuatu yang dapat
menggoyahkan kebulatan fikiran dan perasaannya. Dalam situasi sedang
berkobarnya pertempuran di Shiffin, habis menunaikan shalat, Imam Ali r.a.
tekun berwirid, tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk orang yang sedang mengadu
tenaga dan senjata. Di malam yang sangat mengerikan itu, Imam Ali r.a.
bersembah sujud di hadapan Allah s.w.t., padahal tidak sedikit anak panah yang
beterbangan di kanan-kirinya dan ada pula yang berjatuhan di depannya. Ia tidak
gentar sedikit pun dan tidak.bangun meninggalkan tempat ibadah sebelum
menyelesaikannya dengan tuntas. Demikian banyaknya ia bersembah sujud setiap
hari, siang dan malam, sampai kulit keningnya menebal dan keras
kehitam-hitaman. Ia selalu bermunajat kepada Allah dan mengagungkan-Nya,
menyatakan ketundukan dan penyerahan hidup-matinya kepada Allah. Dengan patuh
ia melaksanakan semua perintah dan menghindari larangan-Nya. Semuanya itu
dilakukan dengan sepenuh hati, jujur dan ikhlas. Hatinya, perbuatannya dan
ucapannya sedemikian utuhnya menjadi satu perpaduan yang tak kenal garis
pemisah. Konon Ali bin Al Husein r.a. --cucu Imam Ali r.a.-- pernah ditanya
orang tentang "bagaimana perbandingan antara ibadah yang anda lakukan
dengan ibadah yang dilakukan datuk anda?" Ali bin Al Husein r.a. yang
terkenal sebagai orang shaleh dan tekun beribadah itu menjawab: "Perbandingan
antara ibadahku dengan ibadah datukku, sama seperti perbandingan antara ibadah
datukku dengan ibadah Rasul Allah s.a.w." Tentang ibadah Imam Ali r.a.
ini, 'Urwah bin Zubair mengemukakan sebuah riwayat yang berasal dari Abu Darda
sebagai berikut: Pada suatu hari aku menyaksikan Ali bin Abi Thalib r.a. berada
di halaman rumah seorang yang penuh dengan pepohonan. Ia mengasingkan diri dari
orang lain dan bersembunyi di sela-sela batang kurma yang sangat lebat:
"Aku mencari-cari dia sampai agak jauh. Kukira pasti ia sudah berada di
rumahnya lagi. Tibatiba aku mendengar suara ratap sedih: 'Ya Allah, Tuhanku,
betapa banyaknya dosa yang karena kebijaksanaan-Mu tidak Engkau balas dengan
murka-Mu. Betapa pula banyaknya dosa yang karena kemurahan-Mu tidak Engkau
gugat. Ya Allah, Tuhanku, bila sepanjang umur aku berbuat dosa kepada-Mu dan sangat
banyak dosaku tercatat dalam shuhuf, maka aku tidak mengharap sesuatu selain pengampunan-Mu
dan aku tidak mendambakan sesuatu kecuali keridhnan-Mu'…" "Suara
ratap sedih itu sangat menarik perhatianku. Jejaknya kutelusuri. Ternyata suara
itu adalah suara Ali bin Abi Thalib r.a. Aku lalu bersembunyi dan menunduk agar
jangan sampai diketahui olehnya. Kulihat ia sedang berruku' beberapa kali di
tengah kegelapan malam. Kemudian ia berdoa sambil menangis dan mengeluh sedih
ke hadhirat Allah s.w.t. Di antara munajat yang diucapkannya ialah: "Ya
Allah, Tuhanku, tiap kurenungkan keampunan-Mu, terasa ringanlah kesalahanku.
Dan tiap kuingat murka-Mu yang dahsyat, terasa sangat besarlah dosa kesalahanku."
Kata Abu Darda lebih lanjut: "Ia lalu tenggelam di dalam tangis. Makin
lama suaranya tidak kudengar lagi. Kufikir mungkin ia tertidur nyenyak karena
terlalu banyak bergadang. Dini hari ia hendak kubangunkan untuk shalat subuh.
Ia kudekati, ternyata ia tergeletak seperti sebatang kayu. Ia kugerak-gerakkan
dan kubalik-balik, tetapi sama sekali tidak berkutik. Kuduga ia wafat. Lalu aku
mengucap: Innaa lillahi wa innaa ilaihi raaji'uun. Aku cepat-cepat lari ke rumahnya
untuk memberi tahu keluarganya." Setelah mendengar keteranganku, Sitti
Fatimah r.a. hanya bertanya: "Hai Abu Darda, dia kenapa dan bagaimana
keadaannya?" Sesudah kujelaskan keadaan Imam Ali r.a., Sitti Fatiinah r.a.
memberitahu kepadaku, bahwa "…dia sedang pingsan, karena sangat takut
kepada Allah!" Keluarganya lantas mendatangi Imam Ali r.a. dengan membawa
air, kemudian mengusapusapkan pada wajahnya. Tak lama setelah itu ia siuman dan
sadarkan diri kembali. Ia memandang kepadaku dan aku menangis. Ia bertanya:
"Hai Abu Darda, mengapa engkau menangis?" "Karena melihat
sesuatu yang menimpa dirimu," jawabku. "Hai Abu Darda," ujar
Imam Ali r.a. lebih lanjut, "bagaimanakah kiranya kalau engkau melihat aku
dipanggil untuk menghadapi perhitungan (hisab), melihat sendiri orang-orang
yang berbuat dosa sedang menderita siksa adzab, melihat aku dikelilingi
sejumlah Malaikat yang bengis dan keras di hadapan Allah Maha Perkasa, sedang
para pencintaku sudah tiada lagi dan para ahli dunia pun sudah meninggalkan
diriku. Seandainya engkau melihat itu semua, engkau pasti akan lebih mengasihi
diriku di hadapan Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu betapa pun kecilnya."
"Aku tidak pernah melihat hal itu terjadi pada sahabat Rasul Allah s.a.w.
yang lain…," sahut Abu Darda. Itulah keistimewaan Imam Ali r.a. dalam
menghadapkan diri kepada Allah s.w.t. dengan kekhusyu'an seluruh jiwa-raganya.
Suatu hal yang sudah biasa disaksikan sendiri oleh semua Ahlul Bait. Mereka
tidak terkejut ketika diberitahu oleh Abu Darda tentang keadaan Imam Ali r.a.
Bahkan Sitti Fatimah r.a. menceritakan, bahwa apa yang disaksikan oleh Abu
Darda itu sudah biasa dialami oleh Imam Ali r.a. tiap saat menghadapkan diri
kepada Allah s.w.t. di tengah malam. Mengenai banyaknya ibadah yang dilakukan
Imam Ali r.a. di waktu malam, Nauf Al Bikally menceritakan penyaksiannya
sebagai berikut: "Pada satu hari aku menginap di rumah Imam Ali r.a.
Sepanjang malam ia bersembahyang. Sebentar-sebentar ia keluar, mengarahkan
pandangan ke langit, dan membaca Al-Qur'an. Di malam yang sunyi senyap itu ia
bertanya kepadaku: 'Hai Nauf, engkau tidur ataukah melek?'…" "Aku
melek dan melihatmu dengan mataku, ya Amiral Mukminin," jawabku. "Hai
Nauf," ujar Imam Ali r.a. meneruskan, "bahagialah orang yang hidup
zuhud di dunia, orangorang yang merindukan akhirat. Mereka itulah orang-orang
yang menjadikan bumi ini sebagai hamparan, menjadikan pasirnya sebagai kasur,
menjadikan airnya sebagai nikmat, menjadikan doa sebagai syi'ar, menjadikan
Al-Qur'an sebagai selimut, dan meninggalkan dunia ini dengan cara seperti Isa
bin Maryam as.!" Selama hidupnya Imam Ali r.a. tidak pernah putus
sembahyang malam. Tentang hal ini, Abu Ya'laa meriwayatkan, bahwa Imam Ali r.a.
pernah menegaskan: "Aku tidak pernah meninggalkan shalat malam semenjak
kudengar Rasul Allah s.a.w. mengatakan, bahwa shalat malam itu adalah
cahaya." Berdasarkan keterangan yang diterima dari ibunya, Sulaiman bin
Al-Mughirah mengatakan: "Bulan Ramadhan atau pun Syawal, bagi Imam Ali
r.a. adalah sama saja. Tiap malam ia bergadang untuk beribadah." Begitu
agungnya kedudukkan Allah 'Azza wa Jalla dalam jiwa Imam Ali r.a. Ia beribadah
karena dorongan rasa cinta dan rindu kepada-Nya. Ia menyadari sepenuhnya bahwa
Allah sajalah yang berhak disembah. Ia bersembah sujud semata-mata hanya karena
merasa keterikatan hidupnya dengan Allah. Ia hidup bertauladan kepada
Mahagurunya, yaitu Rasul Allah s.a.w. Suatu ibadah yang lebih besar artinya
daripada hanya sekedar berdasar keyakinan, dan lebih mulia daripada hanya
sekedar dorongan iman! Dengan ucapannya yang abadi, ia pernah menegaskan:
"Orang-orang yang beribadah kepada Allah karena pamrih, sama seperti ibadahnya
kaum pedagang. Orang-orang yang beribadah karna takut, sama seperti ibadahnya seorang
budak. Orang yang beribadah karena syukur, itulah ibadahnya manusia
merdeka!" Di samping Imam Ali r.a. sendiri selalu menjaga baik-baik
kewajiban shalat, ia pun terusmenerus mengingatkan para pengikutnya supaya
selalu menunaikan shalat tepat pada waktunya. Shalat itu ibarat sebuah pisau
yang dapat mengupas daki dan kotoran manusia. Hanya shalatlah yang dapat
membersihkannya sama sekali. Oleh Rasul Allah s.a.w. shalat diibaratkan sebagai
mata air panas yang tersedia di depan pintu rumah tiap muslim. Bila tiap sehari
semalam seorang muslim mandi dengan air panas itu lima kali, kotoran apakah
yang tidak terbuang dari badannya?! Sekalipun Rasul Allah s.a.w. telah
menjanjikan nikmat kepada Imam Ali r.a., namun kewajiban shalat tetap dijaga
kuat-kuat olehnya, sesuai dengan perintah Allah s.w.t. dalam firman-Nya yang
berarti: "Perintahkanlah keluargamu bersembahyang dan hendaknya bersabar
dalam menunaikannya…" (S. Thaha: 132). Tidaklah aneh kalau orang Zahid
seperti Imam Ali r.a. itu pantang diperlakukan lebih daripada orang lain. Walau
ia seorang anggota Ahlu Bait Rasul Allah s.a.w. dan seorang ilmuwan, namun tidak
menyukai perlakuan istimewa. Diriwayatkan, bahwa pada suatu hari ada orang
mengadukan Imam Ali r.a. kepada Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. tentang suatu
perkara. Waktu itu Imam Ali r.a. sudah siap dan duduk. Tak lama kemudian
Khalifah Umar r.a. menoleh kepadanya sambil berkata: "Bangunlah, ya Abal Hasan,
duduklah bersama lawan perkara anda!" Imam Ali r.a. bangun, lalu duduk
berhadapan dengan orang yang mengadukannya. Setelah perkaranya selesai, orang
yang mengadu pergi meninggalkan tempat, Imam Ali r.a. pindah duduk di tempat
semula. Ketika itu Khalifah Umar r.a. melihat wajah Imam Ali r.a. berubah, lalu
bertanya: "Ya Abal Hasan, mengapa kulihat wajah anda berubah? Apakah anda
tidak senang terhadap apa yang baru terjadi?"
"Ya, benar!" jawab Imam Ali r.a.
"Sebab anda memanggilku dengan nama kehormatan di depan lawan
perkara!" Mendengar jawaban Imam Ali r.a. yang seperti itu, Khalifah Umar
r.a. dengan rasa terharu merangkulnya seraya berkata: "Ya Allah, kalian
itu…! Dengan kalian (Ahlul Bait) Allah member hidayat kepada kami, dan dengan
kalian pula Allah mengeluarkan kami dari kegelapan ke cahaya terang…!" Kezuhudannya,
kesederhanaannya, keshalihannya serta ketaqwaannya kepada Allah s.w.t. tidak
membuat Imam Ali r.a. menjadi orang yang berwajah angker. Ia seorang yang
anggun, bermuka cerah dan ramah. Bahkan tidak jarang ia bergurau untuk
menyenangkan hati orang lain. Ia tidak pernah tampak angkuh, memberengut dan
suram. Sifat Imam Ali r.a. yang ramah, terbuka dan jika perlu dapat bergurau,
sering dilebih-lebihkan oleh lawan-lawannya untuk menjatuhkan nama baik dan
mengurangi martabatnya. Terutama oleh Amr bin Al-Ash secara berlebih-lebihan
disebar-luaskan. Lawan Imam Ali r.a. itu mengatakan kepada penduduk Syam, bahwa
Ali bin Abi Thalib seorang yang "gemar bercanda".
Jujur dan Adil Bukanlah suatu hal yang
mengherankan bila seseorang jujur dan adil terhadap sesame kawan. Tetapi bila
ada orang yang jujur dan adil terhadap lawan, ini sungguh suatu keluar-biasaan.
Justru inilah yang menjadi salah satu sifat istimewa Imam Ali r.a. Dalam
kedudukkannya sebagai Khalifah, pada satu hari Imam Ali r.a. melihat baju besi
yang pernah dimilikinya berada di tangan seorang penduduk beragama Nasrani.
Karena merasa yakin, bahwa barang itu memang miliknya, untuk mendapatkan
kembali secara baik ia mengadu kepada hakim setempat. Dalam sidang khusus untuk
menyelesaikan tuntutannya itu, di depan peradilan Imam Ali r.a. mengatakan
bahwa baju besi itu benarbenar miliknya. Ia menegaskan: "Belum pernah aku
menjual baju besi itu. Sepanjang ingatanku, belum pernah barang itu kuhadiahkan
kepada orang lain." Sungguhpun demikian, orang Nasrani yang menjadi
tergugat itu tetap bertahan, bahwa baju besi itu miliknya yang sah. Tanpa
ragu-ragu ia menjawab: "Baju besi ini milikku sendiri. Aku yakin Amirul
Mukminin tidak akan berbuat bohong." Mendengar keterangan yang berlawanan
itu, hakim menoleh kepada Imam Ali r.a. dan bertanya sekali lagi: "Apakah
anda mempunyai keterangan tambahan?" Beberapa saat lamanya Imam Ali r.a.
diam, tidak tahu apa yang harus dikatakan. Namun ia yakin bahwa barang itu
memang miliknya. Akhirnya pertanyaan hakim itu dijawab sambil tersenyum:
"Apa yang anda tanyakan itu memang perlu, tetapi aku tidak mempunyai keterangan
tambahan." Setelah mengadakan pertimbangan secukupnya, hakim memutuskan
bahwa barang yang dipersengketakan itu menjadi milik sah orang Nasrani yang
menjadi tergugat dalam perkara itu. Oleh hakim, orang Nasrani yang bersangkutan
diperkenankan pulang membawa barang tersebut. Dengan wajah berseri-seri
mencerminkan keikhlasan hatinya Imam Ali r.a. melihat orang Nasrani itu
beranjak dari tempatnya sambil mengangkat baju besi. Baru beberapa langkah
berjalan, tiba-tiba orang Nasrani itu balik kembali menghampiri Imam Ali r.a.
dan hakim yang masih duduk di tempat masing-masing. Kepada Imam Ali r.a. orang Nasrani
itu berkata: "Apa yang kusaksikan mengenai diri anda, benar-benar sama
seperi hokum yang berlaku bagi para Nabi!" Kemudian dengan khidmat ia
berkata lebih lanjut: "Sekarang aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain
Allah dan Muhammad Rasul Allah. Ya Amiral Mukminin, memang benarlah baju besi
ini kepunyaan anda. Waktu anda berangkat ke Shiffin dulu, aku mengikuti kafilah
anda. Baju besi ini jatuh kemudian diambil oleh salah seorang anggota pasukan
yang sedang kekurangan bekal."
Dengan tenang Imam Ali r.a. menjawab pernyataan
orang Nasrani yang sudah mengikrarkan syahadat itu: "Karena anda sekarang
sudah memeluk agama Islam, barang itu sekarang sudah menjadi kepunyaan
anda!" Percakapan antara dua orang itu disaksikan oleh hakim dan hadirin
lainnya. Mereka ramai membicarakan kejadian yang sangat mengesankan itu.
Benarlah bahwa hanya orang muslim yang menghayati Islam sepenuhnya sajalah,
yang dapat bersikap seperti Imam Ali r.a. Tetapi tak ada orang lain yang lebih
terkesan dalam hatinya selain orang Nasrani yang sekarang sudah jadi muslim
itu. Kenyataan ini dibuktikan pada hari-hari selanjutnya. Sejarah kemudian mencatat,
bahwa bekas Nasrani itu ternyata seorang muslim yang sangat gigih membela Imam Ali
r.a. dalam perjuangan menegakkan kebenaran Islam dan menumpas pemberontakan Khawarij
di Nehrawan. Peristiwa tersebut merupakan petunjuk nyata tentang betapa
tingginya tingkat ketaqwaan, kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a. Semua ibadah
jasmaniah dan rohaniyahnya bukan lagi dirasa sebagai kewajiban yang harus
dilaksanakan, melainkan sudah menjadi kenikmatan dan kebahagiaan hidupnya
sehari-hari. Semua yang dilakukan semata-mata berdasarkan dorongan cinta kepada
Allah 'Azza wa Jalla dan kegairahan melaksanakan tauladan hidup yang diberikan oleh
putera pamannya, Nabi Muhammad s.a.w.
Dalam hal melaksanakan keadilan, Imam Ali r.a.
benar-benar tidak pandang bulu. Yang benar dinyatakan benar, yang salah
dinyatakan salah, tak peduli siapa saja yang dihadapinya. Apakah yang
dihadapinya itu orang lain, keluarga sendiri, orang kaya atau miskin, orang
yang berkedudukan atau pun tidak. Dalam pandangan Imam Ali r.a. sebagai penegak
hukum Allah, semua manusia adalah hamba Allah yang sama derajat. Dalam suatu
kesempatan, Aqil bin Abi Thalib --kakak Imam Ali r.a.—menceritakan penyaksiannya
sendiri tentang keadilan saudara kandungnya itu, sebagai berikut: "Waktu berkunjung
ke rumah Imam Ali r.a., Aqil melihat Al Husein r.a. sedang kedatangan seorang tamu.
Ia meminjam uang satu dirham untuk membeli beberapa potong roti. Uang itu belum
cukup untuk keperluan lauk. Kepada pelayan rumahnya, Qanbar, Al Husein r.a.
minta supaya dibukakan kantong kulit berisi madu yang dibawa orang dari Yaman.
Qanbar mengambil madu setakar." "Waktu Imam Ali r.a. datang dan minta
supaya Qanbar mengambilkan kantong madu untuk dibagi-bagikan kepada orang-orang
yang berhak, ia melihat madu sudah berkurang. Imam Ali r.a. bertanya: 'Hai
Qanbar, kukira sudah terjadi sesuatu dengan wadah madu ini!' Sebagai jawaban
Qanbar menjelaskan bahwa ia disuruh Al Husein mengambilkan madu setakar dari wadah
itu. Mendengar itu bukan main marahnya Imam Ali r.a.: 'Panggil Husein!'…" Waktu
Husein tiba di depannya, Imam Ali r.a. segera mengambil cambuk, tetapi Al
Husein cepat-cepat berkata: "Demi hak pamanku, Ja'far!"
Biasanya bila nama Ja'far disebut-sebut, marah
Imam Ali r.a. segera menjadi reda. Kepada Husein, Imam Ali r.a. bertanya:
"Apa sebab engkau berani mengambil lebih dulu sebelum dibagi?"
Puteranya menjawab: "Kami semua mempunyai hak atas madu. Kalau nanti kami menerima
bagian, akan kami kembalikan." Dengan suara melunak Imam Ali r.a.
menasehati puteranya: "Ayahmu yang akan mengganti! Tetapi walaupun engkau
mempunyai hak, engkau tidak boleh mengambil hakmu lebih dulu sebelum
orang-orang muslim lain mengambil hak mereka. Seandainya aku tidak pernah
melihat sendiri Rasul Allah s.a.w. mencium mulutmu, engkau sudah kusakiti
dengan cambuk ini!"
Imam Ali r.a. menyerahkan uang satu dirham dan
diselipkan dalam baju Qanbar sambil berkata: "Belikan dengan uang ini madu
yang baik dan yang sama banyaknya dengan yang telah diambil!" "Demi
Allah…, demikian kata Aqil, "…seolah-olah sekarang ini aku sedang melihat
tangan Ali memegang mulut kantong madu itu dan Qanbar sedang menuangkan madu ke
dalamnya!" Aqil sendiri pernah mengalami suatu peristiwa pahit dengan
saudaranya itu. Menurut penuturannya: "Waktu itu aku sedang mengalami
kesulitan penghidupan yang amat berat. Aku minta bantuan kepadanya (Imam Ali
r.a.). Semua anakku kukumpulkan dan kuajak ke rumahnya. Anak-anakku itu
benar-benar sedang menderita kekurangan makan. Waktu tiba di sana Ali berkata:
'Datanglah nanti malam, engkau akan kuberi sesuatu'…" Malam hari itu aku datang
lagi bersama anak-anakku. Mereka menuntunku bergantian. Setibanya di sana
anak-anakku disuruh menyingkir. Kepadaku Ali berkata: "Hanya ini saja kuduga itu sebuah kantong. Ternyata yang
kupegang ialah sebatang besi panas yang baru saja dibakar.
Besi itu kulemparkan sambil berteriak meraung
seperti lembu dibantai. Ali tenang-tenang saja berkata kepadaku: "Itu baru
besi yang dibakar dengan api dunia. Bagaimana kalau kelak aku dan engkau
dibelenggu dengan rantai neraka jahanam?!" Setelah ia membaca ayat 71-72
S. Al Mukmin, Imam Ali r.a. berkata meneruskan: "Dariku engkau tidak akan
memperoleh lebih dari hakmu yang sudah ditetapkan Allah bagimu… selain yang
sudah kau rasakan sendiri itu! Pulanglah kepada keluargamu."
Memang luar biasa. Muawiyah sendiri ketika
mendengar cerita tentang peristiwa itu berkomentar: "Terlalu! Terlalu!
Kaum wanita akan mandul dan tidak akan melahirkan anak seperti dia!" Aqil
bin Abi Thalib ternyata berusia lebih panjang daripada saudara-saudaranya. Di
kalangan orang-orang Qureiys ia terkenal sebagai salah satu di antara empat
orang ahli yang dapat dimintai keterangan tentang ilmu silsilah dan sejarah
Qureiys. Empat orang itu ialah Aqil bin Abi Thalib, Makramah bin Naufal
Azzuhriy, Abul Jaham bin Hudzaifah Al Adwiy, dan Huwairits bin Abdul Uzza Al
Amiriy Aqil sanggup memberi keterangan terperinci mengenai soal-soal silsilah
dan sejarah Qureiys. Selain itu ia pun seorang periang dan mudah tertawa keras.
Ibnul Atsir meriwayatkan pengalaman Aqil yang lain dengan Imam Ali r.a. Pada
suatu hari Aqil datang kepada Imam Ali r.a. untuk meminta sesuatu. Kepada Imam
Ali r.a. ia berkata: "Aku ini orang butuh, orang miskin… berilah
pertolongan kepadaku." "Sabarlah dan tunggu sampai tiba waktunya
pembagian bersama kaum muslimin lainnya," jawab Imam Ali r.a.:
"Engkau pasti kuberi." Aqil tidak puas dengan jawaban itu. Ia
mendesak terus dan merajuk. Akhirnya Imam Ali r.a.
memerintahkan seorang: "Bawalah dia pergi ke
toko-toko di pasar. Katakan kepadanya supaya mendobrak pintu toko-toko itu dan
mengambil barang-barang yang ada di dalamnya!" Mendengar perintah Imam Ali
r.a. yang seperti itu, Aqil menyahut: "Apakah engkau ingin aku menjadi
pencuri?" "Dan engkau, apakah ingin supaya aku mencuri milik kaum
muslimin dan memberikannya kepadamu?" jawab Imam Ali r.a. "Kalau
begitu aku mau datang kepada Muawiyah," kata Aqil dengan nada mengancam. "Terserah,"
jawab Imam Ali r.a. dengan kontan. Aqil lalu pergi ke Syam untuk meminta
bantuan kepada Muawiyah. Oleh Muawiyah ia diberi uang sebesar 100.000 dirham,
dengan syarat Aqil harus bersedia naik ke atas mimbar dan berbicara dengan
orang banyak tentang apa yang telah diberikan oleh Imam Ali kepadanya dan tentang
apa yang telah diberikan Muawiyah. Dari atas mimbar Aqil berkata dengan
lantang: "Hai kaum muslimin, kuberitahukan kepada kalian, bahwa aku telah
meminta kepada Ali supaya memilih: 'aku atau agamanya'. Ternyata ia lebih suka
memilih agamanya. Kepada Muawiyah aku pun minta seperti itu. Ternyata ia lebih
suka memilih aku daripada agamanya!"
Tentang kejujuran dan keadilan Imam Ali r.a.
orang tidak segan-segan mengatakan terus terang, sekalipun di depan Muawiyah.
Beberapa waktu setelah Imam Ali r.a. wafat, Muawiyah bertanya kepada Khalid bin
Muhammad: "Apakah sebab anda lebih menyukai Ali daripada kami?" "Disebabkan
oleh tiga hal," jawab Khalid bin Muhammad dengan terus terang. "Ia
sanggup menahan sabar bila sedang marah. Jika berbicara ia selalu berkata
benar. Dan jika menetapkan hukum ia selalu adil." Demikian diriwayatkan
oleh Ibnu Hajar dalam bukunya Ash Shawa'iqul Muhriqah."
Al Haitsamiy dalam bukunya Majma, jilid IX,
halaman 158 menyajikan sebuah riwayat yang berasal dari Rab'iy bin Hurasy
sebagai berikut: Pada suatu hari Muawiyah dikerumuni oleh pemuka-pemuka
Qureiys, termasuk Sa'id bin Al Ash, yang waktu itu duduk di sebelah kanannya.
Tak lama kemudian datanglah ibnu Abbas. Ketika melihat Ibnu Abbas masuk,
Muawiyah berkata kepada Sa'id: "demi Allah, aku akan mengajukan
pertanyaanpertanyaan kepada Ibnu Abbas yang kira-kira ia tidak akan mampu
menjawabnya." Menanggapi keinginan Muawiyah itu, Sa'id mengingatkan:
"Hai Muawiyah, orang seperti Ibnu Abbas tak mungkin tidak mampu menjawab
pertanyaan-pertanyaanmu." Setelah Ibnu Abbas duduk, Muawiyah bertanya:
"Apakah kiranya yang dapat kaukatakan tentang Ali bin Abi Thalib?" Dengan
serta merta Ibnu Abbas menjawab: "Abul Hasan rahimahullah adalah panji
hidayat; sumber taqwa; tempat kecerdasan berfikir; puncak ketinggian akal;
cahaya keutamaan manusiawi di tengah kegelapan; orang yang mengajak manusia ke
jalan lurus; mengetahui isi Kitab-kitab suci terdahulu; sanggup menafsirkan dan
mentakwilkan dengan berpegang teguh pada hidayat; menjauhkan diri dari
perbuatan dzalim yang menyakiti hati orang; menghindari jalan yang sesat;
seorang mukmin dan bertakwa yang terbaik; orang yang paling sempurna menunaikan
ibadah haji dan ibadah-ibadah lainnya; orang yang paling mempunyai tenggangrasa
serta memperlakukan semua orang secara adil dan sama, orang yang paling pandai berkhutbah
di dunia ini…" dan seterusnya sampai kepada kata-kata: "…seorang
suami dari wanita yang paling mulia, dan seorang ayah dari dua cucu Rasul Allah
s.a.w." Seterusnya Ibnu Abbas mengatakan: "Mataku belum pernah
melihat ada orang seperti dia dan tidak akan pernah melihatnya sampai hari
kiyamat. Barang siapa mengutuk dia, orang itu akan dikutuk selama-lamanya oleh
Allah dan oleh seluruh ummat manusia sampai hari kiyamat." Mendengar
keterangan itu, tentu saja Muawiyah menjadi beringas, tetapi ia dapat menguasai
diri di depan seorang ilmuwan seperti Ibnu Abbas. Harun bin Antarah
menceritakan penyaksian ayahnya dengan mengatakan: "Pada suatu hari aku
datang ke rumah Imam Ali. Ia sedang duduk di balai-balai berselimut kain kumal.
Waktu itu musim dingin. Kukatakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, Allah
telah memberi hak kepada anda dan kepada keluarga anda untuk menerima sebagian
dari harta Baitul Mal. Mengapa anda berbuat seperti itu terhadap diri anda
sendiri?" "Demi Allah," sahut Imam Ali r.a., "Aku tidak mau
mengurangi hak kalian walau sedikit. Ini adalah selimut yang kubawa sewaktu
keluar meninggalkan Madinah." 'Ashim bin Ziyad pernah bertanya kepada Imam
Ali r.a.: "Ya Amiral Mukminin, pakaian anda itu terlalu kasar dan makanan
anda pun terlampau buruk! Mengapa anda berbuat seperti itu?" "Celaka
benar engkau itu," jawab Imam Ali r.a. "Allah s.w.t. mewajibkan para
pemimpin supaya menempatkan dirinya masing-masing di bawah ukuran orang lain,
agar tidak sampai memperkosa penderitaan si miskin." Suwaid bin Ghaflah
juga menyaksikan cara hidup Imam Ali r.a. Ia menceritakan penyaksiannya sendiri:
"Pada suatu hari aku datang ke rumah Imam Ali. Di dalamnya tidak terdapat
perkakas apapun selain selembar tikar yang sudah koyak. Ia sedang duduk di
tempat itu. Aku segera bertanya setengah mengingatkan: 'Ya Amiral Mukminin,
mengapa rumah anda seperti ini? Anda adalah seorang penguasa kaum muslimin,
yang memerintah mereka dan yang menguasai Baitul Mal. Banyak utusan datang
menghadap anda, sedang di rumah anda ini tidak ada perkakas selain
tikar'…" "Ya Suwaid," jawab Imam Ali r.a., "dalam rumah
yang bersifat sementara ini tidak perlu ada perkakas, sebab di depan kita ada
rumah yang kekal. Semua perkakas sudah kami pindahkan ke sana, dan tak lama
lagi kami akan kembali ke sana." Harun bin Sa'id juga menceritakan
penyaksiannya, bahwa pada suatu hari Abdullah bin Ja'far bin Abi Thalib datang
kepada Imam Ali untuk meminta pertolongan. Abdullah berkata: "Ya Amiral
Mukminin, suruhlah orang mengambilkan uang dari Baitul Mal bekal belanja
untukku. Demi Allah, aku tidak mempunyai uang sama sekali selain harus menjual
ternakku." "Tidak," jawab Imam Ali r.a., "demi Allah, aku
tidak dapat memberi apa-apa kepadamu, kecuali jika engkau menyuruh pamanmu
mencuri agar bisa memberi apa yang kau minta." Imam Ali r.a. memperlakukan
semua sanak keluarganya dengan perlakuan sama seperti terhadap orang lain. Ia
tidak mengistimewakan mereka dengan pemberian apa pun juga, dan tidak pula
memberikan fasilitas khusus betapa pun kecilnya. Olehnya, semua sanak keluarga dilatih
dan dipersiapkan mentalnya supaya membiasakan diri berakhlaq seperti dirinya.
Bahkan kadang-kadang ia mengambil sikap keras dalam membiasakan mereka hidup
menurut cara-cara yang diajarkan.
Muslim bin Shahib Al Hanna meriwayatkan, bahwa
seusai perang "Jamal" Imam Ali r.a. pergi ke Kufah. Di sana ia masuk
ke dalam Baitul Mal sambil berkata: "Hai dunia, rayulah orang selain aku!"
Ia lalu membagi-bagikan semua yang ada di dalamnya kepada orang banyak. Waktu
itu datang anak perempuan Al Hasan atau Al Husein r.a. lalu turut mengambil
sesuatu dari Baitul Mal. Melihat itu Imam Ali mengikuti cucunya dari belakang,
kemudian genggaman anak perempuan itu dibuka dan diambillah barang yang sedang
dipegang. Kami katakan kepadanya: "Ya Amiral Mukminin, biarlah! Dia
mempunyai hak atas barang itu!" Ternyata Imam Ali menjawab: "Jika
ayahnya sendiri yang mengambil hak itu, barulah ia boleh memberikan kepada anak
ini sesuka hatinya!" Sejak sebelum memangku jabatan Khalifah, Imam Ali
pada prinsipnya memang tidak suka melihat banyak kekayaan kaum muslimin
tertimbun dalam Baitul Mal. Salah sebuah catatan sejarah yang ditulis oleh Abu
Ja'far At Thabariy mengatakan, bahwa dalam suatu musyawarah Khalifah Umar Ibnul
Khattab r.a. meminta pertimbangan tentang bagaimana sebaiknya yang perlu
dilakukan terhadap harta benda yang ada di dalam Baitul Mal. Dalam musyawarah
itu Imam Ali r.a. mengemukakan pendapatnya: "Sebaiknya harta yang sudah
terkumpul itu dibagikan saja tiap tahun dan tidak usah disisakan
sedikitpun." Kejujuran dan keadilan seorang yang hidup zuhud, taqwa dan
tekun beribadah seperti Imam Ali r.a. itu memang sukar sekali dijajagi.
Keistimewaan hukum yang berlaku pada masa pemerintahannya ialah persamaan hak
dan kewajiban bagi semua orang. Kebijaksanaannya tidak berat sebelah kepada
fihak yang kuat dan tidak merugikan fihak yang lemah. Tanah-tanah garapan yang
pada masa pemerintahan sebelumnya dibagi-bagikan kepada sanak famili dan
orang-orang terkemuka yang dekat dengan para penguasa Bani Umayyah, dicabut dan
dikembalikan kepada status semula sebagai milik umum kaum muslimin. Setelah itu
barulah dibagi-bagikan lagi kepada orang-orang yang berhak berdasarkan prinsip
persamaan. Mengenai kekayaan milik umum kaum muslimin, Imam Ali r.a. sendiri
dengan tegas menyatakan kebijaksanaannya: "Demi Allah, seandainya ada
sebagian dari kekayaan itu yang sudah dipergunakan orang untuk beaya pernikahan
atau untuk membeli hamba sahaya perempuan, pasti aku tuntut
pengembaliannya!" Dijelaskan pula olehnya: "Sesungguhnya keadilan itu
sudah merupakan kesejahteraan. Maka barang siapa masih merasakan kesempitan di
dalam suasana adil, ia pasti akan merasa lebih sempit lagi dalam suasana
dzalim." Di antara beberapa pesan yang diamanatkannya kepada para penguasa
daerah ialah: "Berlakulah adil terhadap semua orang. Sabarlah dalam
menghadapi orang-orang yang hidup kekurangan, sebab mereka itu sesungguhnya
adalah juru bicara rakyat. Janganlah kalian menahan-nahan kebutuhan seseorang
dan jangan pula sampai menunda-nunda permintaannya. Untuk keperluan melunasi
pajak janganlah sampai ada orang yang terpaksa menjual ternak atau hamba sahaya
yang diperlukan sebagai pembantu dalam pekerjaan. Janganlah sekali-kali kalian
mencambuk seseorang hanya karena dirham!" Salah satu dari pesan-pesan
khusus yang ditujukan kepada para petugas pemungut pajak, zakat dan lain-lainnya,
ialah : "Datangilah mereka dengan tenang dan sopan. Jika engkau sudah berhadapan
dengan mereka, ucapkanlah salam. Hormatilah mereka itu dan katakanlah: 'Hai para
hamba Allah, penguasa Allah dan Khalifah-Nya mengutus aku datang kepada kalian
untuk mengambil hak Allah yang ada pada kekayaan kalian. Apakah ada bagian yang
menjadi hak Allah itu dalam harta kekayaan kalian? Jika ada, hendaknya hak
Allah itu kalian tunaikan kepada Khalifah-Nya'…" "Jika orang yang
bersangkutan menjawab 'tidak', janganlah kalian ulangi lagi. Tetapi jika orang itu
menjawab 'ya', pergilah engkau bersama-sama untuk memungut hak Allah itu.
Janganlah kalian menakut-nakuti dia, janganlah mengancam-ancam dia, dan jangan
pula membentak atau bersikap kasar. Ambillah apa yang diserahkan olehnya kepada
kalian, emas atau pun perak. Jika orang yang bersangkutan mempunyai ternak
berupa unta atau lainnya, janganlah kalian masuk untuk memeriksa tanpa seizin
dia, walaupun orang itu benar-benar mempunyai banyak ternak. Jika orang itu
memberi izin kepada kalian untuk memeriksanya, janganlah kalian masuk dengan
lagak seperti orang yang berkuasa. Jangan berlaku kasar, jangan menakut-nakuti
dan jangan sekali-kali menghardik binatang-binatang itu. Jangan kalian berbuat
sesuatu yang akan menyusahkan pemiliknya."
"Kemudian apabila harta kekayaan
diperlihatkan kepada kalian, persilakan pemiliknya memilih dan menentukan
sendiri mana yang menjadi hak Allah. Jika ia sudah menentukan pilihannya, janganlah
kalian menghalang-halangi dia mengambil bagian yang menjadi haknya. Hendaknya kalian
tetap bersikap seperti itu, sampai orang yang bersangkutan menetapkan mana yang
menjadi hak Allah yang akan ditunaikan. Tetapi ingat, jika kalian diminta
supaya meninggalkan orang itu, tinggalkanlah dia!"
Begitu jelasnya Imam Ali r.a. mengemukakan pesan
dan amanatnya secara terperinci agar jangan sampai terjadi penyalahgunaan dan
perkosaan terhadap kaum muslimin dan rakyatnya. Sedemikian tingginya rasa
keadilan yang menghiasi kehidupan Imam Ali r.a., sampai pernah terjadi, bahwa
pada waktu ia menerima setoran pajak dari penduduk Isfahan, ditemukan sepotong
roti kering terselip dalam wadah. Roti itu oleh Imam Ali r.a. dipotong-potong
menjadi tujuh keping, sama seperti uang setoran itu juga yang dibagi menjadi
tujuh bagian. Pada tiap bagian dari uang itu ditaruh sekeping roti kering.
Ksatria Kesatriaan dan keperwiraan Imam Ali r.a.
bukan dibuat-buat, melainkan sudah menjadi sifat dan tabiatnya sendiri. Hal itu
ditumbuhkan dan diperkuat oleh lingkungan hidupnya sejak kecil dan oleh ajaran
serta tauladan yang diterimanya langsung dari Rasul Allah s.a.w. Ia bukan orang
yang suka mabok kemenangan dan bukan pula seorang pedendam. Ketangguhan dan ketangkasannya
sebagai pelaku perang-tanding yang banyak disegani orang, sama sekali tidak membuatnya
besar kepala. Ia tidak pernah mulai mengajak berkelahi atau berduel, apalagi menantang-nantang.
Bahkan dalam menghadapi saat-saat gawat, masih tetap berusaha agar pertumpahan
darah dapat dihindarkan.
Ada orang yang menilai sikapnya itu sebagai tanda
kelemahan. Ada pula yang menafsirkannya sebagai tanda kegentaran. Penilaian dan
penafsiran itu tidak tepat sama sekali. Sikap Imam Ali r.a. semacam itu
benar-benar keluar dari hati yang tulus ikhlas. Kemanusiaannya sangat tinggi. Lawan
yang ditundukkannya diperlakukan dengan sikap manusiawi dan dihormati sesusi
dengan harkat martabatnya sebagai manusia. Kepada puteranya sendiri, Al Hasan
r.a., tidak jemu jemunya ia berpesan agar jangan sekalikali menantang orang
berkelahi atau berperang-tanding. "Tetapi jika orang itu menantang, tantangan
itu dan hadapilah. Seba orang yang berbuat seperti itu ialah orang dzalim, dan
tiap orang dzalim wajib dilawan," demikian ujar Imam Ali r.a. dengan
tandas.
Sering juga orang tidak dapat memahami sifat
keksatriaannya. Bagi para ahli perang modern, pendirian Imam Ali r.a. itu
dianggap tidak tepat. Sebab, menurut faham mereka, pertahanan yang terbaik
ialah melancarkan serangan mengejutkan terhadap lawan. Tetapi watak keksatriaan
Imam Ali r.a. tidak seperti itu. Ia hanya akan menyerang bila benar-benar sudah
diserang. Jadi serangan hanya dipandang sebagai langkah mempertahankan diri. Ketika
salah seorang sahabatnya menyaksikan persiapan kaum Khawarij dan kemudian dilaporkannya
kepada Imam Ali r.a. dan disertai usul supaya mendahului gerakan musuh dengan suatu
serangan kilat; Imam Ali r.a. dengan tegas mengatakan: "Aku tidak mau
menyerang mereka sebelum mereka melancarkan serangan lebih dahulu terhadap
kita. Biarlah merekaberbuat lebih
dulu." Padahal secara normal usul sahabatnya itu tepat dan benar. Peristiwa
yang sama juga terjadi sebelum itu. Ialah dalam "Perang Unta".
Demikian juga dalam perang Shiffin. Mengawali pecahnya peperangan antar sesama
kaum muslimin itu, Imam Ali r.a.
selalu berusaha lebih dulu agar dapat diciptakan
perdamaian, selagi masih ada peluang untuk itu, betapa pun kecilnya. Jalan
inilah yang menurut Imam Ali r.a. sebaiknya harus ditempuh. Prinsip ini olehnya
dipegang teguh. Tidak pandang apakah yang sedang dihadapinya itu perang terbuka
atau terselubung, besar atau kecil. Ia selalu mengajak lawan untuk memecahkan persengketaan
dan pertikaian melalui jalan damai. Kepada pasukannya ia pun memerintahkan supaya
tidak mengambil tindakan lebih dulu yang akan mengakibatkan bencana jatuhnya banyak
korban.
Pada dasarnya ia tidak menghunus pedang sebelum
menyerukan perdamaian kepada lawan lebih dulu. Tetapi sikapnya yang seperti itu
bukannya tidak dilandasi dengan kesiap-siagaan di kalangan pasukannya. Inilah
rupanya yang menjadi rahasia keunggulannya dalam menghadapi peperangan demi
peperangan. Satu contoh tentang keksatriaannya yang sangat menarik ialah pada
waktu menghadapi kaum Khawarij. Orang-orang Khawarij yang terkenal sangat benci
kepada Imam Ali r.a., pada satu ketika berteriak mengkafirkan dan memaki-maki dirinya.
Imam Ali r.a. tetap tenang dan dengan lapang dada menghadapi semuanya itu.
Sedangkan pasukannya sudah tak tahan lagimendengar pimpinannya dihina orang. Mereka bangkit hendak
melancarkan serangan serentak. Tetapi dengan cepat Imam Ali r.a. berteriak
untuk menghentikan niat mereka: "Jangan! Itu hanya sekedar makian! Kita
harus menjawab mereka dengan memberi maaf!" Demikian perintahnya.
Kebijaksanaan seperti itu ada kalanya menimbulkan
salah faham dan gerutu dalam pasukannya sendiri.Ya, itulah Imam Ali r.a.,
seorang pemimpin yang berjiwa besar lagi arif bijaksana. Imam Ali r.a. tersohor
sebagai pendekar perang dan tangkas dalam perang-tanding. Namun ia benar-benar
baru mau mengangkat senjata bila telah terpaksa harus mempertahankan diri. Bila
sudah sampai ke tingkat itu, maka tinggal dua pilihan saja bagi dirinya, ia
mati di tangan lawan, atau lawan yang harus mati di tangannya. Berlandaskan
ketenangan dan kemantapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar